26

25 12 0
                                    

Rumah pohon. Tujuannya adalah rumah pohon. Tapi belum sempat Viola bertanya, Vigo sudah membuka suaranya, "jalan kaki ke tempatnya tidak masalah? Dekat kok," ucapnya di sertai dengan senyum manis.

Viola menatap Vigo bingung, bukan kah ini sudah sampai ke tempat tujuannya? Mau kemana lagi mereka?

"Aku tidak akan macam-macam, ayo," ajak Vigo agar Viola mau mengikuti langkahnya.

Tanpa banyak tanya Viola mengikuti langkah pelan Vigo. Tetapi setelah kaki mereka melewati tempat yang mirip dengan hutan-hutan, jantung Viola berdetak dua kali lebih cepat. Ia meraih lengan Vigo yang di lapisi oleh jaket. "Mau kemana sih?" tanya Viola takut.

"Ada," sahut Vigo sekenanya.

"Ya adanya itu kemana dulu?" sahutnya tidak santai.

Tanpa menjawab Vigo melangkahkan kakinya menuju tepi danau, dan sialnya justru membuat Viola terkejut. Tenggorokannya tiba-tiba mengering, aliran darahnya terasa terhenti. Viola benar-benar tidak tahu harus bereaksi seperti apa.

"Vig?"

Vigo meminta Viola untuk duduk di tepi danau dengan gerakan tubuh. "Duduk saja, sebelum kesini aku bersihin tempatnya dulu kok."

Otak Viola yang belum bisa memproses kejadian ini pun hanya bisa menurut. Sebenarnya siapa Vigo? Apa dia adalah anak laki-laki yang pertama kali mengenalkan tempat ini kepada dirinya? Viola benar-benar tidak mengingatnya.

Vigo menoleh sekilas ke samping untuk melihat wajah Viola. "Suka tempatnya?"

"Suka," sahutnya pelan.

"Masih nyaman kok tempatnya, masih seperti dulu, waktu pertama kali kita kesini bareng."

"Jadi kamu anak kecil yang ngajak aku kesini?" tanya Viola dengan kekehan kecil.

"Enak saja, aku sudah masuk SMP ya waktu itu," sahut Vigo, sedikit tidak terima sebenernya jika Viola menyebutnya sebagai anak kecil. Bukankah panggilan tersebut lebih cocok untuk Viola?

"Iya deh iya yang baru daftar SMP," ledek Viola. Kemudian ia terkekeh kecil, "harusnya aku daftar SMA juga ya waktu itu? Lanjutin ke sekolah impian aku, nyiapin persyaratan pendaftaran kaya yang lain. Tapi keadaannya waktu itu bener-bener kacau. Sekacau itu, sampai niat buat lanjutin hidup aja aku nggak ada," Viola mengakhiri ucapannya dengan kekehan getir.

Lalu ia melanjutkan ucapannya. "Dua tahun lalu, ibu aku meninggal. Tepat di hari kelulusanku. Ibu itu... pusat semestaku. Dia orang pertama yang bakal aku cari kalo lagi berantakan ataupun lagi bahagia. Dia bener-bener definisi manusia terbaik yang pernah aku temui. Sampai tanpa aku tahu ibu aku ternyata sakit, tapi cuma aku yang nggak tau di situ. Papa sama Mas Agi tau tapi bener-bener ngerahasiain ini dari aku." Viola berhenti sebentar untuk melepas kacamatanya. Lalu menyeka air mata yang tanpa aba-aba menetes.

Vigo yang berada di sampingnya ikut merasakan rasa sakit itu, meskipun awalnya sedikit terkejut mendengar fakta itu. Melihat Viola menangis seperti ini... hatinya ikut merasakan sakit. "Hei, kalau menceritakan kembali hal itu bisa membuat kamu sesakit ini berhenti saja. Aku tidak mau membuka luka lama kamu lagi."

Viola menoleh kesal ke arah Vigo. "dengerin dulu! Kan lagi sedih, ya nangis lah," omelnya dengan dada naik turun.

Vigo menatap Viola heran, dalam posisi seperti ini bisa-bisanya Viola masih bisa mengomel.

Kapal KertasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang