18

27 14 0
                                    

Setelah Viola dan Vigo tidak tidur sejak kemarin malam, lebih tepatnya Viola yang mengajak Vigo untuk bercerita tentang hal random sampai pagi. Paginya Viola dan Vigo melaksanakan ibadah wajib di masjid yang tidak jauh dari tempatnya.

Setelah mereka turun dari rumah pohon, Viola dan Vigo berjalan beriringan untuk pulang.

"Sini tas kamu, biar aku yang bawa."

Dengan senang hati Viola melepaskan tas ranselnya, menyerahkan kepada Vigo.

Mereka berdua berjalan beriringan. Tidak ada percakapan apa pun, karena Viola sudah cukup lelah mengoceh dari malam hingga pagi. Vigo mah enak! Tinggal menjawab pertanyaan Viola saja. Tapi Viola senang bercerita dengan Vigo, lelaki itu selalu memberi respon baik atas apa yang Viola ucapkan.

Mendapati Viola berjalan dengan terus memperhatikan arah bawah, Vigo jadi mengikuti arah pandang Viola. Ah, rupanya tali sepatu gadis itu terlepas. Ketika Vigo hendak menyuruh Viola untuk berhenti sebentar, dari arah berlawanan Vigo melihat seorang pria sedang berlari, dan mungkin tidak menyadari jika ada seseorang di depannya. Vigo dengan sigap merangkul bahu Viola agar gadis itu sedikit menyingkir ke samping.

Dengan refleks justru kedua tangan Viola melingkar di pinggang Vigo. Demi apa pun Viola menjadi teringat dengan adegan semalam, adegan ia menabrak dada bidang Vigo.

Viola terkejut, tetapi Vigo pun tidak kalah terkejutnya. Niat Vigo hanya agar Viola sedikit bergeser ke samping, takut tertabrak pria tadi.

"Rafeza?" Mendengar suara itu, dengan cepat Viola melepaskan tangannya dari pinggang Vigo. Begitu pun dengan Vigo, ia segera melepaskan rangkulannya di bahu Viola.

Sungguh, dari sekian banyaknya penduduk di muka bumi ini, mengapa dirinya harus bertemu dengan pria ini?

"Selamat bertambah usia, Rafeza. Hadiahnya nyusul ya? Sampai jumpa besok."

Besok? Maksud pria di depannya itu apa?

"Papa kamu mengundang Mas untuk hadir di acara ulang tahun kamu. Dan, maaf? Jika kamu tidak nyaman. Mas hanya sekadar hadir untuk menghormati Papa kamu yang sudah mengundang Mas, tidak lebih. Jika bisa memilih, Mas lebih baik tidak di undang dan gojekin kado buat kamu, dari pada membuat kamu tidak nyaman," jelasnya panjang lebar, dan sialnya Viola mendengarkan dengan seksama sampai pria itu selesai bicara.

"Iya, nggak apa-apa dateng aja. Tapi aku nggak bisa pastiin Mas Refal pulang dengan selamat," ujar Viola pelan. Bukan maksud Viola untuk menakut-nakuti. Tapi, mengingat Mas Agi yang lumayan masih menyimpan dendam dengan Mas Refal, membuat Viola tidak bisa menjamin pria itu pulang tanpa luka.

Pria bernama Refal itu pun tersenyum kecil. "Mas tau, Mas ngerti," ucap Refal masih dengan senyum merekah.

Refal menelisik lelaki yang berdiri bersebelahan dengan Viola. Lalu ia menjulurkan tangannya. "Refal," ucapnya dengan tegas.

Vigo menerima jabatan erat tersebut. "Vigo, Kak."

Refal sebenarnya sedikit kecewa, dalam lubuk hatinya yang terdalam, ia masih sangat ingin menjalin hubungan baik dengan Viola. Tetapi melihat lelaki yang terlihat seperti kekasih Viola itu membuat dirinya merasa kalah. Refal sama sekali tidak minder. Secara materi, ia lebih unggul dari Vigo, mengingat Vigo masih berstatus sebagai pelajar. Dari segi pakaian juga menurutnya masih oke dirinya. Bentuk badan? Ya, Rafal akui, Vigo mempunyai porporsi badan yang lumayan bagus, tapi tetap saja, bentuk badan Refal jauh lebih oke dari Vigo. Dan poin terakhirnya, Refal bisa saja bersaing dengan lelaki mana pun yang menyukai Viola, tetapi apa ia bisa bersaing dengan lelaki yang di Viola sukai?

"Rafeza, Mas pamit dulu. Maaf jika mengganggu jalan kalian, Mas kebetulan memang habis menyabrang."

Setelah kejadian tersebut, Vigo dan Viola kembali melanjutkan perjalanannya yang sempat tertunda.

"Mas Refal itu... mantan aku," tuturnya pelan. "Aku bilang nggak bisa menjamin keselamatan Mas Refal soalnya aku juga nggak bisa menjamin kalo Mas Agi nggak gebukin Mas Refal lagi."

Vigo sedikit terkejut mendengar Viola bercerita tentang Mantan kekasihnya itu. Pasalnya Vigo juga tidak ada niat untuk bertanya siapa pria tadi, tapi Viola tiba-tiba menjelaskan.

"Dia melakukan hal kurang baik dengan kamu? Lagi pula tidak mungkin kan seseorang akan di pukul jika tidak melakukan kesalahan apa pun?" tanya Vigo spontan.

"Iya tau, tapi kan tetep aja, Vigo. Apa pun kesalahannya kekerasan it-"

"Maaf menyela. Bukan hal yang baik? Iya aku tahu, dua-duanya sama-sama salah. Kak Refal mungkin melakukan kesalahan kepada kamu dan Mas Agi yang berusaha melindungi kamu. Mungkin perbuatan yang di lakukan Kak Agi itu tindakan spontan sebagai seorang Abang, karena tidak terima Adik perempuannya di sakiti. Tapi tetap, kita tidak bisa membetulkan tindakan yang di lakukan oleh Kak Agi. Karena Kak Agi melampiaskan rasa tidak terimanya dengan melakukan tindak kekerasan dan kekerasan tetap kekerasan, begitu?"

"Iya, gitu. Kalaupun aku juga pernah melakukan kekerasan si," cicitnya pelan.

"Setiap manusia tidak ada yang sempurna, Kak. Baik aku, kamu, Kak Agi, Kak Refal. Tapi kata-kata, setiap manusia tidak ada yang sempurna juga tidak bisa terus-terusan di jadikan tameng untuk setiap masalah yang kita perbuat. Kita tahu setiap manusia tidak ada yang sempurna, tapi setiap manusia juga bisa memperbaiki diri, agar berubah menjadi versi lebih baik. Walaupun kita tidak bisa mencapai ke titik sempurna itu," jelasnya dengan lembut.

Viola menatap Vigo takjub, cara penyampaian Vigo benar-benar membuat Viola... kagum? Viola selalu suka cara Vigo menyampaikan sesuatu. Karena lelaki itu selalu bisa mengontrol nada bicara dan cara penyampaiannya. 

"Mau dengar cerita aku nggak, Vig?"

Dan karena di respon sebaik itu, Viola jadi ketagihan untuk bercerita. Menurut Viola, dirinya dan Vigo itu perpaduan yang sangat pas. Viola yang suka berceloteh dan Vigo yang pintar menanggapi. Viola yang berisik dan Vigo yang tenang.

Vigo mengangguk. Vigo justru senang jika Viola ingin berbagi cerita dengan dirinya. Artinya Viola benar-benar percaya dengan dirinya kan?

Viola terkekeh pelan. "Aku sama Mama nggak terlalu akur sebenernya," ucapnya dengan senyum simpul. "Cuma ngasih tau kamu aja si sebenernya, biar nanti nggak kaget liat interaksi aku sama Mama."

Vigo tersenyum tipis, sebenarnya ia merasa sedikit bingung harus menanggapi seperti apa. Menurutnya, topik keluarga adalah topik yang sensitif. Ia juga jarang bertengkar dengan orang tuanya. Kalau pun Vigo membuat orang tuanya kecewa, ia akan segera meminta maaf. Tapi kali ini ia benar-benar tidak tahu apa masalah yang sedang di hadapi Viola, sampai membuat hubungan ibu dan anak itu renggang. Apa pun masalahnya, Vigo rasa itu bukan masalah yang sepele.

"Masalah dalam keluarga itu menurut aku hal yang wajar, tapi kalau bisa jangan sampai membuat hubungan di antara kalian merenggang. Aku tidak tahu apa hal yang membuat kamu dan Mama kamu." Vigo terdiam sebentar memilah kata yang lebih pantas untuk di ucapkan. "Maaf, sedikit memiliki hubungan yang kurang baik," sambungnya pelan.

"Tapi, apapun masalahnya, sebenarnya kuncinya adalah komunikasi. Ayah aku pernah bilang, kunci dari setiap hubungan itu komunikasi. Begitu pula dengan hubungan kamu dan Mama kamu, kalian butuh interaksi. Mungkin yang membuat hubungan kamu dan Mama kamu renggang adalah karena kalian minim interaksi. Apa karena situasinya yang tidak ideal? Maksud aku gini, karena masalah ini kamu kan jadi kurang berinteraksi dengan Mama kan? Jadi Kakak merasa canggung," Vigo menjelaskan dengan nada selembut mungkin agar Viola tidak tersinggung dengan perkataannya yang terkesan menceramahi.

Mengangguk pelan. Viola memang merasa canggung dengan Mamanya. Bahkan berbicara berdua pun sangat kaku, makannya Viola masih sering memberikan perkataan pedas kepada Mamanya. Karena dirinya benar-benar tidak tahu harus mengekspresikan diri seperti apa.

"Iya, kaya kaku gitu."

Vigo tersenyum simpul. "Interaksi aku sama Papa juga sebenarnya kaku. Cuma aku sedikit sok asyik terkadang, bukan sok asyik yang bagaimana-bagaimana, maksud aku kaya misal aku mengajak Papa berbicara terlebih dahulu. Sekadar perkataan basa-basi pun tidak masalah sebenarnya misal kamu bingung harus mulai dari mana. Selebihnya ya dilanjutkan dengan obrolan santai, di bicarakan dengan santai saja, agar tidak kaku. Kalian saling memahami saja, aku yakin kalian adalah dua orang hebat yang mau saling berjuang, saling mempertahankan, agar hubungan kalian tetap harmonis." Vigo mengakhiri ucapannya dengan menepuk pelan bahu Viola.

Kapal KertasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang