"Aku nggak cari masalah dulu loh ya! Dia yang samperin aku duluan," serunya setelah sekian lama tidak ada yang membuka topik pembicaraan.
"Aku tahu."
"Terus ngapain bawa aku pergi? Mau aku di bilang pengecut nantinya? Aku nggak mau ya nanti orang-orang ngatain aku pengecut karena lari gitu aja dari masalah," omel Viola.
Vigo terkekeh pelan. Menepuk bahu Viola dua kali agar gadis itu bisa sedikit tenang. Kemudian tersenyum lembut. "Kak, dengan kamu adu mulut di sana justru akan membuat keadaan semakin memanas. Itu pun jika kalian tidak main fisik, jika iya, masalahnya akan semakin menjadi. Lagi pula dengan emm--" Vigo menjeda ucapannya sebentar, karena tidak tahu siapa nama teman Viola dan Migo itu.
"Sisil," sahutnya.
"Dengan Kak Sisil yang sampai teriak-teriak seperti itu sudah membuat orang berspekulasi jika Kak Sisil lah yang bersalah. Jadi Kakak tidak perlu menambah-nambahkan. Ada kalanya kita harus mengalah dengan keadaan, hal-hal yang hanya membuat ricuh itu di hindari demi kebaikan diri sendiri."
Viola terdiam, yang di ucapkan Vigo benar. Viola sudah terbukti tidak bersalah, jadi ia tidak perlu se khawatir itu. Dan untuk main fisik... sebenarnya juga ada benarnya. Viola akan kalah telak jika Sisil melakukan kekerasan fisik. Karena ia kalah tenaga. Tapi Viola tidak kalah pinter, jadi menurutnya tidak masalah jika harus meladeni Sisil sekali-kali. "Iya deh iya. Kamu nggak ada les hari ini?"
"Besok. Seminggu cuma empat hari. Kakak sendiri?"
"Dari awal masuk SMA belum pernah les lagi, tapi waktu SMP les setiap hari. Kalo nggak les aku kebanting di kelas," Viola terkekeh pelan. Viola tidak sepintar itu untuk bersaing di lingkungan yang mayoritas berisi anak-anak ambisius. Jadi, jika ia tidak cukup pintar, setidaknya ia harus berusaha sedikit keras dari mereka.
Vigo tersenyum kecil. "Kamu lebih enjoy disini?"
"Bisa di bilang gitu si. Bukan aku ngegampangin juga, aku tetap belajar kok, tapi nggak se rutin dulu. Disini persangiannya nggak kalah berat sebenernya, tapi emang aku nggak terlalu ngejar nilai sekarang, nggak tau juga. Dulu kalo untuk pelajaran yang di dominasi dengan angka walaupun aku nggak suka tetap aku cari tau caranya sampe nangis-nangis. Sekarang kalau ada mapel yang melibatkan angka aku lebih milih nyontek Migo."
"Tapi tetap tanya caranya kepada Migo kan? Maksud aku gini, Kakak tidak menulis jawabannya mentah-mentah tanpa di telaah terlebih dahulu kan?"
"Aku tanya caranya kok."
Vigo mengangguk saja. Sedikit takut sebenarnya jika Viola asal menyalin jawaban orang lain tanpa dia sendiri paham, tapi syukurlah gadis itu tetap menanyakan cara pengerjaannya. Meskipun perbuatan tersebut juga tidak bisa di benarkan.
"Kalau aku udah paham aku kerjain sendiri. Jadi, misal pagi ini aku nyalin jawaban punya Migo karena malamnya aku nggak bisa ngerjain. Habis aku salin aku langsung minta di jelasin caranya sampe aku bener-bener paham. Jadi kedepannya kalo ada soal yang serupa aku ngerjain sendiri, karena udah tau caranya. Kecuali kalo ada PR dan aku nggak inget, tapi walaupun nggak inget pasti di ingetin Migo si lewat chat," jelasnya.
"Iya, bagus bisa saling mengingatkan."
Vigo terdiam sebentar, memikirkan apa yang akan ia lontarkan selanjutnya.
"Kak, mau ikut aku nggak?" tanya Vigo pelan.
"Kamu pulang sama Migo btw. Aku juga bakal di jemput Mas Agi. Kalau Mas Agi tau habis pulang sekolah adiknya langsung di ajak kabur sama cowo, kamu yang bakal kena."
"Aku kabarin Migo nanti. Aku kabarin Kak Agi juga," terangnya. "Nanti aku minta tolong Migo buat antar tas kamu kesini."
"Kamu... seakrab itu ya sama Mas Agi?" tanya Viola penasaran. Migo yang sudah berteman cukup lama dengan Viola saja masih takut dengan Mas nya itu.
"Aku lumayan sering bolak-balik antar kamu ke rumah, Kakak mana yang tidak mengintrogasi cowo yang sudah bolak-balik beberapa kali membawa Adik perempuannya?"
Viola terkekeh pelan. "Padahal kan nggak usah ya?"
"Kalau aku punya Adik perempuan juga pasti akan aku jaga dengan baik, Kak. Aku pasti bakal menjaga adikku dari cowo tidak baik."
Viola tersenyum tipis, sedikit mengingat kejadian beberapa waktu lalu ketika Agi menyerang Refal dengan emosi yang meluap-luap hanya karena satu hal yang menurut Viola tidak perlu di permasalahkan.
"Iya, Mas Agi juga gitu," ucapnya sekenanya. Kemudian melanjutkan ucapannya, "Vigo, yang tentang aku suka kamu... kamu nggak perlu jawab apa-apa. Itu pernyataan, bukan pertanyaan."
"Iya."
"Kamu nggak tanya ke aku? Kenapa aku berani banget ngomong gitu?"
Vigo menatap Viola dengan bingung, "kenapa harus takut? Semua orang berhak atas kebebasan perasaannya. Aku juga tidak bisa melarang atau meminta seseorang untuk suka atau tidak dengan aku, jadi tidak ada yang salah ketika kamu bilang suka sama aku karena kita tidak bisa mengendalikan pesanan orang lain."
"Aku nggak pernah takut sama kamu, tapi jujur kalo kamu lagi jalan sendirian itu buat orang nggak berani ngedeket sebenernya, nggak ada senyum-senyumnya sekali, mukanya datar, langkahnya cepet. Apalagi yang tadi di kelas aku, kamu kelihatan nyeremin tau."
"Eh? Jangan takut. Aku nggak makan orang kok," kekehnya pelan.
Viola ikut tertawa di buatnya. "Emang kita mau kemana sih? Uang aku tinggal goceng loh?" tanya Viola memastikan.
"Iya, nanti kita makan dulu di tempat biasa. Mau? Apa kamu ada tempat yang lain?" tanya Vigo meminta pendapat.
Viola menoleh kesal ke arah Vigo. Bukannya ia sudah bilang, jika uang Viola sisa goceng. Mana bisa buat beli makan disana. "Uang aku tinggal goceng, kamu nggak denger?" saatnya emosi.
Vigo tersenyum tipis, "ada aku, Kak."
"Ya bilang dong daritadi kalo mau di bayarin!"
Vigo hanya merespon dengan senyum tipis. Vigo juga sebenarnya hampir lupa menawarkan Viola makan jika tidak mendapat pesan dari Agi, Adik saya jangan kamu biarkan kelaparan, di ajak makan. Nanti uangnya saya ganti.
•••
HAHAHA, ada yang penasaran Vigo mau bawa Viola kemana?
Coba tebak sini, hhi
Next gais?
Tetap stay disini ya!! Jangan pernah bosen buat baca cerita aku💗🤗
Jangan lupa tekan bintangnya di pojok kiri, hhi😄 see you chapter selanjutnya, ya!!
Terimakasih banyak♥️❤️💖💝💙💚💛💜🧡
KAMU SEDANG MEMBACA
Kapal Kertas
Teen Fiction"Hai," sapa seorang pemuda dengan baju osis yang masih bertengger di tubuhnya. Sungguh, itu suara lelaki terlembut yang pernah Viola dengar. Viola akhirnya mendongak sekilas, melihat siapa yang menyapa dirinya, tanpa memiliki niat untuk menjawab sed...