16. Terungkap

594 60 2
                                    

Bila sekolah punya kelas untuk membedakan nilai akademi. Begitu juga dengan kami. Aku dan Naya punya status yang sama tapi kami berada di level yang berbeda. Status sebagai istri seolah tak berarti bila hanya salah satu yang dicintai. Keadilan hanya sanggup diucapkan, kewajiban tak benar-benar dijalankan. Dan selembar kertas seolah menjadi penghalang yang mutlak ditekankan.

Bahkan saat dia pertama kali datang menawarkan komitmen yang dibalut kesepakatan aku tak pernah berharap lebih dari pernikahan ini. Hanya demi uang aku rela melakukan, hanya demi kebebasan, rahim kupinjamkan. Benih sudah ditanam, hanya menunggu kurang lebih tujuh bulan semua yang pernah terjadi dianggap tak berarti. Semuanya akan hilang hanya sebagai histori. Namun, kenapa malah timbul sesuatu yang sulit kumengerti.

"Nindi!" Panggilan Khalid menginterupsi. Dari balik pintu mobil yang sudah terbuka dia berdiri membungkuk menatapku. Rupanya kami sudah tiba di tempat yang dituju.

Kupeluk diri saat dinginnya malam menyergap tubuh. Lalu berjalan perlahan mengikuti langkah lebar di depan.

Untuk ke sekian kalinya aku menginjakkan kaki di rumah ini. Menemui kakak madu yang hanya berbaring tak berdaya di ranjang besarnya.

"Khalid!" Dari arah tangga kulihat wanita paruh baya itu berlari, memburu menantunya, lalu memeluk erat tubuh tinggi tegap itu. "Dokter bilang ini kemajuan yang besar, Naya menggerakkan jarinya!" Matanya berbinar antusias. Bu Siska langsung mengapit lengan Khalid, lalu menuntunnya naik.

Baru saja aku hendak melangkah mengikuti, tatapan tajam Bu Siska seolah memeringati. "Kamu bisa tunggu di ruang tamu! Di dalam sudah terlalu banyak orang."

Khalid menoleh, dia mengangguk pelan menyetujui. "Nanti saya kembali."

Kuhela napas panjang, lalu memutar tubuh menuju sofa ruang tamu.

Tahu akan begini lebih baik aku sendiri di unit. Tak masalah sepi, asal tak ada Si Nenek Lampir. Saat-saat seperti ini tiba-tiba aku merindukan Neli.

***

Untuk membunuh bosan, akhirnya kuraih ponsel di saku jaket. Baru membuka kunci, sudah terlihat beberapa pesan dari Roy dan Tante Lala yang tampak di bar notifikasi. Memang hanya dua orang itu yang seringkali meramaikan ponselku hanya untuk bertegur sapa atau hanya sekedar chating sana-sini.

Roy Kimoci

[ Nindi, kalau lu mau gue bisi cekek Bu Nia! Heran, deh udah dikasih hati, pake jantung, tambah ginjal, masih aja nggak tahu diri. Lama-lama gue kasih tahu juga kalau justru anaknya yang kek dakjal selama ini. ]

Aku tersenyum kecil membawa pesan yang Roy kirimkan. Gaya bahasanya sudah cukup menjelaskan betapa dia geram menanggapi apa yang terjadi.

Nindia P.

[ Nggak apa-apa. Ucapan Nana masih dalam batas wajar yang masih bisa gue terima. ]

Roy kembali mengetik.

Roy Kimoci

[ Hati lu terbuat dari baja jenis apa, sih, Nin? Kalau dijadiin bangunan pasti tahan angin, badai, tsunami, bahkan gempa bumi. ]

Refleks aku tertawa. Berkirim pesan dengan lelaki setengah jadi ini memang membawa mood tersendiri.

Nindia P.

[ Sebenernya cuma pake bahan jenis lego. Yang kalau udah roboh bisa disusun lagi. ]

Roy Kimoci

[ Bongkar pasang, ya, Wak? Udah kayak lemari portable. Praktis. Eh, btw lu udah baca WA dari Emak gue? ]

Nindi P.

[ Udah, dia cuma tanya kabar terus bilang kangen. ]

Roy Kimoci.

BENIH TITIPAN SULTANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang