21. Tentang Harapan dan Pengkhianatan

668 64 3
                                    

Tujuh tahun lalu ....

Di depan gundukan makam dengan nisan bertuliskan 'Lusi Anita bin Abdul Jafar, aku terpekur memeluk balita berumur satu tahun dalam gendongan, menenangkan lelaki yang bahunya berguncang meluapkan rasa kehilangan yang amat besar. Setelah tiga tahun berumah tangga, setahun diberi kepercayaan untuk menjadi orang tua. Maut akhirnya memisahkan mereka, karena penyakit magh kronis yang menggerogoti tubuh istrinya.

Kak Lusi dan Kak Indra bisa dibilang orang yang berjasa saat aku tinggal di panti. Mereka juga yang setahun lalu menawariku pekerjaan di sebuah cafe menjadi seorang barista. Sejak saat itu aku meninggalkan panti serta semua kenangan manis dan pahit yang pernah tercipta di sana. Kemudian memutuskan menetap di sebuah kontrakan masih di daerah yang sama dengan mereka, yaitu Jakarta Selatan.

Setelah resign dari Panti Tali Asih Kak Indra memang memutuskan untuk bekerja menjadi seorang butuh pabrik, sementara Kak Lusi fokus menjadi ibu rumah tangga. Tiga tahun pertama pernikahan mereka dicoba dengan kebakaran yang membumihanguskan rumah orang tua Kak Indra yang menyebabkan Bapaknya meninggal dunua. Sejak saat itu Bu Nia selalu ikut dengan mereka bahkan saat mereka menempati rumah kontrakan di sebelahku.

Hampir tiap hari melewati waktu bersama. Aku mengenal banyak tentang mereka. Bahkan dengan Nana, balita lucu yang saat ini ada dalam gendonganku. Tak menyangka anak sekecil ini sudah dihadapkan dengan kenyataan kehilangan Ibu di usia yang amat sangat belia. Tapi, Nana beruntung dia masih punya Papa dan Neneknya. Saat dibuang di panti dulu aku justru tak punya siapa-siapa.

"Udah, Kak. Ikhlasin Kak Lusi. Dia udah tenang di sana. Sekarang giliran kita yang ditinggalkan untuk melanjutkan hidup yang tersisa." Kuremas bahu lebarnya. Berusaha memberi kekuatan di tengah cobaan yang menerpa. Meski kata tak semudah tindakan, tapi untuk saat ini hanya itu yang bisa kulakukan.

Kak Indra menoleh, dia seka kasar air mata yang tersisa, lalu tiba-tiba memeluk kami berdua.

Aku cukup terkejut dengan tindakannya, apalagi saat melihat Bu Nia yang berada di antara kita berdua. Namun, mencoba memahami situasi, tak ada yang bisa kulakukan selain balas memeluknya.

Kehangatan itu masih terasa sama, debar yang ditimbulkan juga tetap tak biasa. Bertahun-tahun memendamnya, ternyata perasaan itu masih belum sirna, meski dia sudah sempat dimiliki perempuan lainnya.

"Terima kasih untuk semuanya, Nindi."

***

"Nindi, oi, sini!" Seseorang memanggil saat aku tengah meracik kopi untuk berinovasi. Dia teman seprofesi. Namanya Novi.

"Apaan, sih?" Kuhampiri dia yang tengah mengambil gelas bekas di meja tiga.

"Ada yang nyariin, cogan anjir." Dia heboh sendiri.

"Siapa?" Aku memicingkan mata.

"Katanya namanya Indra!"

Aku tertegun.

Mau apa Kak Indra sampai repot-repot datang ke tempat kerja?

"Oh, kirain siapa."

"Pacar lu?" seloroh Novi.

"Bukanlah."

"Ah, bohong. Setahu gue bukan sekali dua kali dia dateng ke sini."

"Dah, ah, Vi. Daripada nanggepin elo, mending gue samperin Kak Indra."

"Hacie, cie Si Nindi punya laki!"

"Berisik lo, Novi!"

Tak mau membuatnya menunggu terlalu lama karena melani ocehan Novi, bergegas aku berjalan keluar, lalu menghampiri Kak Indra yang duduk di bangku paling ujung.

BENIH TITIPAN SULTANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang