20. Terhubung

702 69 5
                                    

Aku duduk di tepi ranjang samping kiri. Memintal-mintal selimut yang menutup setengah tubuh ini. Kutatap Khalid yang baru kembali dari kamar mandi, jejak basah terlihat masih tertinggal di ujung rambut hingga menetesi kerah kaus.

"Kalau kamu keberatan saya bisa tidur di sofa atau ruang tam--"

"Nggak usah!" sentakku tanpa sadar. Kutahan tangannya yang hendak meraih selimut dan bantal. "Di sini aja, temenin." Kutepuk dahi sesaat setelah mengatakan, kalau begini jadinya aku seperti sangat menginginkan.

Entah apa yang sebenarnya terjadi. Ini bahkan bukan pengalaman pertamaku dengan lelaki. Aku bahkan sudah mengenal berbagai macam Kaum Adam.Tapi, kenapa sekarang seolah ada perasaan janggal yang tak pernah dirasakan?

"O-oke." Tanpa menoleh aku bisa merasakan pergerakan ranjang di samping kanan. Dia menarik selimut yang semula hanya kugunakan.

Napasku tercekat saat kaki kami bersentuhan. Sialan, apa-apa perasaan ini?

Mencoba menepis berbagai macam perasaan yang berkecamuk menjadi satu, aku berinisiatif mengubah posisi membelakangi.

Cukup lama keheningan menyelimuti kami. Tak ada kata. Hanya debaran dada  yang hanya bisa kurasakan sendiri.

"Nindi ...."

Deg!

Seperti bisikan, suara itu berhasil membuat bulu kuduk meremang, dan jantungku berdegup dua kali lebih kencang.

Perlahan aku mengubah posisi, hingga kusadari dia sudah berbaring dengan posisi menyamping menghadapku.

"Ya?"

Mata kami bertemu, untuk pertama kalinya aku dan Khalid berada dalam posisi yang cukup intens.

"Saya juga lelaki, Nindi. Punya hasrat dan naluri."

Aku menelan ludah.

Apakah selama ini aku salah mengenalnya?

"Seperti yang pernah kamu katakan di malam pernikahan kita. Iman saya bisa saja lemah, keyakinan saya bisa saja goyah bila hampir tiap hari dihadapkan dengan makhluk yang Tuhan ciptakan begitu indah."

Kuhela napas panjang saat melihat tangan Khalid terulur ke arahku. Lekat tatapannya menyapu setiap inci wajah ini. Lembut sentuhnya saat mengusap pipi dengan ibu jari.

"Kalau ego saya tinggi, mungkin sejak hari pertama sudah saya tunaikan kewajiban yang seharusnya menjadi hakmu."

Khalid menarik tubuhku, lalu mendekapnya.

"Entah sampai kapan semua ini berakhir, entah seberapa kuat saya mampu menahannya. Yang pasti sampai detik ini, semua yang saya lakukan tujuannya agar tak menyakiti salah satu di antara kalian. Karena tak bisa dipungkiri, setiap kali menatap matamu, yang saya ingat hanya Naya." Bersamaan dengan itu, aku bisa merasakan dia mengecup keningku. Mengetatkan pelukan, dan membenamkan kepalaku di dadanya yang bidang.

Jantungnya berdegup kencang, aku tahu dia juga merasakan apa yang kurasakan.

Seperti rindu, hasrat yang berusaha diredam, hanya meninggalkan nyeri yang sulit dideskripsikan. Hanya malam yang tahu, bagaimana cara mengendalikan tiap kegelisan yang dirasakan bersama dengan mimpi-mimpimu.

***

"Kok, kalian nggak keramas?"

"Uhuk!"

Pertanyaan dari Neli membuat Khalid yang baru saja menegak air, sebelum imsak, tersedak.

"Apa maksud kamu?" Dia menjawab ketus.

"E, umm, anu, itu ...." Si Neli gelagapan sendiri, kemudian menyikutku. "Mbak!"

BENIH TITIPAN SULTANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang