Lagi-lagi Soo Hwa memilih taman belakang kampusnya itu untuk menyendiri. Entah sudah berapa lama dia berdiam diri di sana. Kedua matanya benar-benar bengkak setelah dia seakan menumpahkan semua air matanya saat bersama dengan Ten tadi.
"Ten, aku senang sekali bisa mengenalmu. Kau tidak akan kemana-mana kan? Kau akan tetap terus bersamaku kan?"
Ten tersenyum dan mengusap kepala Soo Hwa, "Hmm, memangnya aku mau pergi kemana, huh?"
"Kita akan terus seperti ini, kan? Kau harus berjanji untuk terus menjadi sahabat terbaik untukku. Aku ingin selamanya seperti ini."
Ten terdiam sejenak.
"Sampai kau menikah dan memiliki anak. Kita harus terus bersahabat. Kalau pergi, kita harus menjodohkan anak kita nanti ya?" sambung Soo Hwa.
Ten tertawa pedih saat mendengar ucapan Soo Hwa lagi. Tidak ada yang bisa dikatakannya lagi selain mengiyakan perkataan Soo Hwa.
Air mata Soo Hwa kembali terjatuh setelah mengingat waktu dia mengutarakan perjanjian menyebalkannya itu bersama Ten. Dia baru sadar jika saat itu Ten menahan ekspresi tak sukanya.
"Apa mungkin kau sudah menyukaiku sejak itu, Ten? Apa alasanmu terdiam saat itu karena kau tidak menyukai perkataanku yang seakan menekankan jika kita tidak boleh saling jatuh cinta?" lirihnya.
Soo Hwa kembali terisak, "Kenapa aku baru menyadarinya? Jika benar seperti itu... Kau... Kau menahan semuanya sendirian selama ini." lirihnya sambil memukul-mukul dada kirinya karena mulai merasa sesak di sana.
"Jika saja... Jika saja kau jujur... Jika saja aku juga jujur... Mungkin kita tidak saling menyakiti seperti ini." lirihnya yang menjadi pertahanan terakhirnya sebelum kembali menundukkan kepalanya sambil melepaskan tangisannya itu.
"Maafkan aku, Ten..."
Seperti mendukung kesedihan Soo Hwa, tiba-tiba saja hujan turun dengan sangat deras dan tidak membutuhkan waktu yang lama untuk membuat tubuh Soo Hwa basah kuyup. Soo Hwa mudah jatuh sakit, apalagi jika terkena hujan seperti ini, tapi hal itu tidak membuat Soo Hwa bergerak. Dia tetap diam dengan posisinya sekarang. Dia seakan menginginkan air hujan itu terus membasahi tubuhnya, atau jika perlu air hujan harus membawa semua beban yang ada di kepala Soo Hwa bersamaan dengan tiap air yang mengalir dari kepalanya itu. Dia benar-benar tidak peduli jika dia akan jatuh sakit setelah ini.
**
Perlahan Soo Hwa membuka matanya yang terasa sangat berat untuk dibuka itu. Dia juga langsung merasakan rasa sakit yang luar biasa dari kepalanya tepat saat melihat langit-langit kamarnya.
Tunggu.
Kamarnya?
Soo Hwa menolehkan kepalanya dan melihat Jaemin yang masih tertidur di sampingnya dengan meringkukkan badannya. Dia ingin menarik selimutnya untuk menyelimuti tubuh adiknya itu, tapi suara seseorang menghentikannya.
"Kau sudah bangun?" tanyanya.
Belum selesai dengan kebingungannya yang bertanya-tanya kenapa dia ada di kamarnya sekarang, dia tambah kebingungan saat melihat Jinyoung yang baru saja masuk ke kamarnya sambil membawakan nampan berisi mangkuk dan segelas air mineral.
"Jinyoung-ah..." panggil Soo Hwa.
Jinyoung menaruh nampan itu di atas nakas yang ada di samping tempat tidur Soo Hwa, lalu dia duduk di pinggir tempat tidur Soo Hwa dan setelahnya menjulurkan tangannya ke kening Soo Hwa.
"Masih panas."
"Jinyoung-ah, kenapa aku ada di kamarku? Bukankah aku..."
"Kau pingsan kemarin." Jawab Jinyoung yang langsung memotong perkataan Soo Hwa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Before You #1
FanfictionKau adalah orang pertama yang mengisi hatiku yang sebelumnya kosong. Kau mengenalkanku pada banyak hal yang belum kumengerti sebelumnya. Kau membuatku tersadar jika kehadiran seseorang akan begitu berarti. Kau juga mengajarkanku jika tak selamanya k...