39. Naya : Cari Perhatian (Cuplikan)

305 21 0
                                    

"Apa yang kamu pake, Nay?" Bang Khalid mengusap wajah sesaat setelah keluar dari kamar mandi begitu melihatku duduk bersandar di tepi ranjang.

"Lingerie."

Dia menghela napas gusar, lalu meraih sepasang piama dari lemari, kemudian berjalan menghampiri.

"Sebelumnya kamu nggak pernah begini. Udah, nggak usah aneh-aneh, Nay. Nanti masuk angin. Abang suka kamu yang apa adanya." Dia pasangkan atasan piama tersebut untuk memutup tubuhku yang sebelumnya terekspos.

"Tapi, Abang suka Nindi yang ada apanya, kan?" sahutku kemudian.

Gerakannya yang tengah mengancing piama terhenti. "Kenapa jadi bahas Nindi?"

"Karena dari sisi mana pun dia lebih unggul dari aku!"

"Astagfirullah, Nay. Nggak ada yang minta kamu buat bandingin diri. Kalian punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. Lagian Nindi nggak pernah pake yang beginian di depan Abang. Dia malah lebih sering dasteran."

"Tapi, Abang suka, kan? Bahkan saat dia cuma dasteran pasti keliatan lebih menggoda dan seksi, ka--"

"Naya!" Aku tersentak saat melihatnya tiba-tiba membentak.

"Maaf." Setelahnya Bang Khalid tampak menyesal. Dia raih kedua tanganku, yang kemudian digenggam. "Abang ngerti kamu cemburu, Abang ngerti kamu ngerasa diduakan. Tapi, semua ini Abang lakukan beradasarkan permintaan kamu di awal. Sejauh ini Abang berusaha adil membagi waktu dan perhatian. Sejauh ini Abang berusaha keras agar tak menyakiti salah satu di antara kalian. Nindi juga istri, Abang, Nay. Dia juga berhak mendapatkan hak yang sama dengan kamu. Kita salah dengan kesepakan yang terjadi di awal. Pernikahan itu bukan permainan. Pernikahan itu janji sakral yang terikat di hadapan Tuhan. Maka dari itu Abang minta keridhaanmu, setelah bayi kita lahir, Abang ingin meresmikan pernikahan kami di hadapan banyak orang dan mempertahankan Nindi bukan hanya sementara, tapi untuk selamanya."

Air mataku luruh, ucapannya benar-benar membuatku jatuh. Ketakutanku semakin menjadi ketika akhirnya dia resmi meminta izin untuk meresmikan poligami yang sebelumnya tak kuanggap berarti. Sakit yang ditahan, kecemburuan yang dipendam, serta kasih sayang yang kupikir hanya tinggal bertahan beberapa bulan, pada akhirnya harus kurasakan sampai titik darah penghabisan.

Bukan begini yang kuharapkan, bukan begini rencana yang berjalan di awal.

***

Dua pekan sejak percakapan terakhir yang membuatku dan Bang Khalid sempat memutuskan untuk pisah ranjang. Akhirnya kami membuat sebuah kesepakatan. Kesepakatan yang membuatnya tetap tinggal denganku sampai menjelang Nindi melahirkan, dia tak boleh datang mengunjungi atau sekadar menghubungi Nindi di Kemayoran.

Kupinta waktu beberapa pekan terakhir sampai persalinan, sebelum merelakan seumur hidup yang tersisa untuk berbagi tempat dengan wanita lain.

Kunikmati saat-saat kebersamaan, setiap detik dan menitnya, setiap jam dan harinya saat lelaki ini hanya milikku seorang. Dan berharap setiap saat, mendoakan setiap malam. Semoga dalam perjalanan pernikahan mereka, ada satu hal yang membuat Bang Khalid akhirnya menceraikan Nindi.

Dering ponsel yang berbunyi menginterupsi kami yang tengah menonton film sembari berangkulan di atas ranjang malam ini.

Bang Khalid beranjak, lalu meraih ponselnya yang tergeletak di nakas.

"Siapa?" tanyaku begitu dia melihat layar.

Bang Khalid menggeleng. "Nggak ada namanya."

"Ya udah angkat aja dulu, siapa tahu penting," usulku. Dia mengangguk dan mulai menyambungkan panggilan.

"Halo, assalamualaikum. Ini siapa, ya?"

" .... "

"Oh, Roy. Ada apa, Roy?"

Roy? Temannya Nindi? Mau apa dia menelepon malam-malam begini?

"Nindi? Kenapa, Ni--"

"Bang!" Kutahan tangannya sesaat sebelum dia beranjak. Aku menggeleng pelan. "Abang udah janji!"

Bang Khalid menghela napas gusar, dia jauhkan ponsel dari jangkauan.

"Tapi, Abang takut sesuatu terjadi sama Nin--"

"Nggak akan ada yang terjadi," sentakku lagi. "Masih ada tiga minggu sampe waktu persalinan. Aku mohon ...."

Melihat suaraku yang bergetar, dan air mata yang mulai menggenang. Bang Khalid akhirnya menyerah dan mematikan sambungan telepon secara sepihak.

Bang Khalid meletakkan ponselnya kembali. Lalu, merangkulku lagi.

Kuseka air mata yang sempat jatuh, beringsut mendekat. Melingkarkan tangan di pinggangnya, dan bersandar di dada Bang Khalid yang bidang sambil bergumam, "Makasih pengertiannya, Bang."

.

.

.

Bersambung.

BENIH TITIPAN SULTANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang