Siangnya ....
"Udah lebih dari dua minggu, Beb. Coba lu turunin sedikit gengsi dan hubungin dia duluan," celetuk Roy di tengah-tengah kegiatan mengemasi sembako untuk syukuran yang akan kuadakan demi kelancaran persalinan dalam beberapa minggu ke depan.
Aku terdiam, menatap kantong berisi beras, minyak, telur, dan mie instan.
Ini bukan tentang gengsi, tapi tentang harga diri dan kepedulian. Aku tak malu untuk memulai duluan, tapi bila yang bersangkutan tak ada upaya untuk sekadar memberi kabar, untuk apa aku berjuang?
Meski jauh di sudut hati terdalam, kebersamaan kami dalam sepekan, membuatku mulai merasakan getaran dan rasa kehilangan serta rindu yang sulit digambarkan.
"Ogah, ngapain? Kalau dia nggak ada effort buat hubungin, berarti gue emang nggak pernah diprioritaskan."
"Ck, kapan, sih lu bisa positif thinking sama si Khalid?"
"Nggak tahu, sejak Naya sadar, gue bahkan makin susah buat percaya sama dia. Bahkan saat dia janji bakal kembali dalam waktu dekat ini." Sejenak kulempar pandangan pada tumpukan bingkisan sembako yang sudah ditata rapi untuk kemudian dibagikan. "Lo tahu, Roy? Syukuran ini udah gue rencanain dari jauh-jauh hari. Gue sebenernya seneng saat dia bilang mau tinggal sampai persalinan, tapi belum sebulan si Naya datang, dan rencananya berantakan. Satu-dua hari, bahkan sampe seminggu masih gue tunggu. Tapi, setelah dua minggu gue baru sadar kalau semua yang gue lakuin cuma buang-buang waktu."
"Hei!" Roy menepikan kantong sembako yang masih kupegang, lalu membunuh jarak dan menangkup wajahku. "Masih banyak orang yang sayang dan peduli sama lu di sini."
Aku tersenyum, lalu menurunkan tangannya. "Gue tahu, tapi entah kenapa masih berasa kurang."
"Setidaknya lu masih punya rencana masa depan setelah semua kesepakatan ini berakhir, kan?"
Aku terdiam.
"Gue nggak yakin."
***
Pembagian sembako dilakukan setelah Ashar, setelah pengajian dilakukan di masjid terdekat. Dibantu Pak RT, Bu Nia yang datang bersama Nana, juga Roy dan Tante Lala. Kami menyediakan kurang lebih tiga ratus bingkisan untuk tiap keluarga.
Meski tak sedikit yang menolak, karena tahu latar belakangku, Roy, dan Tante Lala. Mereka yang menolak merasa bahwa apa yang diberi adalah pengalihan isu dari pekerjaan haram yang sempat kujalani. Apalagi saat melihat tak ada suami yang mendampingi, semakin memperkuat asumsi bahwa anak yang kukandung ini tak jelas siapa bapaknya.
Namun, aku tak peduli. Orang yang sudah tertutup hatinya memang selalu menilai sesuatu hanya berdasarkan intuisi bukan nurani. Padahal apa yang kulakukan murni dari hati, dan semuanya berasal dari nafkah halal yang Khalid beri selama ini.
Terlepas dari semua itu ternyata masih banyak orang yang peduli. Mendoakan sepenuh hati demi kelancaran persalinan nanti.
"Sehat, sehat, ya, cantik. Semoga lain kata papanya bisa dampingi biar mama nggak sendirian lagi." Aku hanya bisa tersenyum getir saat melihat Bu RT mencium pipi kanan dan kiri, lalu mengelus perutku ini. "Kamu mah orang baik, ibu tahu. Nggak usah denger apa kata orang yang dengki!" pesannya sebelum pergi.
Sepeninggal Bu RT, giliran Uda Rahmat yang menghampiri. Kuulurkan bingkisan sembako pada pemilik rumah makan pandang langgananku itu.
"Terima kasih, ya, Mbak, Nindi. Semoga dilancarkan segala urusannya. Dan dijadikan keluarga yang sakinnah, mawwadah, warrahmah."
Aku tersenyum dan menyambut uluran tangan Pak Rahmat.
Semakin mengerucut antrian, semakin kurasa perasaan yang sulit digambarkan. Apalagi saat doa-doa yang disematkan orang-orang kala uluran tangan kami bertautan.
KAMU SEDANG MEMBACA
BENIH TITIPAN SULTAN
RomanceAku hanya bisa tertawa saat pertama kali dia datang, menawarkan sesuatu yang lebih berharga dari intan permata. Menceritakan tentang ketidakberdayaan istrinya, dan keputusasaan menghadapi masa depannya. Dia menjanjikan komitmen yang dibalut kesepak...