"Sungguh, tidak ada yang lebih aku takutkan daripada dicabutnya iman dari dalam hatiku.”
-Gaffi, Meminangmu-
🥀🥀🥀
Setelah selesai merekap nilai harian para muridnya, Gaffi melepaskan kaca matanya. Sejenak dia merenggangkan otot-otot yang terasa kaku sebab cukup lama berkutat dengan pekerjaannya hingga pukul sepuluh malam. Menghela napas panjang, tiba-tiba tenggorokannya terasa kering.
Gaffi beranjak menuju dapur, mengambil sebotol air dingin dari kulkas dan menuangkannya di gelas. Aliran dingin yang mengaliri tenggorokannya terasa begitu menyegarkan. Rasa haus yang tempat terasa mencekik seketika sirna begitu saja. Segera dia menggumamkan hamdalah.
Ketika akan kembali ke kamar, langkah Gaffi tiba-tiba terhenti di depan kamar sebelah. Kamar yang beberapa waktu lalu ditempati oleh Faezya. Untuk beberapa saat matanya terpancang pada pintu kamar itu sebelum memutuskan untuk membukanya. Keadaan kamar masih sama seperti terakhir kali gadis itu tinggalkan. Bahkan, tempat tidurnya masih berantakan sebab dia belum sempat membereskannya.
Dia mendudukkan diri di tepi tempat tidur, mengelus lembut kasur putih itu. Samar, aroma manis vanila menyambar indra penciumannya. Sudut bibirnya sedikit tertarik, mengingat kembali perihal perempuan itu.
“Faezya.” Gaffi berucap lirih, mengingat nama perempuan berambut panjang itu. “Faezya Az-Zahra.”
🥀🥀🥀
Gaffi tidak tahu berapa lama dia terlelap saat perempuan itu hadir dalam mimpi dan membuatnya terbangun seperti malam sebelumnya. Dia segera duduk dan memandang berkeliling. Lagi-lagi, aroma manis vanila mengusik indra penciumannya dan dia sadar jika telah ketiduran di kamar ini.
Dia mengusap wajah dengan satu telapak tangan sembari beristigfar. Apa yang terjadi padanya? Kenapa perempuan itu selalu saja hadir dalam mimpinya? Lalu sekarang, aroma perempuan itu berhasil membuai dan membuatnya terlelap. Dia tidak boleh terus seperti ini.
“Seprainya harus segera diganti,” ucapnya lirih. Dia merasa harus segera menghilangkan segala jejak perempuan itu di rumah ini. Setidaknya selama perempuan itu belum menjadi mahram untuknya.
Jam dinding di kamar itu menunjuk angka tiga, gegas dia beranjak keluar kamar. Dia harus segera meminta petunjuk pada Sang Maha Kuasa.
🥀🥀🥀
Di atas hamparan sajadah, setelah menunaikan salat tahajud dengan khusyuk, Gaffi menengadahkan tangan guna bermunajat kepada Allah. Melangitkan segala doa yang telah atau pun baru untuk kali ini dia pinta. Memasrahkan segalanya kepada Sang Perencana Terbaik. Sebab dia tahu, sebaik apa pun rancangan rencana yang telah dia buat, tetap saja rencana-Nya yang terbaik.
“Ya Allah, aku percaya segala yang terjadi adalah bagian dari kehendak-Mu. Bagian dari rencana-Mu. Termasuk pertemuanku dengannya, sebab aku tahu tidak ada sesuatu yang kebetulan melainkan telah Engkau atur.”
Perihal hujan yang menyentuh bumi. Daun yang gugur dari tangkainya. Angin yang tembus. Riak ombak di lautan. Kelahiran dan kematian. Pertemuan dan perpisahan. Segalanya adalah kehendak dan kuasa-Nya. Tak pernah Gaffi menyangkal akan kuasa dan kehendak-Nya akan semua itu.
“Jika pertemuan hamba dengannya adalah bagian dari ujian dari-Mu, kuatkanlah imanku. Jangan biarkan pikiran tentangnya lebih condong dibanding kepada-Mu. Aku tidak ingin jauh dari rahmat-Mu. Sungguh, tidak ada yang lebih aku takutkan daripada dicabutnya iman dari dalam hatiku.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Meminangmu
ChickLitJika berkenan, harap follow jika menyukai cerita ini 🤗 ⚠️ Untuk dibaca, bukan untuk diplagiat! Jadilah hebat tanpa harus menjadi bayangan orang lain. ⚠️ Konten 18+ (Tapi bukan cerita ehem-ehem). Harap bijak memilih bacaan. **** Kejadian di suatu ma...