Pagi itu, langit nampak kelabu seakan ikut berduka dengan apa yang baru saja terjadi. Ratusan orang dengan balut pakaian serba hitam itu nampak berkumpul mendatangi makam yang dipenuhi karangan bunga diatasnya.
"Kau penyebab semua ini terjadi Sangeun! Aku tak akan pernah bisa memaafkan mu atas kematian Eomma."
Kijoon terdiam menahan bahu rapuh Jiah
"Akan lebih baik jika kita pergi, biarkan Eomma mu beristirahat dengan tenang."Keduanya baru saja akan melangkah sebelum suara bergetar Sangeun mengudara dengan tajam
"Kelak.., kau akan merasakan sesak dan sakitnya diriku setiap kali kau melihat putrimu!"****
Jiah tergagu. Ingatan wanita itu sesaat terlempar pada kalimat Sangeun pada hari pemakaman sang Ibu. Bagaimana saudari kembarnya itu mengucapkan sumpah yang mendalam bersama rasa sakit hatinya.
Dan kini, dikala wanita itu menatap raga Rosé yang mengejang dan kaku. Jiah tau bagaimana sesak dan sakit yang Sangeun maksud kala itu.
Begitu sesak rasanya setiap kali wanita itu mengingat bahwa putrinya lah alat yang digunakan Sangeun untuk menghancurkan keluarga kecilnya bersama Kijoon.
Tapi rasa sakit itu juga seakan menguliti Jiah. Karena bagaimana pun, gadis kecil yang ia persalahkan itu adalah darah dagingnya sendiri.
Kejadian 12 tahun lalu, benar-benar menimbulkan rasa sakit dan sesak bagi Jiah. Dan sosok Rosé lah yang selalu membuatnya mengingat tragedi mengerikan malam itu, 12 tahun yang lalu.
"Eomma ayo temani Rosé bermain."
"Tidak bisa sayang. Adik Lisa sedang sakit. Rosé bermain bersama Eonni saja ya?"
"Nde, Eomma." Perintah Jiah langsung di turuti oleh gadis berusia 5 tahun itu.
"Eomma kali ini saja ayo bermain bersama Rosé."
"Tidak bisa sayang. Adik Lisa sedang demam. Rosé bermain sendiri saja, ya?"
"Nde, Eomma." Gadis itu kembali mendapatkan penolakan dan untuk yang kesekian kalinya Rosé harus menelan keinginannya.
"Bisakah Eomma temani Rosé tidur malam ini?"
"Tidak bisa sayang. Adik Lisa sedang flu. Rosé tidur sendiri saja, ya?"
"Nde, Eomma." Senyum itu terpatri di wajah oval Rosé. Kaki kecilnya melangkah keluar dengan air mata yang jatuh.
"Eomma bisakah—"
"Rosé~ya... Eomma harus mengantar Adik Lisa ke rumah sakit untuk check up. Rosé di rumah sendiri tidak apa, ya?"
Hela nafas panjang itu terdengar dengan kepala yang mengangguk patuh "Nde... Eomma."
Tungkai kakinya bergerak lesuh menaiki setiap anak tangga, berjalan menuju lantai tiga di mana ruang musik terletak.
Rosé menduduknya dirinya di atas kursi piano, ia tatap lekat foto dirinya dan Jiah yang nampak bahagia sambil duduk di depan piano.
"Lisa... Lisa... LISA!"
Jreng!
Tangan mungil gadis itu menekan asal tuts piano dengan keras. Wajahnya memerah menahan marah, dadanya naik dan turun tak beraturan dengan mata yang berkaca-kaca.
Ia kecewa pada semua orang. Ia kecewa pada Kijoon yang selalu sibuk bekerja, ia kecewa pada Kedua kakak kembarnya yang memiliki dunia mereka sendiri, ia kecewa pada Jiah yang tak pernah memiliki waktu untuknya. Ia kecewa pada Lisa yang seakan tidak mau berbagi waktu Jiah padanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fraternal
FanfictionTidak ada kata selamanya dalam dunia ini. Baik pertemuan ataupun perpisahan. Karena pada akhirnya, ada saat dimana yang bertemu akan diberpisah dan yang berpisah akan kembali dipertemukan.