37. Naya : Sulit Melepaskan (Cuplikan)

421 30 0
                                    

"Kenapa cuma ngelamun liatin hape? Khalid sibuk lagi?" Bunda yang tiba-tiba masuk ke kamar mengejutkan. Dia duduk di sisi lain ranjang.

Aku mengangguk pelan tanpa jawaban.

"Kan, udah Bunda bilang dari jauh-jauh hari. Batasin pergerakan suami kamu sama wanita itu. Liat, kan akibatnya sekarang? Mau hubungin suami sendiri aja udah kayak mau hubungin Mentri, harus ada janji, harus tanya dulu. Terakhir video call juga tiga hari lalu, kan?"

Aku tertegun, karena merasa apa yang Bunda katakan memang ada benarnya. Akan tetapi logikaku sedikit menentang.

"Ng--tapi kalau diliat dari kacamata keadilan, Bang Khalid lebih banyak ngabisin waktu sama Naya dibanding Nindi," sanggahku kemudian.

"Nggak penting dia ngabisin waktu lebih banyak sama siapa, Nay. Kamu lupa istilah suka karena terbiasa itu sering terjadi? Mau apa yang Bunda alami kejadian juga sama kamu? Setidaknya Khalid nggak kayak Ayahmu, Nak. Sebelum terlambat mending buruan kamu kejar! Susah cari yang kayak Khalid, dia itu sosok yang sempurna sebagai seorang suami, yakin kamu bisa benar-benar rela melepasnya untuk adik harammu yang hanya terikat darah? Seharusnya kamu sadar kalau kamu itu terlalu lebar membuka celah. Nindi itu mantan pelacur, atau mungkin masih begitu. Bunda pernah denger kalau kemampuannya untuk menggoda nggak perlu diragukan lagi."

Kugigit bibir tanpa sadar, meremas ujung piama dengan perasaan yang sulit digambarkan.

"Kamu dan Khalid sudah lama saling kenal. Saat kalian sama-sama sekolah di luar negeri, juga saat pertemuan relasi bisnis. Udah sepuluh tahun, Nay. Rumah tangga kalian juga sudah berjalan hampir tujuh tahun. Apa kamu mau semua itu direnggut darimu oleh seseorang yang bahkan baru Khalid kenal kurang dari setahun?"

Aku terdiam, karena apa yang Bunda katakan terlalu sulit untuk disangkal. Kesepakatan pernikahan, surogasi mother, bahkan penyatuan mereka semua aku yang mengusulkan.

Seperti kata Bunda barusan, semakin diperhatikan semakin tak bisa dibiarkan. Aku mulai merasa kalau semua salah, dan aku menyesal membawa Nindi dalam hidup kami.

Bang Khalid satu-satunya sumber kebahagiaanku, tak akan aku biarkan dia pergi barang sedetik pun.

Seharusnya bila aku ingin membantunya, cukup menjadikan dia adik, bukan madu. Kalau sudah seperti ini aku hanya perlu mengakhiri apa yang sudah kumulai.

"Baiklah, Naya atur penerbangan ke Jakarta buat besok pagi!"

"Nah, gitu, dong. Itu baru anak Bunda."

.

.

.

Keputusanku untuk datang ke Jakarta ternyata sudah benar. Aku tak mau celah yang terbuka itu semakin lebar dan membuatku semakin menyesal.

Cukup mudah melacak lokasi indekos di daerah padat penduduk seperti Jakarta Pusat khususnya Kemayoran. Dari bandara aku hanya perlu menempuh tiga puluh menit perjalanan menggunakan taksi.

Kuperhatikan sekitar pemukiman yang ramai. Untukku yang suka ketenangan jelas tempat ini kurang nyaman.
Aku juga sangat tahu Bang Khalid luar dan dalam. Lelaki itu sangat pemilih bahkan untuk urusan tempat dan makanan. Kami pernah sekali menginap di sebuah vila karena perjalanan bisnis mengharuskan. Dan suamiku itu demam sampai dua hari dua malam karena tak cocok dengan lingkungan dan airnya.
Aku heran bagaimana bisa Bang Khalid mudah beradaptasi di tempat ini?

Tok! Tok! Tok!

Kuketuk pintu yang hanya berukuran kurang lebih 1,8 meter di hadapan. Melihat pintu tua ini aku jadi membayangkan tinggi Bang Khalid yang bisa dibilang sama.

Ceklek!

Pintu terbuka. Terlihat lelaki lelaki yang kurindukan sepekan terakhir berdiri di baliknya. Dia mengenakan kaus dan celana pendek dengan rambut yang masih sedikit basah.

Kuhela napas panjang setelahnya. Pikiranku mulai berkejaran. Rambut basahnya jelas bukan tanpa alasan. Apa mereka melakukannya tiap malam? Tiap ada kesempatan? Atau seminggu setelah kedatangan?

Semakin dipikirkan, sesak di dada semakin menjalar. Aku teringat tiga pekan kebersamaan Bang Khalid bahkan hanya sesekali menunaikan kewajibannya padaku, bahkan bisa terhitung oleh jari, bila kutanya alasannya, jawaban dia selalu sama, bahwa aku belum cukup mampu, atau alasan menyebalkan lainnya bila sengaja kupancing duluan.

Jujur, memang. Setelah rahimku diangkat, aku tak lagi bisa merasakan perasaan luar biasa saat kami berhubungan. Semua terasa hambar. Namun, aku senang melakukannya karena itu kewajiban yang memang seharusnya kutunaikan.

"Ngapain kamu ke sini, Nay?"

Mendengar respons-nya yang seolah tak suka, hatiku semakin terbakar. Kutatap ia dengan nyalang, lalu mengucapkan kalimat berupa cibiran.

"Loh, emangnya salah kalau aku ngunjungin suami sama adik madu sendiri?"

***

Sejak mendapati respons yang tak menyenangkan dari tuan rumah dan sindiran-sindiran yang Nindi layangkan, aku semakin muak dan ingin segera mengakhiri semuanya.

Aku benar-benar benci mengakui bahwa Nindi mampu mengubah banyak hal dari lelaki yang kucinta. Mengubah caranya makan, mengubah kebiasanya dalam menjaga pola hidup sehat. Aku bahkan sangat terganggu melihat baju-baju kering dan dalaman yang menumpuk di karpet yang mungkin saja bisa mengundang kuman atau kotoran, apalagi kuperhatikan perut Bang Khalid yang datar mulai sedikit berlemak dan bisa kugenggam.

Tapi, satu hal yang kuyakin masih tak berubah darinya. Yaitu penurut. Sampai detik ini ternyata Bang Khalid masih tak mampu menolak permintaanku, bahkan setelah aku minta dia untuk mengemasi barang dan bergegas pulang.

Nindi mungkin mampu memanjakan perut dan lidahnya, menyenangkan dia di ranjang, serta mengubah sedikit demi sedikit kebiasaannya. Namun, satu yang tidak bisa dia lakukan, yaitu menggeser posisiku sebagai ratu seperti yang dia katakan beberapa saat lalu.

Lega kurasakan, ketika kami dijemput sopir menuju rumah di Pondok Indah. Meski ada sedikit drama, tapi aku mampu mengembalikan semuanya tepat pada tempat yang seharusnya.

"Bang!" Kugenggam tangan Bang Khalid yang tersimpan di paha. Sepertinya pikirannya sedang melayang, karena sepanjang perjalanan hanya menatap keluar jendela. Memerhatikan lalu-lalang kendaraan dan padatnya ibukota.

"Hmm ...." Dia hanya bergumam, dan menoleh dengan kedua alis terangkat naik.

"Abang nggak lupa, kan?" tanyaku hati-hati.

"Lupa apa?"

"Kesepakatan yang terjadi di antara kalian itu cuma berlaku satu tahun."

Desah gusar terdengar. Sorot matanya menajam.

"Jangan bahas lagi tentang kesepakatan-kesepakatan, Nay. Di sini abang yang imam. Abang tahu apa yang harus abang lakukan, selama semua masih berjalan adil dan sesuai, tolong jangan egois!"

.

.

.

Bersambung

BENIH TITIPAN SULTANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang