12

25 14 0
                                    

Yang mendongak pun tak kalah terkejutnya.

Viola segera menormalkan ekspresi wajahnya. "Maaf gue nggak sengaja," ujar Viola pelan. Ah, banyak sekali manusia yang berada di muka bumi ini tapi mengapa Viola harus bertemu dengan Adiknya disini?

Argio tersenyum lebar. "Iya, nggak apa-apa."

"Bolos sekolah lo?" tuduh Viola.

Tidak terima di tuduh seperti itu, Argio menatap tidak terima. "Eh? Nggak lah! Aku emang nakal. Tapi nggak sampai bolos sekolah juga, Kak. Lagian ini udah jam pulang," ujar Argio menjelaskan. Ia memang sedikit nakal. Tapi mana mungkin ia berani bolos sekolah. Gini-gini Argio tau cara menghargai, menghargai kerja keras mereka yang sudah membiayai ia bersekolah. Argio juga cukup tahu diri untuk tidak mengecewakan mereka. Terlebih, mana tega ia melihat wajah kecewa Mama tercintanya.

Viola mengangguk pelan. "Pernah denger dari Mas Agi. Katanya lo pulang sekolahnya sore."

Argio tersenyum tipis. Tidak menyangka Kakaknya akan mengingat hal itu sampai sekarang. "Cuma hari Selasa yang pulang Sore sebenarnya. Hari Senin sama Rabu aku ada Voli. Tapi kalau selain Senin, Selasa, Rabu, aku pulangnya normal. Jam satu siang," ujar Argio menjelaskan.

Viola hanya merespon dengan anggukan kecil. Ia melirik Vigo sekilas yang sedari tadi hanya menyimak obrolan antara Argio dan dirinya. Viola jadi sedikit bingung. Apa ia harus mengenalkan Argio sebagai Adiknya? Apa tidak perlu?

Viola memilih opsi pertama. Memilih opsi kedua sepertinya terlalu jahat. Untuk mulai berdamai dengan Argio, sepertinya ia juga harus mulai mengakui jika Argio adalah Adiknya. Viola membasahi bibirnya sekilas, kemudian menatap penuh kepada Vigo.

"Vigo, ini Argio. Adik aku," ucapnya pelan.

Mendengar Kakaknya berujar seperti itu, Argio memajukan tangan kanannya, berniat untuk bersalaman. Vigo menjabatnya.

Vigo tersenyum tipis. "Vigo."

Argio hanya mengangguk.

Vigo melirik sekilas kepada komik horor yang sedang Argio pegang. "Suka komik horor?" ucap Vigo memulai obrolan.

"Iya, suka," singkatnya.

"Komik horor yang seru yang mana?" tanya Viola. Ikut gabung dalam percakapan.

Argio terdiam. "Buat siapa? Bukannya Kakak takut buat baca genre horor?" ujar Argio pelan.

"Adik saya," sahut Vigo cepat. "Saya yang mengajak Kakakmu kesini buat menemani saya memilih hadiah, untuk Adik saya," akunya.

Argio menghela napas pelan. Memilih komik seru yang pernah ia baca. Menyerahkannya kepada Vigo. "Semoga Adiknya suka. Langsung bawa Kakak saya pulang, jangan mampir-mampir," tegas Argio.

Punggung Argio mulai menjauh dari penglihatan Viola dan Vigo.

Vigo menatap Argio dengan pandangan yang sulit di artikan. Ah, mengapa menjadi seperti ini? Ia jadi merasa bersalah mengajak Viola. Vigo bisa melihat, anak itu merasa cemburu. Vigo tidak sebodoh itu untuk tidak tahu. Ingin sekalian membayar komik yang sedang di pegang oleh anak itu, tetapi Vigo takut anak itu merasa tersinggung.

Setelah membayar komik itu di kasir Vigo benar-benar langsung mengantarkan Viola sampai rumah. Melaksanakan amanah Argio.

•••

Hari Minggu akhirnya tiba, yang Viola lakukan hari ini adalah bermalas-malasan. Ah, tidak terasa sudah dua hari ia dan Vigo tidak pernah berkomunikasi lagi. Entah mengapa mereka menjadi sedikit canggung.

Kapal KertasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang