17

26 14 0
                                    

"Batu, gunting, kertas, Vigo!" serunya antusias.

Viola mengeluarkan jurus andalannya, kertas. Siapapun yang pernah bermain Batu-Gunting-Kertas dengan Viola juga mengerti, dia akan selalu mengeluarkan kertas setiap bermain.

Vigo mengeluarkan gunting. Otomatis Viola kalah.

"Pertanyaan pertama?" Viola sangat siap di beri pertanyaan apapun oleh Vigo.

"Rumah Kakak yang mana? Aku beberapa kali mengantar Kakak dengan alamat yang berbeda-beda." Kalimat tanya yang keluar dari mulutnya adalah hal yang sudah beberapa hari lalu ingin ia tanyakan.

"Rumah aku yang depan caffe. Terus jarak lima rumah lagi rumahnya Mas Agi. Yang pertama kamu nganter aku itu rumahnya sahabat aku," terangnya dengan sejelas mungkin. "Papa aku udah nggak punya rumah," sambungnya dengan kekehan kecil.

"Hebat! Delapan belas tahun sudah bisa membeli rumah," ucap Vigo dengan senyum khasnya.

"Dari royalti buku aku, sama pinjem uangnya Mas Agi. Aku masih nyicil ke Mas Agi sampe sekarang asal kamu tahu," lontar Viola dengan santai.

Vigo mamandang Viola takjub. "Hebat banget, aku sepertinya harus belajar banyak dengan Kakak."

Vigo tidak berbohong memuji Viola hebat, karena Viola memang sehebat itu. Jarang anak muda di zaman sekarang yang sudah bisa menghasilkan uang sendiri.

"Jangan buat aku terbang, kalo jatuh sakit ntar. Next, emang bicara kamu formal gini?"

"Dari dulu Ayah selalu mengajari aku untuk berbicara dengan sopan, kepada siapapun dan di manapun. Dan langkah pertama yang harus kita lakukan untuk berbicara sopan kita harus menggunakan bahasa yang baik dan benar. Jadi terbiasa sampai sekarang. Kenapa? Terlihat kaku, ya?"

Viola mengiyakan ucapan Vigo. Dari awal Viola menilai jika Vigo itu seperti KBBI berjalan. "Tapi bagus si, yang ngedengerin juga enak, soalnya tutur katanya tersusun. Udah banyak soalnya yang mulutnya asal nyablak," ujarnya santai. Viola memang tidak sakit hati mendengar perkataan pedas orang lain yang terlontar kepadanya. Kecuali jika orang tersebut penting bagi Viola, mendengar kata sedikit menyinggung saja bisa membuat suasana hatinya buruk.

"Aku takutnya tidak nyaman di dengar. Tapi karena Kakak tidak masalah, syukurlah."

Sama sekali tidak masalah menurut Viola, setiap orang pasti punya gaya bicaranya masing-masing, itu juga kan yang bisa membedakan antara satu orang dengan yang lain. Tidak hanya itu, tutur kata, nada bicara dan suara seseorang juga bisa kita bedakan tanpa harus melihat siapa yang bersuara. Lagi pula mau memakai rangkaian kalimat bagaimanapun, suara lembut Vigo akan tetap terdengar sopan memasuki gendang telinga.

"Aku baru ngeh di sini anget."

Telunjuk Vigo mengarah ke samping ruangan. Di sana terdapat penghangat ruangan. "Masih dingin?"

"Nggak kok," sahutnya cepat.

"Nanti Kakak tidur sini saja. Jangan berpikir aneh-aneh, Kakak tidur di dalam, aku di luar." Lagi pula Vigo memang tidak mempunyai ide lain, selain meminta Viola untuk tidur di sini. Setidaknya di sini lumayan hangat, jika Vigo membawa Viola pulang, dia bisa terkena angin malam lagi. Sangat tidak baik untuk tubuhnya. "Apa kamu keberatan?"

"Ngobrol aja yuk! Sampe pagi," usulnya. Ia lebih suka saling berbagi cerita, bahkan cerita random sekalipun, dari pada harus tidur.

Mencoba memberi saran yang masuk akal, Vigo berucap. "Nggak baik Kak buat kesehatan. Lagi pula besok pagi kita harus bersekolah."

"Satu kali aja, Vigo. Ya ya ya? Ayolah, kapan lagi kita bisa ngobrol hal random berdua gini," bujuk Viola. Memang benar kan ucapannya?

Melihat raut memohon dari mimik wajah Viola, Vigo menjadi tidak tega untuk menolak. "Apa yang ingin kita bicarakan sampai pagi? Bukan kah lebih baik jika waktunya di pakai untuk beristirahat?" saran Vigo. "Kakak di sini sama cowo, loh. Nggak takut aku apa-apain memang?" lanjutnya.

"Ya random aja, aku yang tanya deh! Kamu tinggal jawab, gimana? Lagian kalo aku tidur itu lebih rawan bakal di apa-apain, jadi kita ngobrol aja!" serunya.

Hei, Vigo tidak habis pikir dengan jawaban Viola. Memangnya tampang Vigo terlihat seperti tampang penjahat? Bahkan untuk duduk pun ia memberi jarak yang cukup jauh dengan Viola.

"Ponsel kamu bunyi, Vigo. Di cariin Ayah kamu jangan-jangan."

Vigo melirik sekilas ponselnya, "dari grup kelas. Ayah ku bukan tipe yang suka chatting, beliau akan langsung menelepon. Aku juga sudah izin kepada Ayah, ada urusan, akan pulang terlambat," ia menunjukkan room chat dengan Ayahnya.

"Mau melihat grup kelasku?" tawarnya.

"Boleh!" Viola melihat layar ponsel Vigo dengan antusias. "Apa-apaan cuma  ginian doang, yang lain emang nggak ada inisiatif buat jawab?" Pasalnya di layar ponsel Vigo hanya menampilkan percakapan, besok boleh pulang dulu atau langsung? Dan hanya di respon dengan. Terserah, mau langsung boleh, pulang dulu juga boleh, asal tepat waktu. Udah gitu aja stop, tidak ada percakapan lain.

"Satu jawaban menurut aku sudah bisa mewakilkan jawaban yang lain," jawabnya.

"Ya kalian diskusiin gini nih misal, oh, okee, terus kalian mau pulang dulu apa nggak? Se simple itu."

"Menurut aku itu tergantung diri sendiri, mau pulang dulu atau tidak, jadi tidak perlu menanyakan jawaban orang lain." Lagi pula apa yang ingin di tanyakan lagi? Si penjawab sudah menjawab pertanyaan dengan sejelas-jelasnya. Untuk sekadar pertanyaan yang Viola contohkan itu menurutnya hal yang tidak perlu di tanyakan. Tapi balik lagi, jika itu Viola yang bertanya, Vigo akan menjelaskan dengan senang hati.

Viola mencebikkan bibirnya. "Emang mau ada kegiatan apa?"

"Praktek berenang."

Praktek berenang ya? Viola jadi ingat, dulu pernah di daftarkan les berenang oleh Mama Rista. Bukan cuma berenang, ia juga di daftarkan les beladiri, les melukis, les musik. Untuk pencarian bakat anak katanya. Tapi semua les-les tersebut tidak akan pernah bertahan walau hanya dua bulan lamanya. Karena baru dua minggu mengikuti les tersebut, Viola akan merengek kepada Mamanya. "Aku setiap ada praktek renang selalu bolos. Jadi, setiap materinya renang nilai aku selalu kosong."

Vigo sedikit terkejut mendengarnya, nilainya kosong? Yang benar saja. "Emang tidak di suruh mengulang, Kak?"

Viola hanya menyengir. "Di suruh, tapi aku selalu nyari alesan. Setiap nilai akhir keluar, mapel penjas aku selalu pas KKM, padahal kalo teori nilai aku selalu tinggi."

"Kenapa tidak suka berenang?"

"Aku pernah tenggelam masa! Tapi aku nggak trauma kok! Cuma nggak suka renang aja, lebih tepatnya nggak bisa si."

"Renang juga butuh teknik, Kak. Coba di perbaiki tekniknya, pasti bisa kok."

"Ya ya ya. By the way, komik yang waktu itu... Adik kamu suka?" tanya Viola. Semenjak bertemuan mereka dengan Argio di Gramedia. Viola dan Vigo tidak pernah membahas soal itu lagi.

"Belum aku kasih. Mau kasih bareng aja?"

"Boleh! Tapi lusa ya," ucapnya antusias. Kapan lagi bertemu dengan Adik dari Vigo dan Migo. Nunggu Migo memperkenalkan kepada dirinya? Cih, mau sampai kapan.

Vigo mengangguk, pertanda setuju.

"Siapa nama adik kamu? Bigo? Cigo? Digo?" Viola terkekeh kecil.

"Salah semua tebakan Kakak, namanya Nigo."

"Lucu, Vigo, Migo, Nigo."

"Ayah sama Bunda punya empat anak. Lelaki semua. Abangku, Abang Zigo. Aku, Migo. Aku dan Migo kembar, tapi yang lahir terlebih dahulu aku. Yang terakhir namanya, Nigo."

Dan tanpa sadar mereka tidak jadi bermain tanya jawab, melainkan saling bercerita. Dengan Viola yang mendominasi obrolan tentunya.

Kapal KertasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang