13

26 13 0
                                    

"Ternyata... gini ya rasanya."

"Rasanya apa?"

"Rasanya punya Kakak," ucap Argio pelan.

Viola tertegun mendengarnya. Ini kali pertama ia jalan dengan Argio, jadi Viola sedikit merasa canggung.

"Kak?" panggilnya dengan hati-hati. "Kenapa ya kita nggak jadi kaya Kakak-Adik pada umumnya. Jadi Kakak-Adik yang... normal."

Viola terdiam.

"Tapi aku seneng."

"Seneng?" ujar Viola bingung. Argio senang kenapa? Senang menjadi adiknya?

Argio tersenyum tipis. "Ya, seneng aja," ujarnya. Argio tersenyum lagi, kali ini bukan senyum tipis. "Kakak banyak berubah. Tetep gini ya?"

Viola mengangkat alis. "Berubah gimana?"

"Ya, banyak berubah." Argio mengendikkan bahu. "Aku tau Kakak benci sama aku. Tapi akhir-akhir ini Kakak lebih bisa menghargai usaha aku. Jadi aku bilang, Kakak tetep gini ya? Kalaupun Kakak masih benci sama aku, aku bakal tetep seneng karena Kakak udah mulai bisa menghargai aku."

"Gue cuma nggak suka aja sama lo, bukan benci," jelasnya.

"Iya, apapun itu."

Viola menatap Argio lekat-lekat. Mungkin bertanya-tanya, sejak kapan Adiknya sudah setinggi ini. Ah, Adiknya sudah sebesar ini ternyata. Viola baru menyadarinya.

"Ar, gue... keterlaluan ya?" tanyanya pelan.

Argio menatap balik Kakaknya. "Nggak, kalau aku jadi Kakak mungkin aku juga bakal gitu."

"Tapi lo bukan gue! Lo bahkan bisa aja memaafkan apapun kesalahan orang, lo bahkan selalu treat gue dengan baik walaupun gue selalu treat lo kaya sampah. Jadi... mending lo nggak usah gangguin gue lagi. Gue cuma bisa buat lo sakit."

"Aku gitu cuma ke orang yang penting di hidup aku doang, Kak! Aku gitu cuma buat orang-orang yang berarti buat aku! Aku nggak gitu ke semua orang! Aku nggak sebaik itu," ujar Argio penuh penekanan. "Jadi tolong... jangan bilang ke aku buat jauhin Kakak. Karena aku disini lagi usaha biar Kakak bisa terima aku," ucapnya pelan. Nadanya terdengar sangat putus asa. Bahkan suaranya sedikit bergetar. Argio mati-matian menahan tangis di depan Kakaknya. Harus berapa kali lagi ia menjelaskan bahwa ia tidak mau menjauhi Kakaknya.

Argio sudah sangat senang karena Kakaknya sudah mulai menerima barang-barang pemberiannya, bukan di buang seperti yang dulu biasa Kakaknya lakukan. Makannya setiap pulang sekolah Argio selalu menyempatkan untuk membawakan cemilan ke rumah Kakaknya. Karena sekarang, bukan penolakan lagi yang ia terima. Ya, meski pun Kakaknya masih sering berkata sinis, Argio sangat menghargai itu. Untuk berubah memang butuh waktu kan? Apalagi disini yang salah bukan Kakaknya.

Viola lagi-lagi terdiam. Tidak tahu harus merespon apa. Ia sedikit merenungi ucapan Argio Aku gitu cuma ke orang yang penting di hidup aku doang, Kak! Aku gitu cuma buat orang-orang yang berarti buat aku! sialan, kata-kata itu terus terulang di otaknya. Viola menatap penuh Argio, jadi selama ini... Argio menganggap Viola penting? Argio menganggap Viola berarti?

Argio mengajak Viola duduk di depan warung. Membeli dua mineral. Membuka tutup botolnya, dan menyerahkan ke Viola.

"Di minum dulu."

Viola menurut.

"Ar, lo nggak capek harus ngertiin gue terus?"

Argio menggeleng sekilas. Mana bisa ia capek?

"Jangan ngomong aneh-aneh. Aku nggak capek karena aku tau, Kakak juga capek. Mungkin lebih capek dari aku. Nerima keadaan itu nggak mudah Kak. Itu sebabnya aku nggak pernah capek usaha buat di terima Kakak."

Kapal KertasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang