Bab 1 : Awal Mula Bencana

36 3 0
                                    

"Sumpah dosenku ngga ada hati banget... Ngga mau dapet berkah kali ya tuh dosen satu" keluh seorang pria bermata coklat kepada kedua sahabat disebelahnya.

Teriknya panas sinar matahari yang sedari tadi menyengat ketiga sahabat itu tidak membuat pria tersebut berhenti untuk mencerocos. Bahkan, rasa panas itu seakan - akan membuatnya lebih membara dalam menyuarakan isi hatinya.

"Kenapa lagi sekarang, Frey?" tanya gadis yang berdiri di sebelah kirinya. Rambut panjangnya dikuncir satu rendah akibat rasa gerah yang membuatnya enggan untuk membiarkannya tetap terurai seperti biasa.

"So cruel deh pokoknya, Ra!" pekik pria itu, Frey.

Sudah menjadi rutinitas bagi mereka tiap harinya untuk mendengarkan kecerewetan Frey tentang kesialan yang dialami dalam harinya. Kini terbiasa setelah empat tahun, kedua sahabatnya hanya bisa memasang telinga lebar - lebar. Nyatanya memberikan solusi pun terhitung percuma karena sahabat mereka yang satu itu hanya ingin mengeluh tanpa mencari jalan keluar. Unik memang. Terkadang keluhannya pun memang tidak mempunyai solusi sama sekali. Pernah, Frey mengomel selama tiga jam penuh tentang kelasnya yang berada di lantai lima yang membuatnya harus merasa pegal dan lelah karena menaiki tangga, apalagi saat itu ia kesiangan.

Meski begitu, ocehan tanpa henti dari pria itulah yang mengisi kekosongan percakapan sepanjang perjalanan pulang dari kampus tempat mereka bertiga menimba ilmu. Empat tahun bersahabat, tidak sekalipun kedua orang itu bosan dengan celotehan Frey. Sebal pernah, tapi lain halnya dengan bosan.

"Iya, kenapa kejamnya?" tanya gadis itu lagi, Ayyara.

"Masa ya Ra, tugas yang satu belum juga beres malah dikasih dua lagi... Mana deadline-nya sama lagi! Terus katanya nanti mau dikasih lagi" keluh Frey sebelum ia berputar ke arah sahabatnya yang satu lagi.

"Coba aja kamu satu jurusan samaku, Kama" ujar Frey, menatap pria itu dengan memelas.

"Namanya juga kuliah, Frey... Dijalani aja kali.." ujar Kama, terkekeh kecil melihat sahabatnya yang ekspresif itu.

"Tuh dengerin kata Kama bijak" kata Ayyara.

"Eh kamu juga suka ngeluh ya, Ra" kata Frey, menarik ikat rambut gadis tersebut ke bawah sampai terlepas.

"Ihh rambut aku!!" jerit Ayyara, meninju pundak lelaki tinggi itu. Laki - laki itu tidak tahu apa bahwa ia paling tidak suka disentuh rambutnya oleh orang lain. Salah, laki - laki itu memang tahu dan maka dari itulah, sasaran kejahilannya adalah rambut sang sahabat.

"Aw!" pekik Frey

"Balikin nggak?!" tuntut Ayyara

"Nggak mau, weeee!!" ujar Frey sambil menjulurkan lidahnya. Dengan jahil, ia meninggikan lengannya sehingga gadis itu tidak bisa meraihnya.

"Wah parah nih orang, main tinggi!! Ngajak berantem ya!" ucap Ayyara, mendecakkan lidahnya. Tanpa ampun, gadis itu mulai memukuli pundak Frey tanpa henti yang membuat pria itu mengeluh kesakitan.

Tabiat kedua orang di sampingnya selalu berhasil membuat Kama terpana tanpa akhir. Bahkan tidak jarang, ia merasa seperti seorang ayah dengan kedua anak kembarnya. Seperti sekarang, kedua insan berumur 20 tahun itu masih sibuk bertengkar layaknya anak usia enam tahun.

Suatu momen ketika mereka menginap di rumah Kama dulu, pria itu berhasil dibuat terkejut dengan kelakuan mereka berdua. Kama hanya pergi ke dapur sebentar tetapi saat kembali, ia mendapati Frey dan Ayyara sedang bertengkar, lebih tepatnya dalam posisi menjambak rambut satu sama lain sambil berargumen tanpa dasar.

Terlempar Ke Dunia Sihir, Negeri RothrasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang