22. Waktu Bersama

688 62 4
                                    

"Nindi, lo inget saat gue pernah bilang kalau liat Si Indra digandeng Ibu-Ibu sosialita? Ternyata itu beneran istrinya. Akhirnya Si Bangsat pulang setelah lima tahun anjir!"

"Ah, yang bener? Lo, salah liat kali."

"Sumpah. Gue liat dengan kedua biji mata, itu beneran mantan laki, lu. Dia pulang ke rumah! Nemuin Bu Nia sama Nana dengan wajah tanpa dosa!"

"Nindi!" Tarikan tangan Khalid berhasil membuyarkanku lamunan tentang percakapan dengan Roy beberapa waktu lalu. "Dia mantan kamu, kan?" Lelaki itu menahanku, begitu kami sampai di dalam.

Aku terdiam sejenak, lalu berbalik menghadapnya.

"Iya, kenapa emang?"

"Nggak, saya cuma ...."

"Udah, nggak usah merasa tersaingi. Titidnya nggak seberapa, tapi nyakitinnya nggak kira-kira. Masih ganteng kamu ke mana-mana. Jauuuh dia mah."

"Astagfirullah, Nindi. Bukan itu maksud saya. Masalahnya--"

"Dahlah, nggak usah bahas Si Kampret. Kita sama-sama cape, ditambah ketemu Demit Gunung Gede. Buruan mandi, takutnya ketempelan nanti!"

Kutinggalkan Khalid yang hanya bisa menekan pelipis, dan mendesah gusar.

***

"Mbak ...."

"Mbak Nindi ...."

"Maen, yuk!"

Aku memutar bola mata saat melihat kepala Neli timbul dan keluar dari balik pintu yang setengah terbuka.

"Sekali lagi begitu, saya lempar sendal, ya, Neli!" ancamku sembari melepas alas kaki.

"Galak bener bumil yang satu ini." Neli akhirnya masuk. Dia berjalan menghampiriku yang tengah mengguntingi kuku kaki.

"Bodo." Aku tak peduli, lalu mengubah posisi membelakangi.

"Mau cerita?" Dia menumpukan dagu di pundakku.

"Nggak." Kukedikkan bahu yang membuat dagunya terantuk.

"Kalau ada masalah itu cerita, bukannya misuh-misuh sendiri," ledeknya.

"Kamu nggak bakal ngerti, jadi mending diem!"

"Justru karena saya nggak ngerti, makanya Mbak jelasin."

"Males."

Neli menghela napas panjang, persis Khalid bila kalah debat denganku.

"Saya cuma kerja, disuruh Bapak buat hibur Mbak Nindi."

"Saya nggak butuh hiburan, Neli. Butuhnya berita pemakaman."

"Astagfirullah, Mbak. Kok, begitu, sih?"

"Kesel banget liat mukanya tiba-tiba nongol setelah sekian lama. Kenapa harus dia dari sekian banyak orang?" Aku mulai mendumel.

"Takdir kadang emang begitu, Mbak. Apa yang kita harap seringkali nggak terwujud, tapi apa yang kita benci cepet banget terjadi."

Gerakan tanganku yang tengah memotong kuku terhenti. Kutatap deretan jari kaki yang baru sebagian dipotongi.

"Saya cuma mau menjalani masa depan dengan damai, Neli. Tapi, kenapa takdir terus-terusan membiarkan saya berhadapan dengan masa lalu?"

"Mbak, masa lalu itu nggak selamanya buruk. Tanpa masa lalu kita nggak akan bisa jadi orang yang lebih baik lagi."

Aku tersenyum miring. "Udah saya bilang kamu itu nggak bakal ngerti."

"Mbak ...."

"Mungkin saya nggak akan berakhir seperti ini kalau masa lalu bisa diperbaiki!" Tanpa sadar suaraku meninggi.

BENIH TITIPAN SULTANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang