33

596 63 7
                                    

Happy reading 💜

....

Alis Jungkook berkerut bingung. "Theo? Kenapa kau kembali lagi ...," ia terdiam, matanya akhirnya menemukan koper-koper yang dibawa oleh pria itu.

"Karena kau menolak untuk tinggal di apartemenku, aku memutuskan untuk tinggal di apartemenmu," Theo mengerling, menyeringai, lalu berjalan melewati gadis itu dan masuk ke dalam apartemen.

Jungkook tercengang dengan mulut terbuka lebar dan tetap seperti itu saat ia berbalik untuk melihat sosok Theo yang berjalan masuk ke dalam rumahnya.

Sulit dipercaya!

Theo mengantarnya beberapa saat yang lalu, tanpa memaksanya lagi untuk tinggal di apartemennya. Belum lagi, pria itu menggendongnya sepanjang jalan dan hanya akan pergi saat Jungkook benar-benar duduk dengan nyaman di sofa di ruang tamunya. Jungkook merasa curiga saat Theo pergi tanpa ucapan selamat tinggal yang normal —yang secara khas akan pria itu katakan berkali-kali padanya tentang merawat dirinya sendiri, obat-obatan, dan untuk meneleponnya jika ada yang tidak beres. Ia seharusnya tahu bahwa pria itu punya rencana.

"Aku menang!" Theo menjerit.

Jungkook dengan gerakan perlahan mengikutinya. "Sudah kubilang aku akan baik-baik saja sendiri, aku akan menjaga diriku sendiri."

Theo menyimpan kopernya di samping sofa, lalu berbalik menghadap gadis itu dengan tatapan marah. "Aku tahu, tapi aku tidak mau mengambil risiko. Karena terakhir kali aku pergi selama beberapa hari, kau hampir sekarat di rumah sakit," berhenti sejenak, ia menarik napas perlahan seolah menyingkirkan memori buruk itu dan wajahnya berbinar saat mengatakan kata-kata berikutnya. "Jadi aku memutuskan akan merawatmu sampai kesehatanmu pulih seutuhnya."

"Maksudmu, sekarang kau adalah perawat pribadiku?" tanya Jungkook. Seperti biasa, sifat peduli Theo menyentuh hatinya.

"Kau benar," Theo tersenyum lebar. "Sekarang, aku akan masak kaldu ayam untukmu."

***

"Mengapa Ibu mengirim surat cerai ke pengacaraku?! Bagaimana bisa?! Dan itu juga tanpa bertanya padaku." Taehyung tidak bisa menahan diri untuk tidak berteriak marah.

Ibunya menangis tersedu-sedu di depannya. Tapi ia sudah tahu bagaimana cara mengendalikan amarah putranya.

"Jungkook memberikannya kepada Ibu di pesta pertunangan sebelum dia pergi. Ibu ...." Baekhyun menghela napas, merasa sangat tidak berdaya. "Ibu belum mengetahui kebenarannya —kita belum mengetahui kebenarannya. Jadi Ibu memanggil manajermu dan surat-suratnya segera dikirim—"

"Sial!" Taehyung mendengus. Tidak menunggu untuk mendengarkan lagi, ia berbalik dan menyerbu keluar ruangan. Ini adalah neraka. Ia berada di neraka, dan sepertinya Tuhan telah mengambil keputusan untuk menghukumnya dengan cara yang ia anggap pantas. Setiap tindakannya di masa lalu sekarang datang kembali untuk menyerangnya, dan ia berada dalam labirin yang tak tertembus, mencoba mencari jalan keluar.

Ia berhenti hanya setelah berada di luar, di bawah langit terbuka. Dengan rantai yang menjerat hatinya, ia menjatuhkan diri ke bangku dekat trotoar. Matanya terpejam saat kesadaran muncul di benaknya, hanya ada satu jalan sekarang dan jalan itu tidak akan pernah bisa ia lalui tanpa Jungkook.

***

"Ya, itulah alasan aku keluar kota," kata Theo, tangannya sibuk mengupas wortel lalu memotongnya menjadi bagian kecil.

"Dan itu sukses. Perusahaan fashion telah setuju untuk memasok kain kepada kita. Namun, kesepakatan akhir belum dibuat. Aku perlu mendiskusikan rencanaku denganmu terlebih dahulu dan kita perlu mempekerjakan orang yang ahli dalam menjahit dan merancang."

Jungkook tersenyum dari meja makan, menatap Theo yang sibuk dengan masakannya di depan meja dapurnya seperti seorang profesional.

"Kau tidak perlu menunggu, kau bisa menyelesaikan semuanya saat itu juga."

Dalam panci saus ia menggabungkan ayam utuh kecil dengan leher ayam, wortel, seledri, dan bawang merah. "Aku ingin menunggu. Kau partnerku, Kook, dan aku akan mendengarkan pendapatmu tentang keputusanku."

"Dari mana kau belajar memasak seperti ini?" Setelah hening beberapa saat, ia berkomentar, terkesan dengan keterampilan memasak Theo.

"Dari ibuku," setelah menambahkan air yang cukup untuk menutupi ayam dan kemudian meletakkan panci di atas kompor, ia berbalik dan tersenyum malu-malu pada Jungkook. "Beliau adalah ibu yang unik, menurutku. Saat kami masih kecil, beliau selalu mengatakan —jika wanita tidak menjadi seperti pria dan pria tidak menjadi seperti wanita maka dunia tidak akan pernah bisa menjadi tempat yang damai dan bahagia. Beliau mengajari kakak perempuanku Karate agar kakakku dapat melindungi dirinya sendiri dan aku diajari memasak agar aku selalu bisa menjaga istriku." Ia menggaruk kepalanya, senyum malu-malu terpampang di bibirnya.

Jungkook terpesona. Bibirnya mengembang membentuk sebuah senyuman lebar. "Aku belum pernah bertemu ibumu, Theo, tapi aku sudah menyukainya."

Theo tersenyum lebar. "Aku yakin bahwa ibuku akan menyukaimu juga." Ia mengalihkan perhatiannya ke kaldu yang sekarang mendidih dan mulai mengeluarkan busa.

Bersamaan dengan itu ia menjelaskan resep dan apa yang harus dilakukan untuk membuat kaldunya sempurna. Jungkook mendengarkan sambil berkonsentrasi, memutuskan bahwa setelah sembuh ia akan memasak kaldu untuk semua anak yang sakit dan kurang gizi di panti asuhan.

Berbicara tentang panti asuhan, ia teringat tentang acara yang akan diadakan di sana. Ia berencana untuk membuat kue dan juga membantu para perawat dalam menata dekorasi, yang semuanya akan sedikit sulit dilakukan sekarang. Theo; perawat, koki, serta pembersih pribadinya akan terbukti menjadi kendala yang sulit.

Ia sedang memikirkan cara untuk membuat rintangan itu melunak tanpa menyakiti pria itu sama sekali ketika teleponnya berdering di tangannya.

"Aku berani bertaruh itu Yoongi," kata Theo. Ia tertawa. "Dia menelepon, mungkin untuk memberi tahumu bahwa dia telah membunuh seseorang dengan pisau saku yang selalu dibawanya."

Itu terlalu mengada-ada. Namun jika itu terjadi, ia tidak akan terlalu terkejut.

Tapi ternyata, itu adalah panggilan dari nomor yang tidak dikenal. Dan saat ia menjawabnya, hanya ada keheningan dari seberang telepon.

"Halo?" Ia mencoba untuk kedua kalinya tapi tidak ada jawaban. "Siapa ini?"

Masih tidak ada yang berbicara. Sedetik kemudian, ia mendengar seseorang menghela napas. Itu adalah suara napas yang terengah, panjang dan bermakna.

Perasaan tidak nyaman menetap di ulu hatinya.

Ia segera memutuskan panggilan dengan wajah kesal. Itu pasti nomor salah sambung atau orang yang sedang iseng, pikirnya, tapi benarkah?

***

"Berita bahwa perusahaan ini bangkrut telah menyebar, kita mengalami masalah dengan pemegang saham, peringkat kita turun dan karyawan mulai berdemo. Dan Anda ingin undangan untuk acara di panti asuhan?"

"Ya," jawab Taehyung singkat kepada manajernya.

Matanya terpaku ke luar kaca, jalan-jalan dan gedung kota Daegu terbentang di hadapannya seolah menunggu untuk menelannya utuh. Ia mendengar manajernya menghela napas menyerah dan pergi.

Ia menekankan jari telunjuknya ke pelipisnya yang berdenyut. Fakta bahwa ia sekarang sekarang sedang berdiri di tepi jurang, satu inci jauhnya dari kehilangan segalanya, hal itu membuatnya tenggelam dalam ketakutan.

Ia memejamkan matanya dan melihat wajah Jungkook. Tersenyum, berbinar, menangis, berjalan menjauh. Matanya menusuk di balik kelopak yang mengernyit.

Jika, dari semua hal yang akan hilang darinya ia diberi pilihan untuk hanya memilih satu, ia akan memilih Jungkook tanpa berpikir dua kali. Dan ia melakukan hal itu saat ini, sesuatu yang seharusnya ia lakukan sejak awal saat ia masih punya waktu.

Bersambung

LilyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang