18. Membatasi Diri

671 64 2
                                    

Aku terbangun di dalam kamar. Sebuah infusan terlihat di salah satu lengan. Pusing berkunang-kumang masih bisa dirasakan dengan mata perih dan mulut yang sedikit pahit. Hampir dua hari sejak kejadian yang kuanggap mimpi itu terjadi, besoknya aku langsung meriang dan demam, lalu dirawat selama sehari di rumah sakit. Yang paling menghawatirkan dari semua itu jelas adalah janin ini.

Namun, beruntung dokter mengatakan bahwa dia baik-baik saja dan dalam keadaan sehat. Asupan nutrisi juga terpenuhi. Bu Sarah dan Pak Ali sempat datang untuk memastikan keadaan, begitu pula dengan Pak Budi dan Bu Siska.

Tak ada sorot bersalah yang digambarkan ibu kandung Naya itu bahkan setelah apa yang dia lakukan selama ini. Sementara sang suami, Pak Budi, besar kemungkinan sampai detik ini lelaki paruh baya itu masih belum tahu tentang statusku setelah dua puluh lima tahu berlalu. Kalau pun tahu kuyakin semua tak akan berakhir seperti ini.

"Sudah, baring saja! Kamu masih sakit." Kurasakan tangan besar menahanku bangkit dari posisi berbaring. Sejak kejadian itu, dia memang menjadi lebih perhatian dan siap siaga menemani. Pagi-malam mengurusi. Terlepas dari itu kewajibannya kurasa dia memang benar-benar bersalah karena sempat mengumpankanku ke kandang Macan.

"Pengen pipis."

"Oh, eh ... mau dituntun?" tanyanya kikuk.

"Boleh."

Untuk beberapa saat aku memerhatikannya yang tampak kebingungan memposisikan diri. Sesekali tangannya terulur, tapi juga ditarik lagi.

"Kalau nggak niat bantu, nggak usah ngulur-ngulur waktu. Aku bisa sendiri!" Aku beringsut turun dari pembaringan, meski cukup kesulitan. Namun, sebelum sempat kaki berpijak di ubin, Khalid sudah lebih dulu merangkul, menarik tiang infus, lalu menuntunku menuju kamar mandi.

Tak ada kata atau suara hela napas panjang seperti biasanya. Ini cukup langka, tapi kuyakin dia hanya mencoba mengerti apa yang kualami.

"Mau ikut masuk?" tawarku saat melihatnya masih berdiri di ambang pintu. Menunggu.

"Ng-nggaklah." Dia menggeleng cepat, lalu mundur selangkah.

"Ya, siapa tahu mau bantu plorotin celanaku."

"Nindi ...."

Mendengar nada rendah itu, baru kusadari kalau Khalid Prasetya yang dua hari ini sangat penurut dan nyaris tak pernah protes, sudah kembali lagi.

Melihat responnya aku hanya bisa mengedikkan bahu, lalu menutup pintu.

***

"Nggak kerja?" Pertanyaan konyol itu meluncur begitu saja, saat Khalid kembali setelah pamit mengambil bubur yang sepertinya dia buat sendiri.

"Bagaimana saya bisa bekerja kalau keadaan istri saya begini?"

Entah kenapa tiap kali mendengar kata istri yang terlontar dari mulutnya membuat hatiku sering kali menghangat.

Setelahnya, Khalid menyodorkan bubur yang dia bawa ke hadapanku yang duduk bersandar di kepala ranjang.

"Naya gimana?" Aku bertanya lagi sembari mengaduk-aduk bubur ayam yang dicampur dengan kecap.

"Menunjukan kemajuan, bukan berarti langsung sadar. Sekali lagi kami hanya bisa sabar dan ikhtiar."

Oke, mungkin memang masih belum waktunya aku tahu siapa wanita yang sudah mengantarku lahir ke dunia yang kejam, hingga terpaksa menerima murka Tuhan karena dosa yang mereka lakukan.

"Kalau Nenek Lampir?" Pandanganku beralih dari mangkuk bubur yang baru sempat disentuh sedikit. Kutatap wajah Khalid yang tak sesegar biasanya. Sepertinya dia cukup kelelahan setelah mengurusiku seharian.

BENIH TITIPAN SULTANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang