28

678 75 11
                                    

Selamat malam dan selamat membaca😚💜

***

Hal yang pertama kali dirasakan Jungkook saat ia mulai sadar adalah beban di matanya. Cahaya yang masuk melalui celah jendela seolah-olah merembes melalui kelopak matanya yang tertutup. Bagian dalam kepalanya berdenyut-denyut, tapi ada sesuatu yang meraba-raba di lengannya dan tak lama kemudian denyut itu berubah menjadi mati rasa.

Setelah beberapa kali gagal, ia membuka matanya sedikit.

Seorang pria dengan senyum puas menatapnya dari balik kacamata.

Wajah itu tampak familiar baginya. Dengan lamban ia mengarahkan pandangannya ke bawah, melihat jas putih di tubuhnya dan stetoskop di lehernya. Dokter. Ah … dokter Jung.

"Bagaimana perasaanmu, Jungkook?" tanya pria itu perlahan, seolah sedang berbicara dengan anak kecil.

Jungkook membuka mulutnya untuk mengatakan sesuatu tapi tidak ada yang keluar selain pekikan. Seorang perawat muncul entah dari mana dengan sebuah cangkir dan membawa sedotan dari cangkir itu ke mulutnya.

Sementara ia meneguknya dengan rakus, Dr. Jung menggaruk rahangnya yang berjanggut.

Pikirannya kembali berputar. Ia mengingat saat-saat sedih di apartemennya. Itu membuatnya merinding sekarang. Lalu ada pemandangan buram dari orang tuanya dan bayinya, surganya.

Apa pun itu —satu mimpi terakhir, ilusi yang diciptakan otaknya, atau kematian— ingatan akan hal itu sepertinya tertanam di benaknya sekarang.

Secercah kekuatan meledak di dalam dirinya saat ia menarik semua itu dari ingatan tentang apa yang kebanyakan orang sebut ilusi. Seolah ia telah menemukan tempat persembunyiannya. Kemudian ia terbangun dan melihat Taehyung di samping tempat tidurnya, ia juga melihat Yoongi, Theo, dan Jimin. 

Kerusuhan yang tidak dapat diabaikan dari suara dan air mata merekalah yang membawanya kembali.

"Ini adalah sebuah keajaiban," Dr. Jung berkata. "Pasien terakhirku juga seperti itu setelah aku menyelamatkannya dari koma."

"Kepalaku terasa sakit," gumam Jungkook dengan suara serak.

"Seharusnya memang begitu," kata Dr. Jung sebelum ia memberikan pertanyaan tentang kesehatannya, ingatannya, dan beberapa gerakan jari tangan dan kaki yang pelan. Tangannya sibuk mencoret-coret kertas di papan klip.

Setelah Dr. Jung pergi dengan asisten perawatnya, beberapa menit kemudian Yoongi bergegas masuk dan memberikan ancaman dan kemarahan kepada gadis itu.

"Kau jahat," Yoongi memukul lengan Jungkook lagi. "Kau sangat sangat jahat!"

"Aduh …," Jungkook mengerang di bawah serangan pelan Yoongi.

"Beraninya kau melakukan ini," Yoongi menggerutu, hidungnya merah karena isak tangis yang ia keluarkan setelah masuk. "Apa yang kau lakukan, Jungkook? Mengapa kau sengaja menyiksa dirimu dengan tidak menelepon saat penyakitmu kambuh? Apa kau memang mau mati? Semuanya belum selesai, Kook, belum selesai sama sekali."

Jungkook menghela napas dan menutup matanya sebentar karena malu dan merasa bersalah. "Aku memang selalu mencari pelarian yang lebih mudah, bukan?"

Sekarang, itu sudah menjadi rahasia umum.

Yoongi mendengus, bibirnya membentuk garis tipis. Ada keheningan di antara mereka sebelum ia berbicara lagi. "Dan itulah sebabnya Dr. Jung mendaftarkanmu ke konseling. Katanya kau sedang depresi dan membutuhkan psikolog untuk …." ia menarik napas. "Pelatihan ... atau apa itu, aku lupa."

Mulut Jungkook membentuk senyum kecil. Anggota tubuhnya terasa berat —efek dari semua obat yang dimasukkan ke dalam tubuhnya, tapi ia mencoba menepuk tangan Yoongi yang tertahan di tempat tidur. "Kau benar, Yoon."

LilyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang