Vigo mendongak, memperhatikan Argio dengan intens. Memikirkan beberapa kemungkinan yang terlintas di otaknya. Atau sekadar bertanya dalam hati, Argio berkerja disini? Atau-
Segala teori di otaknya buyar setelah melihat Viola berjalan ke arahnya.
"Vigo, ngapain di sini?"
"Membeli batagor," jawab Vigo cepat. Vigo menjawab dengan jawaban yang paling masuk akal di otaknya. Lagi pula, apakah Viola tidak melihat jika di depan Vigo terdapat satu porsi batagor? Lantas apa yang membuat gadis itu bertanya kepadanya? Sekadar pertanyaan basa-basi?
Belum sempat Viola menjawab, Papa Viola menyela. "Temen Rara?" tanya Adiwira.
Senyum Viola merekah. "Iya! Adik kelas si, tapi udah temenan kok kita! Kakak kembarnya Migo loh Pa ini."
Adiwira melempar senyum ramah. "Oh, Kakaknya Migo? Lain kali main ke rumah aja, bareng Migo sama Sisil. Biar Rara ada temennya. Kalo nggak ada temennya, main ponsel sama bengong mulu kerjaannya di rumah."
Viola menatap tidak terima kepada Papanya.
Vigo bangun dari tempat duduk, menyalimi tangan Adiwira dengan sopan. Kemudian sedikit menunduk untuk memperkenalkan diri. "Vigo, Om," ujarnya dengan senyum tulus.
Adiwira mengangguk. "Saya Adiwira." Melihat wajah lelaki di depannya ini sedikit pucat, Adiwira semakin menatap Vigo dengan intens. "Kamu masih sakit?"
Vigo menggelengkan kepala dua kali. "Tidak, Om."
Adiwira mengangguk saja walaupun tidak sepenuhnya percaya. Adiwira sebenarnya cukup peka dengan kondisi orang yang sakit, pasalnya putrinya itu juga sering jatuh sakit. Adiwira cukup peka jika putrinya sedang tidak sehat, walaupun wajah Viola tergolong putih pucat, tapi Adiwira bisa melihat dari gerak-geriknya.
"Papa, Rara izin pulang dulu ya? Mau main sama Migo. Udah pesen taksi kok," pamitnya.
Kemudian menatap penuh kepada Vigo. "Vigo, jaket kamu udah aku titipin sama Migo. Nanti tanyain aja. Terimakasih, ya!"
Adiwira mengerutkan kening, sejak kapan putrinya itu berbicara dengan teman se sopan itu. Biasanya putrinya itu akan berbicara menggunakan Lo-Gue kepada temannya. Bahkan ini kali pertama Adiwira mendengar kata Aku-Kamu keluar dari mulut putrinya saat berbicara dengan teman sebaya.
Selepas Viola pergi, Argio duduk di samping Vigo. Memperhatikan Vigo dengan intens. Vigo yang merasa di perhatikan merasa sedikit risi.
Akhirnya Vigo angkat suara. "Kenapa?"
Argio menggelengkan kepala. "Udah lama kenal sama Kak Vio?"
Mendengar nada tanya dari mulut Argio, Adiwira mendekat, duduk tepat di depan Vigo. Kebetulan sekarang pembeli hanya Vigo seorang, dan ia juga sedikit penasaran dengan sikap sopan Viola kepada Vigo.
"Belum lama," jawabnya singkat. Pasalnya ia juga bingung harus menjawab apa lagi. Terlebih dua pria di dekatnya ini memandang ia dengan lekat-lekat. Vigo merasa, mungkin sebentar lagi dirinya akan di introgasi.
"Tapi sepertinya kamu dekat ya dengan Rara? Sampai... sudah bertemu dengan Agi?" Jika tidak salah lihat, Adiwira pernah melihat anak ini, walaupun cuma sekilas. Tapi ia ingat betul bentuk mukanya.
Vigo mengangguk sopan. "Beberapa hari lalu saya memang sempat berbicara dengan Kak Agi. Tetapi saat saya ingin berpamitan pulang, Kak Agi bilang jika Om dan Tante sedang istirahat. Jadi saya segan untuk mengganggu," ujar Vigo menjelaskan. Ya, pasca kejadian ia meminjamkan jaketnya kepada Viola, malamnya Vigo benar-benar datang menemui Agi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kapal Kertas
Teen Fiction"Hai," sapa seorang pemuda dengan baju osis yang masih bertengger di tubuhnya. Sungguh, itu suara lelaki terlembut yang pernah Viola dengar. Viola akhirnya mendongak sekilas, melihat siapa yang menyapa dirinya, tanpa memiliki niat untuk menjawab sed...