Meeting

27 4 0
                                    

Sukir memulai hari kerja dengan kurang semangat. Block leave tak membuatnya lebih fresh menghadapi hari Senin. Selepas perjalanan hingga Banyuwangi, mood Sukir seperti roller coaster. Kini yang tersisa berada di bawah normal.
"Undangannya siapa ini, Mbak?" Sebuah undangan tergeletak di meja Sukir. Senin pagi sudah disambut undangan pernikahan.
"Oleh-olehnya dulu, baru gue jawab," todong Riri, yang sedamg menyantap bubur kacang ijo.
"Ampun deh. Jawab aja mesti ada sogokan," keluh Sukir.
"Lo habis jalan-jalan. Masa, nggak bawa oleh-oleh?"
"Oh, gitu. Jalan-jalan sama gebetan jadinya lupa sama yang di kantor?" Riri melanjutkan.
"Nih." Sukir mengeluarkan satu bungkus lanting rasa original dan satu bungkus keripik tempe ukuran besar.
"Cuma ini aja?" tanya Riri, tangannya gesit membuka bungkus lanting.
"Dicicil. Biar nggak penuh di meja dan nggak cepat habis." Sukir beralasan.
"Bisa aja, lo."
"Itu undangannya Pricil, anak Finance." Riri memberi jawaban dari pertanyaan Sukir sebelumnya. Ia kembali melanjutkan sarapan bubur kacang ijo.
"Kondangan lagi, kondangan lagi. Giliran saya belum, nih." Sukir menyalakan komputer dan menu pagi yang ia buka di layar adalah laman berita.
"Lo udah pernah." cibir Riri, tak terima dengan perkataan Sukir.
"Tapi, kan, kalian belum pernah datang ke pernikahan saya." Sukir membela diri.
"Udah bubar pernikahan lo." Pelan tapi menusuk dari Riri. Ditambah dengan ekspresinya seperti mahluk nyinyir yang berhasil menjuarai kompetisi nyinyir sedunia.
"Okeh." Sukir memilih beranjak dari kursi, keluar menuju pantry.
"Lo yang mulai, ya, tadi. Nggak usah baper."
"Kalo saya baper, saya udah resign dari pertama kali kenal Mbak Riri dan Mbak Wida." Sukir melongokkan kepala saja kemudian menutup pintu ruangan menuju pantry.
Semakin lama Sukir semakin terlatih untuk menghadapi cibiran dan nyinyir dari dua seniornya. Mereka memang usil, tapi masih dalam batas sewajarnya.
Sukir kembali ke ruangan membawa secangkir kopi krimer.
"Nggak beli kopi di bawah aja? Kayak Kakak tercinta." Riri melirik cangkir kopi yang diletakkan Sukir di samping keyboard.
"Alhamdulillah sampai detik ini saya belum pernah ngopi di tempat seperti itu."
"Lo anti banget ke coffee shop, gitu?"
"Nggak anti, sih, Mbak. Memang saya belum ada keinginan minum atau beli di coffee shop aja,"
"Basi lo! Alasan lo nggak kuat. Gue tau, lo norak. Nanti pas pesan malah bingung sendiri. Ujung-ujungnya minta kopi tubruk. Saking bingung banyaknya pilihan menu kopi."
"Nggak perlu saya jawab, Mbak udah tau saya seperti apa." Sukir memang tidak paham sama sekali isi menu dari ragam jenis yang ditawarkan oleh kedai kopi modern yang berkembang kini. Bagi Sukir, kopi, ya, kopi. Pilihannya hanya sebatas pada produk kemasan sachet di warung.
"Sok-sokan lo, ah." Riri paling juara menyerang Sukir.
"Lo berangkat ke nikahannya Pricil?" tanya Riri.
"Berangkat Mbak. Mbak Riri?"
"Gue berangkat juga."
Pintu ruangan terbuka, yqng datang bukan dari tim kredit, melainkan Bari, tim RO.
"Mbak, fans dirimu sudah datang, tuh," goda Sukir sambil melirik pada Bari.
"Berisik, lo!" Riri sewot. Pagi ini harus berurusan dengan Bari lagi.
"Udah info debitur untuk siapin laporan keuangan dan bukti pembayaran kartu kredit?" Riri memastikan pada Bari.
"Sudah, Bu," jawab Bari dengan yakin.
"Eeeh ... ada pemuja rahasianya Riri." Wida baru saja datang sambil menenteng kantong berisi bubur ayam.
"Teruuus ...." Riri kesal.
Bari hanya tersenyum menanggapi keusilan Wida dan Sukir.
"Pagiii." Agnes masuk ke dalam ruangan dengan ceria. Sepertinya ia sudah siap melewati Senin ini.
"Ih, ada Mas Bari. Pasti mau ajak Mbak Riri kencan pagi-pagi." Agnes ketika mendapati Bari sudah berdiri di dekat kubikel Riri.
"Lo bertiga pada sekongkol ngeledekin gue, ya?" oceh Riri.
"Kapan lagi, Mbak?" goda Sukir.
"Awas lo semua, ya," ancam Riri pada ketiga temannya.
Sementara yang diancam bukannya takut, malah pada tertawa puas.
"Bar, bawa sampo, nggak?" tanya Sukir pada Bari.
"Hah?" Bari kebingungan mendapat pertanyaan seperti itu.
"Kali aja dikeramasin bu Riri." Sukir langsung kabur sebelum disambut lemparan pensil dari Riri.
"Sukir!" Riri sudah siap dengan pensil di tangan, tapi Sukir sudah berhasil menjauh dan akan keluar ruangan.
"Sukir, nanti siang ada meeting sama madam dan pak Burhan." Wida memberitahu sebelum sukir keluar.
"Meeting apa, Mbak?" tanya Sukir. Ia tak jadi keluar dan kembali ke dalam mendekat pada Wida.
"Mas Sukir kelamaan cuti, sih," seloroh Agnes.
"Ugh!" Riri berhasil melemparkan pensil tepat mengenai pundak Sukir.
"Aduh!" Sukir mengusap-usap pundaknya yang menjadi target Riri.
"Kayaknya belum puas banget kalo belum siksa saya, Mbak," gerutu Sukir.
"Biarin." Riri tak peduli.
"Meeting bahas apa, Mbak?" Sukir bertanya lagi, setelah sempat distracted oleh lemparan pensil dari Riri.
"Banyak pokoknya," jawab Wida.
"Ah, Mbak Wida bikin saya jadi kena timpuk Mbak Riri aja. Udah benar tadi saya keluar." Sukir berlalu, kembali menuju pintu untuk keluar ruangan.
Wida hanya tertawa.
"Ri, elo pengikatan nggak sampai siang, kan?" tanya Wida.
"Tergantung debiturnya si Bari. Kalau cepat tanda tangan dan dokumen TBO dipenuhi, langsung balik kantor."
"Tenang, Bu. Dokumen sudah disiapkan," Bari berusaha meyakinkan Riri.
"Oke kalo begitu."
"Usahain pas makan siang udah sampai kantor, ya. Madam ngajak meeting di coffee shop bawah. Bukan kita aja, tapi sama analis dan appraisal juga."
"Oke."

Sukir Bankir Getir! (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang