27. Memenuhi Kewajiban

915 82 6
                                    

Hal yang tersulit dari semua ini adalah status sebagai seorang istri yang dituntut untuk mengabdi. Ketika dinding yang semula dibangun untuk membatasi akhirnya luruh dalam diri. Ketika ego dan martabat yang dibumbung tinggi akhirnya dilucuti demi hak dan kewajiban yang tak terpenuhi selama tujuh bulan ini.

Aku tahu Khalid sudah berusaha dengan keras sejak kesepakatan itu terjadi, memenuhi apa yang seharusnya dia lakukan sebagai seorang suami. Menyirami tiap benih yang bersemi agar kelak tak kembali mati.

Walaupun banyak yang terjadi dan ego dalam diri masih tak mampu menerima semua kenyataan yang ada. Aku berusaha untuk berdamai dengan keadaan. Mencoba menerima tiap luka dan derita yang ditorehkan mereka. Menjalani hidup yang tersisa bersama dengan pahit dan manis yang terasa di tiap perjalanannya.

Ini adalah giliranku untuk berbakti, memenuhi kewajiban sebagai seorang istri, meski waktu yang tersisa hanya beberapa bulan lagi. Akan kubawa dia terbang ke langit yang tinggi, menghiasi malamnya dengan taburan bintang yang dirajai rembulan. Berpacu dalam dinding waktu untuk membasahi tiap inti dalam diri yang berkian kali dia biarkan kering tak terisi.

Tatapan kami masih saling mengunci dengan deru napas yang berpacu. Begitu dahaganya berhasil terpenuhi, Khalid akhirnya merobohkan diri.

Kutarik selimut yang meluruh ke pinggang, menutupi tubuh yang tak terlindung sehelai pun benang. Dalam beberapa sesi pencintaan aku tak pernah merasa seperti ini. Bahkan dalam pekerjaan yang dijalani tak sedetik pun aku mampu menikmati.

Namun, berbeda dengan kali ini, ada perasaan membuncah yang tak terkendali. Perlakuan lembut di tiap sesi.
Semakin aku menyangkal, semakin terasa janggal.

"Terima kasih." Samar suara parau yang masih menyisakan sedikit getar itu terdengar.

Aku tak menjawab, dan memilih memunggungi. Kemudian menyeka cairan hangat yang tiba-tiba luruh tanpa disadari.

***

"Seger banget bumil pagi ini," seloroh Neli begitu aku menghampiri ke dapur dan mengambil sebuah pir dalam kulkas. Terlihat pula Roy yang duduk di salah satu kursi depan meja makan, tengah menyeduh kopi.

"Yaiyalah seger, orang udah mandi. Emangnya kalian masih belekan jam segini."

"Wajarlah kita belekan karena beneran tidur semalem. Emangnya elu sama Babang Tampan, begadang sampe pagi."

"Jangan pitenah, Kimoci!" Kutoyor kepala Roy yang ngomong seenaknya, walaupun apa yang dia katakan memang tak sepenuhnya salah.

"Cuma nebak, sensi amat, lu. Ya, herman aja gitu liat kalian sama-sama keramas pagi-pagi."

"Wajarlah suami-istri!" Kini giliran Neli yang tiba-tiba menoyor Roy, lalu senyum-senyum sendiri.

"Kok, lu malah ikutan, sih?" protes Roy tak terima.

"Maaf, kelepasan, Bang." Neli membekap mulut, lalu berlindung di balik tubuhku.

"Kamp--"

"Nindi!" Panggilan itu mengambil alih perhatian kami.

Terlihat Khalid sudah berdiri dengan setelan rapi. Aku baru ingat kalau dalam perjalanan ke pulau ini Khalid sempat mengatakan kalau dia ada pertemuan dengan salah satu investor di Singapur.

Lelaki itu berjalan menghampiriku, berdiri tepat di hadapan. Tak lama tatapannya tiba-tiba turun ke perut, mendekat, lalu berbisik lembut, "Ngomong-ngomong saya nggak terlalu keras, kan semalam?"

Sejenak napasku tecekat, tak menyangka dia akan menanyakan hal itu saat ini.

"Nggak, dia baik-baik aja, kok." Kuturunkan tangannya dari perut. Lalu tersenyum tipis.

BENIH TITIPAN SULTANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang