9. Jinak-Jinak Merpati

804 62 1
                                    

"Jangan main-main, Nindi. Saya nggak suka!"

Di tengah perjalanan pulang Khalid membuka percakapan setelah sebelumnya mendiamkanku tanpa alasan.

"Ya, maaf. Bercanda doang."

"Jangan bercanda yang berhubungan dengan kesehatan, kamu tahu betapa berharganya--'

"Calon anak ini," potongku mencibir.

"Bukan begitu," dalihnya yang tampak tak enak hati karena masa depannya dan Naya ada di dalam perutku saat ini.

"Ya, ya, udahlah. Aku ngerti dan nggak mau memperpanjang ini."

Helaan napas panjang terdengar, kebiasaan yang baru aku tahu sering Khalid lakukan untuk meredam kekesalan karena ucapanku yang kadang sembarangan.

"Saya cuma nggak mau apa yang pernah terjadi pada Naya terulang lagi, Nindi."

"Maksudnya?"

"Sebenarnya Naya dinyatakan koma setelah mengalami keguguran."

"Apa?" Kubenahi posisi, lalu sepenuhnya menatap lelaki ini.

"Dokter Antoni mengatakan hal tersebut benar-benar mengejutkan, apalagi dengan riwayat penyakit Naya, dan prosedur Bayi tabung yang sempat gagal, seharusnya Naya mustahil hamil. Tapi, ternyata Tuhan berkehendak lain, dia hamil tapi juga keguguran. Yang lebih fatalnya dia harus kehilangan kesempatan untuk menjadi wanita seutuhnya saat dokter mengatakan bahwa rahimnya harus diangkat karena tumor yang mulai menyebar." Genggamannya pada setir mengetat, melihat respons yang Khalid tunjukkan, aku sudah bisa menyimpulkan betapa terpukulnya dia saat itu.

"Sebelum dinyatakan koma Naya pernah meminta saya untuk menikah lagi. Dia mengatakan bahwa pernikahan yang sudah enam tahun kami jalani tak benar-benar bahagia, karena dia merasa tak berguna sebagai seorang istri. Padahal bagi saya kehadirannya saja sudah lebih dari berarti. Kita berdua sampai tua dan mati itu tujuan yang saya harapkan. Karena anak hanyalah titipan yang suatu saat bisa pergi untuk menjemput takdirnya sendiri."

Ada jeda panjang sebelum dia melanjutkan. Tiap kata yang diucapkan dan napas berat yang beberapa kali diembuskan sudah cukup membuktikan betapa dia memuja sang istri.

Kukira lelaki yang hanya cukup dengan satu orang wanita itu sudah tak ada. Empat tahun menjalani hidup sebagai wanita tunasusila membuatku tahu berbagai jenis lelaki dan wataknya. Bahkan dia yang terlihat sangat setia masih bisa main mata di luar sana. Apalagi yang datang ke tempat hiburan dan mengatakan dengan terang-terangan bahwa dia bosan dengan istrinya.

Berbagai jenis bajingan sudah pernah kutaklukan, bahkan yang paling polos sekali pun. Tapi, baru pertama kali aku berhadapan dengan yang seperti ini.

Apakah dia benar-benar lelaki?

"Tapi, saya juga tak bisa terus-terusan egois. Saya tidak bisa membiarkan keturunan Prasetya dan Husein hanya berakhir pada saya dan Naya. Akhirnya saya mengusulkan opsi terakhir. Surrogate Mother. Dan, Naya memilihmu. Dia bilang anak kami akan luar biasa kalau lahir dari rahim Ibu Pengganti sepertimu."

Aku nyaris tertawa mendengarnya, tapi di satu sisi juga terasa ada yang menekan dada. Aku sudah terbiasa dengan kata makian, hinaan dan cercaan yang sudah menjadi makanan sehari-hari. Tapi, saat ada seseorang yang memandangku jauh lebih baik daripada seorang wanita murahan, bahkan menggantungkan harapan yang begitu besar. Terasa ada yang menggelitik, tapi di satu sisi juga terasa menyenangkan.

"Keputusan kami memang beberapa kali sempat ditentang papa, beliau mengatakan kenapa harus mempersulit diri bila hukum dan agama sudah mempermudahnya? Sama seperti Naya, Papa juga meminta saya menikah lagi, lalu mempunyai anak setelahnya. Tapi, sekali lagi. Ucapan tak semudah tindakan. Pernikahan adalah tanggung jawab besar yang harus diemban tiap insan. Menjadi seorang suami dari satu istri saja saya merasa belum sempurna, apalagi menjadi suami dari dua istri."

BENIH TITIPAN SULTANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang