4 || "Faezya, Kamu Apakan Saya?"

132 19 0
                                    

"Jangan gampang menghakimi seseorang. Hari ini mungkin dia dipandang buruk oleh manusia. Tapi, bisa jadi besok Allah mengangkat derajatnya."

-Meminangmu-

🥀🥀🥀

Bersamaan dengan bel istirahat berbunyi, Gaffi segera menyudahi proses belajar mengajar mata pelajarannya. Setelah memberi tugas rumah kepada para anak muridnya, dia bergegas keluar kelas. Dia tersenyum ramah sembari membalas sapaan beberapa murid saat melewati koridor kelas menuju ruang guru.

Menjadi salah satu guru yang masih terbilang muda di sekolah menengah pertama membuat beberapa anak didiknya tak segan untuk menyapa ataupun melempar lelucon kepadanya. Gaffi pun menanggapinya dengan senyum ataupun tawa kecil. Interaksi seperti itu dia jadikan sebagai sarana pendekatan kepada para anak didiknya yang memasuki usia remaja itu.

“Enggak makan lo?”

Gaffi menoleh pada Zaki yang bersebelahan meja dengannya. Keadaan ruang guru kini cukup sepi, hanya ada beberapa guru senior yang duduk dan masih sibuk di mejanya masing-masing meski telah masuk jam istirahat.

“Sebentar, sekalian makan siang,” jawab Gaffi sembari membuka laptopnya. Sekarang masih sekitar pukul sepuluh dan dia tadi sudah sarapan bubur ayam. Jadi, dia memilih untuk menunggu jam istirahat ke dua sebelum salat Zuhur nanti biar bisa sekalian makan siang.

Zaki mengangguk paham. Dia dan Gaffi telah bersahabat sejak masa kuliah meski berada di jurusan berbeda. Jika Gaffi mengambil jurusan matematika maka Zaki mengambil jurusan bahasa Inggris. Dan mereka bersyukur bisa mengajar di tempat yang sama sehingga persahabatan mereka dapat terus berlanjut.

Untuk sesaat keduanya tampak sibuk  masing-masing sebelum Zaki mengalihkan pandangan dan menggeser kursinya mendekat pada Gaffi. Berdeham sebentar guna menarik perhatian Gaffi. “Fi ....”

Gaffi hanya bergumam, masih fokus pada lembar jawaban para muridnya. Sesekali kepalanya menggeleng saat mendapati masih banyak anak muridnya yang menjawab dengan salah, padahal untuk materi itu dia telah menjelaskannya berulang-ulang. Namun, kesalahan seperti ini bukan menjadi masalah besar untuk Gaffi. Asal mereka mengerjakan dengan jujur tanpa menyontek satu sama lain, Gaffi akan sangat menghargainya. Toh, belajar itu sebuah proses, kan?

“Gimana semalam?”

Pertanyaan Zaki yang terdengar begitu dekat telinganya membuat pergerakan tangan Gaffi terhenti. Dia lalu menoleh pada Zaki. “Apa?”

Zaki mendecakkan lidah, tampaknya Gaffi pura-pura tidak tahu. “Cewek yang semalam,” jelas Zaki dengan suara pelan agar tidak terdengar orang lain. “Sudah lo pulangin?”

“Dia pulang sendiri.”

Mulut Zaki membulat dan kepalanya mengangguk-angguk. Tapi, setelahnya dia kembali bertanya dengan raut penasaran, “Enggak terjadi apa-apa, kan?”

Gaffi yang hendak melanjutkan pekerjaannya lantas kembali menoleh setelah meletakkan pulpen yang sedari tadi dia pegang. “Maksudnya?” tanyanya, melempar tatapan datar pada sahabatnya itu. Jelas dia tahu arah pembicaraan Zaki yang suka ngawur itu.

“Ya ... lo sama tuh cewek. Bayangin aja, ada cowok-cewek dalam satu rumah cuma berdua doang. Terus ceweknya mabuk, pastilah—”

“Istigfar!” lontar Gaffi, memotong ucapan Zaki. “Otakmu kayaknya butuh dikuras biar kembali suci. Apa saya terlihat seperti laki-laki yang ada di otakmu itu?” Nada suara Gaffi terdengar tegas. Jelas dia sedikit tersinggung dengan dugaan yang Zaki lemparkan.

Zaki menggaruk kepala sembari menyengir. “Siapa tahu kan lo khilaf gitu.”

Gaffi menggeleng tak habis pikir. Ingin rasanya menggetok kepala Zaki dengan tetikus laptopnya. “Astagfirullah, saya masih takut dosa. Mana mungkin saya berani menyentuh seorang putri yang sudah pasti dijaga baik oleh ayahnya.”

MeminangmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang