Suatu siang, Riri dan Wida, karena rasa penasaran mereka mencapai level tertinggi, akhirnya memaksakan diri ikut ritual yang Sukir lakukan seusai makan siang. Ritual si bankir getir itu, yaitu ke lantai 7 kemudian melewati depan kantor Bank Bahana lalu ke mushola untuk sholat dzuhur. Hal itu dilakukan demi melihat sosok wanita yang kerap ia jumpai di lokasi tersebut dan juga di pagi hari, di tikungan Menara Pandawa.
"Setiap hari begini aja?" tanya Riri setelah mereka keluar lift, tiba di lantai tujuh.
"Nggak setiap hari, tapi Senin dan kamis."
"Senin dan Kamis? Mending puasa daripada ngelakuin kayak gitu," cibir Wida.
"Ini juga kegiatan yang menyejukan loh. Adem kalo udah liat dia."
"Sampai kapan hanya liat aja, nggak kenalan?" Wida to the point, menyerang nyali Sukir.
"Sampai berani, Mbak," si pelaku memang bernyali tipis.
"Elu kalo sama kita dan Davina, berani banget. Ketimbang untuk jodoh sendiri nggak berani?" Riri sarkas.
"Ya beda lah Mbak,"
"Kenapa harus senin dan kamis? Wasiat dari dukun?"
"Nggak mainan ilmu hitam ya. Senin dan kamis itu dia selalu ke Lantai 7 di jam segini dan selalu nunggu di depan resepsionis. Sebenarnya dia tugasnya di bawah. Head Teller," Sukir menoleh kiri dan kanan, tapi tak ia dapati sang target. Suasana masih sepi.
"Kayak mantan bini lo ya jabatannya," tembak Riri yang sukses membuat Sukir membisu. Ungkit lagi, serempet lagi.
"Hapal banget?" tanya Wida masih penasaran.
"Karena setiap habis makan siang kalo saya lewat depan kantor operasionalnya, senin dan kamis nggak pernah ada. Suatu ketika saya sengaja nggak makan, ingin tahu ke mana dia, ternyata ke atas untuk menyerahkan laporan. Dan itu rutin tiap senin dan kamis,"
"Udah pernah kawin, kenalan aja masih takut," sindir Riri.
"Kalo suasananya ramai, saya makin nggak pede. Kalau hanya ada saya dan dia di satu ruangan atau satu waktu, saya pasti berani,"
"Kalo elo hanya sama dia aja di satu ruangan, gua bakar hidup-hidup lo! Bukan muhrim!" ancam Wida.
"Sadis lo Cong,"
"Udah yuk balik ke atas," ajak Sukir untuk menyudahi ritualnya. Hari ini sepertinya gagal memamerkannya kepada Riri dan Wida.
"Gitu doang? Cemen banget lo jadi laki," Wida meremehkan Sukir. Sesungguhnya memang seremeh itu dia.
"Sabar Mbak. Tunggu siap mental dulu,"
Mereka bertiga sudah berada di dalam lift dan menuju ke lantai 21.
Lift terbuka, mereka melangkah keluar.
"Putar balik. Putar balik. Ada kakak," Wida yang melihat lebih dulu, memberi aba-aba pada Sukir dan Riri.
Sukir dan Riri paham. Mereka masuk kembali ke lift dan tak peduli ruang kecil itu mau mengantar ke lantai berapa saja. Pintu tertutup.
"Males banget gue ketemu dia hari ini," Wida lega.
"Kenapa lagi sih Wid?"
"Pagi-pagi dia udah update instastory, lagi di Starbucks bawah. Ketimbang gue nitip beli Coffe Latte aja, dia alasannya udah di lift. Ya udah gue turun sendiri. Sampe sana, eh dia masih ngejogrok dengan gayanya yang khas tebar pesona berharap ada cowok yang khilaf,"
Sukir dan Riri tertawa lepas, tanpa dapat ditahan lagi.
"Puas ye lo bedua," cibir Wida.
"Sabar Mbak, jangan emosi. Lagi hamil," Sukir berusaha menenangkan.
Wida reflek mengelus perutnya yang mulai membesar.
Pintu terbuka, di depan pintu sudah berdiri Davina yang akan masuk ke dalam.
"Hai...Pada mau ke mana?" sapa Davina.
"Ng...ini...temanin Sukir ke Lantai tujuh," reflek Riri menjawab.
"Elo mau kecengin anak Bank Bahana ya, Suk?" goda Davina pada Sukir. 'Suk', hanya Davina seorang yang memanggil Sukir seperti itu.
Wida dan Riri saling melempar pandangan, seolah berkata, "kok dia tau?"
"Loh, mau ke lantai tujuh kok belum dipencet. Kalian ya," Davina tertawa, sementara mereka bertiga pun tertawa garing. Sukir dengan gesit menekan tombol angka tujuh. Sementara Davina ke lantai G.
Posisi berdiri di dalam lift yaitu Davina berdampingan dengan Wida, sementara Sukir dan Riri tepat berada di belakang mereka.
"Ada pengikatan?" tanya Wida, basa-basi.
Sukir dan Riri saling berpandangan dan mulut mereka kompak mengucap "basa-basi" tanpa suara.
"Iya nih," jawab Davina.
"Di mana?"
"Biasa, Di PIK,"
"Oh..." Wida angguk-angguk.
Pintu terbuka, di luar tak ada orang yang akan masuk lift.
"Kebiasaan nih orang-orang gedung sini. Udah pencet tapi nggak jadi naik," seloroh Wida, usai mengeluarkan kepalanya, menoleh ke sekeliling, memastikan ada orang atau tidak.
"Kalian bukannya mau ke lantai tujuh?" Davina menunjuk ke angka layar Lift.
"Eh iya. Aki, Nini, ayo keluar," ajak Wida pada Sukir dan Riri, baru menyadari.
"Ayuk Cu..." balas ledekan dari Riri pada Wida, dengan suara khas nenek-nenek.
"Duluan ya Dav," pamit Riri.
"Ya.." Davina melambaikan tangan sampai pintu lift tertutup. Seketika kemudian mereka bertiga merasa lega dan tertawa.
"Bodohnya kita, masuk lift tapi sama sekali nggak pencet lantai tujuan," ujar Riri.
"Parahnya lagi, Davina masuk dan benar-benar Akward. Panjang umur banget dia. Diomongin langsung muncul."timpal Wida.
"Ya jelas panjang umur, biar dia punya banyak waktu untuk cari jodoh," celetuk Riri.
"Untungnya reflek kita sudah terlatih menjawab cepat," Sukir memastikan bahwa respon mereka cepat dan satu suara bila dalam situasi tak menguntungkan.
"Eh sebentar...kok dia tahu sih elo lagi ngincer anak Bahana?" Wida mendahului Sukir dan Riri kemudian balik badan menahan langkah mereka. Pertanyaan ditujukan kepada Sukir.
"Saya juga nggak tahu Mbak,"
"Jangan-jangan dia tau kalo kita sering omongin?"
"Bisa jadi,"
"Eh, itu inceran lo ya?" tanya Riri menunjuk wanita yang mengenakan blazer hitam dan rok span
Sukir hanya mengangguk. Akhirnya, di kesempatan ini ia berhasil melihat sosok itu.
"Kok elo tau, Ri? Kan Sukir belum pernah kasih unjuk," tanya Wida.
"Tadi kan dia bilang, biasanya ke resepsionis. Dari seragamnya aja udah jelas," jelas Riri
"Mungkin ini udah jalannya elo untuk kenalan sama dia," Wida menyikut pelan Sukir.
"Gimana caranya?" Sukir malah bertanya.
"Aqil bhaliq lo udah kelewat jauh. Masa kalah sama anak SD jaman Now? Kenalan, Kir! Bukan langsung ajak nikah dan Bulan madu ke Ethiopia," Riri melotot.
"Pura-pura jadi nasabah baru. Mau buka deposito," saran brilian dari Wida.
"Nih... ini baru benar. Kasih saran. Bukan intimidasi," tunjuk Sukir pada Wida, lalu menyalaminya.
"Awas lo. Sini gua jitak," Riri mengejar Sukir.
"Ampun," Sukir berlari dan layaknya adegan sinetron, ia tak sengaja menabrak pelan wanita yang ditaksir.
"Yah ampun pake nabrak segala, kayak sinetron aja," bisik Riri sedikit pasrah.
"Keseringan nonton FTV. Kalo ini bisa dikasih judul 'Duda nista pencari hibah cinta di lantai 7'," timpal Wida diikuti tawa Riri.
"Eh, maaf...Maaf. Saya tadi dikejar satpol PP," Sukir minta maaf pada wanita itu.
"Iya, nggak apa-apa," senyum ramah si wanita.
"Kurang ajar, gue dikira satpol PP,"
"Bukan Satpol PP, tapi Pembunuh Berdarah Anak Kos yang nagihnya pakai daster ala emak-emak, roll rambut dimana-mana sambil pegang sapu lidi!" cibir Wida.
"Sialan!"
"Mbak nya CS Bank Bahana ya?"Wida melempar tanya si pada si wanita target Sukir.
"Saya HT, Ibu. Ada yang bisa dibantu?" jawabnya, dengan senyum manis yang melelehkan hati Sukir.
"Tahan iman. Jangan goyah," Riri menyikut perut Sukir.
"Mbaaa...." Wida bingung mencari name tag yang biasanya tersemat di dada kanan seragam para frontliner.
"Karin, Ibu. Panggil saja Karin,"
"Saya kira 'sebut saja Mawar'," bisik Sukir pada Riri.
"Sama gebetan udah ngelunjak lo ya," Riri menginjak kaki Sukir.
"Aduh..." refek Sukir kesakitan.
"Elo berdua lagi kenapa sih?" Wida mulai terusik dengan kelakuan dua rekannya.
"Ini Sukir, nggak sabar mau buka deposito. Kebanyakan uang jadi sok tinggi kelakuannya," ledek Riri dengan balasan tatapan tajam dari Sukir. Semua serba mengikuti situasi.
"Oh iya Mbak, teman saya ini mau buka deposito di tempat Mbak. Tadi ke bawah, katanya istirahat. Saking nggak sabarannya, teman saya minta disusulin aja ke sini, kali aja ada di sini. Ternyata ketemu juga sama Mbak nya," Wida berusaha mencari alibi senyata mungkin.
"Tunggu di bawah aja Ibu, tidak perlu sampai disusul ke atas," si Mbak yang sudah diketahui namanya Karin, tersenyum renyah.
"Teman saya ini nggak sabaran, Mbak. Maklum lah, udah kebelet nyimpen modal kawin," ujar Riri asal, yang dibalas dengan tatapan intimidasi dari Sukir dan tatapan penuh iba dari Wida.
"Sebentar, Ibu-Ibu dan Bapak ini dari Bank Sapta Raya Persada ya?" tebak Karin.
"Iya betul. Mbak nya kok tahu?" jawab Riri.
"Itu, lynardnya khas, Warna pink dan ID Card nya agak mencolok juga bentuknya jajaran genjang," tunjuk Karin pada ID Card Wida. Ia tak enak hati untuk menyebut singkatan dari Bank tempat Sukir bekerja.
"Oh..iya ya?" Wida tersadar seakan baru menyadari kalau bebek tidak dapat menyusui.
"Saya kira dia cari tahu tentang saya," Sukir yang awalnya mengembang, seketika mengempis rasa bangganya.
"Jangan gampang ge-er," Riri memperingati.
"Kenapa nggak buka deposito di Bank Sarap?" tanya Karin.
"Dia takut diintip kekayaannya sama teman kantor. Apalagi dikepoin sama CS," Wida yang menjawab.
"Eh iya belum memperkenalkan diri. Saya Riri," Riri mengulurkan tangan, mengajak berjabat tangan.
"Yang ini Wida, dan lelaki di sebelah saya ini Sukir. Jomblo," Riri berbisik mendekati telinga Karin saat ucapkan kata terakhir.
Sukir melotot pada Riri.
"Apa sih melotot? Emang jomblo, kan?" Riri tanpa dosa semakin buat Sukir hanya punya satu pilihan untuk menutupi rasa malu di depan Karin, yaitu terjun dari lantai 7. Tapi tak dilakukan, karena benar yang dikatakan Riri, dirinya masih jomblo.
Sukir dan Wida gantian bersalaman dengan Karin.
Agar suasana tidak akward, Wida dan Riri pamit kembali ke kantor. Mereka berdua berdiri di depan lift, sementara Sukir dan Karin masih berada di depan resepsionis.
"Eh, saya besok pagi aja deh Mbak buka depositonya. Belum ambil uang,"
"Nggak usah pake alasan lo! Di bawah kan ada ATM, atau ambil lewat Teller," Riri dari depan lift masih mampu memberikan ancaman pada Sukir.
"Begini saja, Bapak nanti ikut saya ke bawah ambil aplikasi permohonan. Nanti bapak isi dulu saja. Kalau sudah lengkap dan dana tersedia, Bapak bisa kembali lagi. Nanti saya bantu arahkan ke CS. Bapak bisa lanjut dengan CS,"
"Karin, Nggak usah panggil Bapak. Dia belum punya anak," Wida ikut berkomentar.
"Belum punya pacar juga. Hidup menjomblo penuh hina," timpal Riri sambil masuk ke dalam lift. Pintu perlahan tertutup.
"Nggak sekalian aja bilang nggak ada wanita yang naksir saya sampai saya jompo," cibir Sukir.
"Masa gue setega itu, Kir? " pintu lift dibuka kembali oleh Riri.
"Eh tapi beneran sih. Cewek kantor sama sekali nggak ada yang naksir dia," timpal Wida berpandangan dengan Riri.
Sukir hilang kesabaran dan segera menghampiri dua emak rempong.
Riri dan Wida kembali ke dalam lift dan segera menututp lift. Tawa mereka berdua masih terdengar walau pintu sudah tertutup.
"Maaf ya kelakuan dua emak-emak tadi," Dirga meminta maaf pada Karin.
"Tidak apa-apa, Pak,"
"Jangan panggil Bapak. Panggil aja Sukir,"
"Kalo begitu jangan panggil saya Mbak juga. Panggil saja Karin,"
Mereka berdua tersenyum.
"Saya sepertinya faimiliar,"
"Pagi, 6.45 di tikungan Menara Pandawa,"
"Ah," Karin ingat.*******
KAMU SEDANG MEMBACA
Sukir Bankir Getir! (Tamat)
General FictionKisah karyawan Bank bernama Surendra Kiran, atau biasa dipanggil Sukir, yang selalu saja menghadapi kenyataan yang getir, mulai dari karir, percintaan, hingga rumah tangga. Sudah dua tahun ia menduda dan mulai coba membuka hatinya kepada orang baru...