28. Pamit (Cuplikan)

812 85 7
                                    

"Jangan lupa makan, jaga kesehatan, kalau ada apa-apa tolong langsung bilang. Kontak Mama masih kamu simpen, kan?" Aku mengangguk pelan saat Bu Sarah melerai pelukan. "Pokoknya jangan sungkan kalau ada yang kurang, Mama bakal pastiin Khalid memenuhi kebutuhan kamu dan transfer tiap minggu." Aku mengangguk lagi saat wanita berjilbab itu menangkup wajah seolah meyakinkan bahwa anak semata wayangnya tak akan lupa dengan kewajiban.

"Pa ...." Aku beralih pada Pak Ali, lalu mencium punggung tangannya dengan takjim.

"Jaga dirimu, ya, Nak. Di mana pun berada, kamu sudah menjadi bagian dari keluarga Prasetya. Jangan sungkan untuk meminta bila hal itu memang dirasa perlu." Gambaran Khalid di masa tua itu mengusap kepalaku, lalu tersenyum lembut.

Aku mengangguk pelan, lalu menggeser posisi ke tempat yang sebenarnya ingin sekali kulewati bila tak mengingat adab karena ada Pak Ali dan Bu Sarah di sini.

Bagian terberat dari semua ini adalah berhadapan langsung dengan pasangan suami istri dan anaknya yang masih bertumpu di atas kursi roda.

Kuangkat kepala, mengikis jarak yang tersisa, lalu menatap ketiganya satu demi satu.

"Masa lalu tak bisa diperbaiki, begitu juga dengan takdir yang tak bisa dihindari. Bila boleh memilih, lebih baik aku tak pernah dilahirkan daripada harus menerima kebencian dan dendam seseorang," desisan itu kuyakin hanya mampu mereka dengar. Karena Papa dan Mama Khalid langsung pergi begitu kami berpamitan.

"Nindi!" Genggaman di pergelangan tangan menahanku untuk tetap tinggal, meski sudah sangat ingin pergi. Kulihat wanita cantik berjilbab merah muda itu menatap nanar seolah meminta simpati. "Maaf," lirih suara lembut wanita itu terdengar.

"Aku hargai keputusan dan niat baikmu, Naya. Tapi, bukan berarti aku setuju bergabung dalam permainan yang kamu dalangi. Mengikat seseorang dalam hubungan yang tak seharusnya terjadi, hanya menciptakan luka untuk semua yang menjalani. Tunggu dua bulan lagi, setelah itu kalian akan dapat apa yang diinginkan, lalu kita akhiri kesepakatan ini."

"Nindi!" Suara Naya bergetar saat kulepas genggamannya yang melingkar di pergelangan tangan.

Aku beralih pada Neli yang sudah tersedu-sedu sedari tadi. Kutangkup wajah manis wanita berkulit sawo matang itu. "Udah, nggak usah nangis! Kita bakal ketemu lagi nanti."

"Mbak Nindi, huaaa ...." Tangisnya meledak begitu saja. Dia berhambur dalam pelukanku dan menumpahkan air mata tanpa tahu malu

Memang tak bisa dipungkiri, dari semua orang yang ada di ruangan ini mungkin hanya Neli yang akan kurindukan setiap hari.

***

Tiba di bandara dengan Khalid yang dengan suka-rela menyupiri, kami langsung menurunkan barang-barang, lalu memeriksanya lagi agar tak ada yang tertinggal sebelum check in di konter nanti.

Setelah memastikan semua barang, dokumen persyaratan, serta tiket siap, aku dan Roy bergegas menuju konter dengan barang bawan untuk segera melakukan check in.

Setelah serangkaian proses pemeriksaan dijalani, dan kami sudah mendapatkan boarding pass untuk kelas bisnis yang waktu keberangkatannya hanya tersisa beberapa menit lagi. Aku izin pada Roy yang sudah menuju gate keberangkat, untuk menemui sejenak Khalid yang terlihat masih setia menunggu di terminal tiga seolah memastikan aku kembali untuk pamit.

Tiba di hadapannya aku menghela napas panjang, lalu mengulurkan tangan dengan seulas senyum yang dipaksakan. "Aku pamit!"

" .... "

Menyadari tak ada respons berarti yang ditunjukkan, aku berinisiatif memulai duluan dengan menyambar tangan kanan Khalid, lalu menciumnya dengan takjim.

Begitu genggaman itu akan kulempaskan, tiba-tiba dia menahan.
"Jangan bilang pamit, ini bukan salam perpisahan, Nindi!" Suaranya terdengar dalam dan penuh penekanan.

Aku hanya tersenyum kecil menanggapi, lalu berniat menarik tangan yang masih erat dia genggam.

Namun, hal yang tak terduga justru terjadi saat dia tiba-tiba menarikku dalam pelukan, lalu berbisik pelan, "Kita akan bertemu lagi dalam waktu dekat ini. Saya janji!"

Kupejamkan mata begitu merasakan sesak bercampur haru yang berkecamuk menjadi satu. Sejurus kemudian, kudorong dadanya pelan, kemudian membenahi anak rambut yang terjuntai dari kuciran.

"As-assalamualikum." Sedikit tersendat kuucap salam.

"Waalaikumsallam."

Tak ada lambaian tangan, sorot matanya seolah menguatkan apa yang baru saja dia katakan tentang kata pamit yang tak selalu berarti perpisahan.

.

.

.

Bersambung.

BENIH TITIPAN SULTANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang