3

924 86 5
                                    

Semuanya pasti akan salah ketika takdir melawanmu. Teka-teki menjadi lebih rumit setiap detik. Ada saatnya dalam hidup saat kematian tampak lebih baik daripada kehidupan. Tapi bahkan kematian menolak untuk menjangkau di saat paling dibutuhkan. Meski begitu, hidup adalah hukuman terbesar, tidak peduli apakah kau bersalah atau tidak.

Mereka bertemu di tahun kedua SMA. Itu adalah saat-saat paling sulit dalam hidup Jungkook, itu adalah titik terendah dalam hidupnya, kedua orang tuanya meninggal dalam kecelakaan maut. Jika bukan karena Jimin yang mendukungnya selama trauma, kesedihan, dan depresi yang dirasakannya, ia tidak tahu di mana ia akan berada.

Sebagian besar orang selalu menganggap bahwa mereka akan membawa persahabatan mereka ke tingkat yang lebih intens, tapi bagi Jimin dan Jungkook itu hal yang mustahil. Mereka lebih seperti kakak dan adik. Dan lagi pula, Jungkook sudah memiliki Taehyung dan itu sudah cukup baginya. Sungguh ironis, saat gagasan romantisme konyol di antara mereka, telah berhasil menghancurkan pernikahannya.

Dengan secercah harapan yang entah bagaimana masih menyala di dalam dirinya, Jungkook memegang foto dan pergi ke rumah Jimin.

Mungkin pernikahannya tidak akan pernah bisa dipulihkan lagi, mungkin ia tidak akan pernah bisa memaafkan Taehyung, tapi tuduhan kotor sebagai istri yang tidak setia ini mungkin masih bisa dicabut. Dosa ini bukan dosanya, rasa malu ini bukan rasa malunya dan ia berharap bisa membuktikannya.

Yang tidak ia ketahui adalah, malam terkutuk itu belum selesai. Jungkook berdiri seperti patung tak bernyawa di ambang pintu. Ia bisa melihat punggung Jimin menghadapnya di ruang kerja, ia bisa mendengar tawa gemuruh sahabatnya itu saat ia berbicara dengan seseorang di telepon. Suara dan kata-katanya tampak asing di telinganya.

"Ya. Bagus sekali!" Sedikit senyum dalam nada suaranya meningkat. "Aku senang kau melakukan semuanya dengan sempurna. Jungkook pasti kaget sekarang. Dan Taehyung, dia selalu cemburu padaku."

Seolah-olah itu sangat lucu, Jimin tertawa sambil menoleh ke belakang dan kemudian berkata, "dia pasti sedang terbakar api cemburu sekarang. Aku penasaran bagaimana aku bisa melakukan semua itu." Orang dari seberang telepon mengatakan sesuatu, Jimin berhenti sejenak untuk mengangguk meskipun orang yang berbicara tidak bisa melihatnya. "Itu benar, aku bisa melakukan apa saja untuknya. Taehyung brengsek, pria itu selalu bertingkah posesif. Foto-foto itu adalah ide yang brilian!"

Jungkook kembali merasakan sakitnya tamparan pengkhianatan. Foto-foto itu terlepas dari cengkeramannya yang melonggar. Sungguh lucu, bagaimana bisa ia masih berdiri tegak karena sepertinya tidak ada lagi kekuatan yang tersisa di tubuhnya.

Bagaimana mungkin ia tidak mengetahui ini sebelumnya?

Bagaimana bisa Jimin melakukan hal serendah ini, dan untuk apa?

Apakah dia benar-benar musuh di balik topeng yang selama ini ia andalkan sebagai dukungan dan persahabatan?

Helaan napas lolos dari bibirnya. Ia mundur dengan langkahnya yang goyah. Jungkook terhuyung-huyung di jalanan setelah mengambil kopernya dari samping pintu depan tempat ia menyimpannya sebelumnya. Kepalanya berdenyut karena bingung dan kesakitan. Tidak terpikirkan bagaimana hidupnya yang sempurna dan bahagia telah berubah arah menuju jalan yang hanya diisi dengan kehancuran dan kesengsaraan.

Mereka yang menjadi pilar seluruh dunianya, pada akhirnya, telah menjatuhkannya ke aspal yang keras dan menjadi hamparan paku. Rasa sakitnya sepertinya tidak pernah berakhir, Jungkook tidak tahu apakah ia akan mampu berdiri lagi.

***

Senyum masih tersungging di bibirnya saat Jimin menghubungi nomor Jungkook setelah berbicara dengan manajer sekaligus temannya Ha Sungwoon. Pria itu berguna untuk semua hal penting dan tidak penting.

LilyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang