Kilas Mundur

42 7 1
                                    

Sukir, nama lengkapnya Surendra Kiran, adalah salah seorang karyawan sebuah Bank Swasta yang sedang berkembang bernama Bank Sapta Raya Persada. Ia bersama persekutuan ghibah di departemen seenaknya menyingkat menjadi Bank Sarap. Sukir adalah karyawan 'level pinggiran' dengan posisi sebagai Admin Support di Departemen Legal Kredit, atau lebih senang ia singkat dengan sebutan Leker. Tahun ini adalah tahun ke limanya tergabung di Bank Sarap. 
Menjadi Bankir bukan cita-citanya sejak kecil maupun impian dalam mendapatkan pekerjaan. Namun apa daya, kebutuhan hidup memaksanya untuk melamar kerja segala posisi yang tersedia pada iklan lowongan kerja. Sampai akhirnya ia terjerembab di Bank Sarap.
Pagi ini, ia sudah sukses menjadi atlet senam. Dengan memaksakan kelenturan tubuh, tangan kanan memegang handle di atas, tangan kiri menjaga tas di depan tubuh, semakin memakan tempat selain ukuran tas yang agak besar, perut pun tak jauh beda. Kaki kanan sudah tak seimbang dan kaki kiri berusaha menahan agar tak terhempas akibat himpitan segala arah. Hal ini selalu terjadi setiap pagi di dalam Commuter Line (CL), begitu juga di sore hari.  Ketika para pencari nafkah di Jakarta menuju tempat beraktivitas dan pulang untuk menumpang mandi serta tidur, kemudian mengulanginya kembali hingga hari jumat. Ritual berupa rutinitas. Penderitaan itu biasanya berlangsung selama satu hingga maksimal dua jam.
Turun di Stasiun Sudirman, Sukir memiliki opsi melanjutkan perjalanan menuju kantor, yaitu jalan kaki, transjakarta, MRT, ojek online, atau taksi. Pilihan terakhir tak mungkin. Pilihan pertama mutlak ketika pasca dua minggu gajian.
Perjalanan dari stasiun menuju kantor yang berada di Gedung Sentra Bahari memakan waktu sekitar 15 sampai 20 menit, tergantung kecepatan langkah. Bila dihitung jarak, kisaran 1,5 km. Sukir anggap sebagai olah raga atletik cabang jalan santai. Ada dua alibi untuk opsi jalan kaki. Pertama karena tanggung. Jarak yang tak terlalu jauh, sayang diongkos. Sesungguhnya itu pembelaan sebagai pendukung alibi lainnya, yaitu irit ongkos!
Di depan stasiun, berbaris rapi para penjaja sarapan dengan bermacam makanan. Mulai dari nasi kuning, nasi uduk, nasi rames, lontong sayur, bubur ayam, dan lainnya. Pagi ini Sukir sudah dapat pesanan dengan paksaan dari dua rekan kerjanya.

Pertama, bubur ayam pesanan Riri. Nama lengkapnya Rismaya Handiniya Putri. Umurnya yang berselisih empat tahun lebih tua, membuat Sukir memanggilnya dengan sapaan ‘Mbak’, tidak dengan “Ibu” atau “Tante”. Riri adalah karyawan paling senior dan paling lama di Departemen Leker. Ia sudah tujuh tahun bergabung dengan Bank sarap. Ibu dengan satu anak ini paling cerewet di departemen tempat Sukir bernaung. Segala hal diceramahi olehnya kalau di antara rekannya ada yang berbuat menyimpang dan tak semestinya. Naluri sebagai sosok emak-emak juga  terpancar ketika sesajen di departemen Leker melimpah dan tak ada yang habiskan.
“Ini makanan nggak ada yang mau habisin?!”
“Sukir! Habisin!”

Kedua, Wida, lengkapnya Wida Maheswari. Ia bergabung dengan Bank Sarap enam tahun yang lalu. Wida sedang berbahagia dengan statusnya sebagai Bumil (ibu hamil), setelah penantian selama delapan tahun pada malaikat kecil di keluarganya.
Ikhtiar, doa, serta berpasrah kepada Sang Pencipta, hingga akhirnya diijabah. Wida tak kalah cerewetnya dengan Riri. Namun ia lebih bisa berkompromi dan melihat situasi bila sedang nyerocos.

 
Riri titip Bubur Ayam, sementara Wida titip Lontong Sayur. Keduanya menu sarapan andalan para Ibu-ibu, baik yang muda hingga renta dan manula. Persaingan akan ketat. Tak percaya? Dapat dibuktikan saat Sukir mengantri pesanan Riri.
 
Ibu-ibu selalu mendominasi bila sudah mengelilingi gerobak bubur ayam. Si Abang penjual bubur mungkin adalah manusia paling sabar di pagi hari. Sukir hapal betul kebiasaan para ibu mengerubungi tukang bubur ayam, dan sampai mengkategorikan jenis ibu-ibu pembeli bubur ayam.
Pertama, ibu-ibu kooperatif. Tipe ini tak banyak permintaan dan tak merecoki si abang yang menyajikan bubur ayam. Pesanannya normal dan tak ada hal khusus yang dikhawatirkan si abang.
“Bang, saya satu ya, komplit.” Simpel.
Si abang pun tersenyum ramah dan menyahutinya dengan, “ya Bu,”. Selesai.
 
Ke dua, Ibu-ibu Mandor. Kategori ini selalu memantau wadah bubur ayam yang sudah diincar saat pertama bubur ditumpahkan di wadah styrofoam. Si Abang biasa menyajikan hingga enam styrofoam saat pembeli mulai mengerubunginya. Kategori ibu ini ‘menandai’ target buburnya. Segala cara dilakukan untuk menandai bubur miliknya walau belum selesai diracik.
“Ini saya ya Bang,” Ibu A langsung menunjuk.
 “Yang ini bumbunya dipisah ya Bang,” Ibu B berdalih melayangkan permintaan.
“Yang itu taro sate usus sama ati ampelanya dong Bang!” Ibu C memperlihatkan kekuasaannya, menyuruh si abang meletakan sate usus dan ati ampela di atas bubur yang belum selesai diracik dan belum dicampur bahan pelengkap lainnya.
Si Abang berusaha menyembunyikan tampang melasnya, dalam hati merasa intimidasi berlebih dari ibu-ibu kategori ini membuatnya ingin berganti jualan menjadi tukang abu gosok.
 
Ke tiga, Ibu-ibu banyak permintaan. Mulai dari bubur belum disajikan hingga tutup styrofoam akan dirapatkan, tipe ibu ini adalah yang paling rusuh merecoki dan mengganggu konsentrasi si abang. Mulai dari permintaan kuah dipisah, tidak pakai kacang, tidak pakai daun seledri, daun bawang,  ayamnya dipinggir, tidak pakai bawang goreng, kerupuknya dipisah, sambalnya yang banyak maupun dipisah, tuangkan kecapnya dibentuk gambar love, hingga permintaan diberi gambar bunga pada tutup styrofoam demi menaikkan mood sarapan. Tipe ini yang cukup mengganggu konsentrasi si abang sehingga bila ada permintaan kecil dari pembeli lainnya, tanpa sengaja ia tak penuhi karena otaknya sudah tercuci oleh permintaan ibu-ibu tipe ini.
 
Ke empat, Ibu-ibu Oportunis. Kategori ini yang menjadi ancaman serius ketika memesan bubur ayam. Bagaimana tidak, saat si Abang baru menuangkan bubur ke dalam styrofoam, belum diberi racikan macam-macam, ibu-ibu kategori ini sekonyong-konyong sudah meletakan berbagai jenis sate untuk “membooking” bubur tersebut. Mulai dari gerakan sepersekian detik meletakkan sate usus, atau dengan gerakan seperti atlet senam indah, menjulurkan sate kulit, hingga melakukan lemparan dari jarak jauh menggunakan sate telur puyuh agar bisa “menjajah” kavling bubur yang belum direbut pembeli lainnya. Sementara si abang hanya bisa pasrah ketika sate telur puyuh mendarat dengan keras, dan buburnya bercipratan hingga ke wajahnya. Tak sampai di situ, saat si Abang meracik bubur ayam dengan memasukan berbagai campuran seperti bawang, kacang, daun selederi, irisan cakwe, hingga ayam suwir, tipe ibu-ibu seperti ini dengan gesit sudah menyodorkan uangnya untuk membayar bubur tersebut. Si abang yang menjadi galau, lanjut meracik atau menerima uang itu.
 
Pagi ini tak ada Ibu-ibu dengan kategori nomor satu. Persaingan dengan ibu-ibu dalam membeli bubur ayam tersebut membuat Sukir merasa harus mengambil tindakan tegas dan cepat.
Dengan mengesampingkan nilai-nilai hormat pada yang lebih tua, Sukir melakukan tindakan seperti kategori nomor dua, tiga, dan empat, agar tak terlalu lama menunggu. Segala upaya dilakukan namun tetap saja, the power of emak-emak mampu mengalahkan seonggok manusia seperti Sukir. Ia tetap di urutan terakhir.
Selepas bubur ayam, lanjut ke lontong sayur. Di sana juga ramai sekali. Bila ia tak membeli, habislah dikeramasi Wida. Kalau beli, bisa terlambat sampai kantor. Apalagi hari ini ia ingin jalan kaki. Akhirnya ia memilih antri demi si ibu hamil. Beruntung antriannya tak semua ibu-ibu. Masih ada pejantan yang ikut antri. Sambil memohon dengan memelas, Sukir minta didahulukan dengan alasan untuk ibu hamil yang sudah ngidam makan lontong sayur depan stasiun Sudirman dengan model potongan lontong berbentuk jajaran genjang sebanyak tujuh buah selama tujuh hari tujuh malam belakangan.
Berhasil! Walau langkah berlalu Sukir diiringi pandangan sinis beberapa ibu-ibu. Entah mengapa, ada masalah apa antara ibu-ibu dengan Sukir?
Segala urusan pesanan sarapan selesai, Sukir mengejar waktu. Kecepatan langkah yang biasanya hanya 3 km/jam, kini dipacu lebih kencang hingga maksimal 10 km/jam. Tak peduli keringat sebesar biji jambu mengucur.
Ia harus membawa sarapan Riri dan Wida tepat waktu di pukul tujuh.
Sampai di tikungan Menara Pandawa, seberang gedung Sentra Bahari, ia bersilangan dengan seseorang dari arah berlawanan. Wanita berkemeja lengan panjang warna biru telor asin, dengan kombinasi garis putih. Tas selempang yang digantungkan di pundak kanan. sandal jepit hitam dengan motif bunga di titik tengah jepitan jempol dan telunjuk kaki. Wanita itu hanya melempar pandangan sejenak tanpa senyum. Kikuk ketika ingin memberikan jalan, mereka menggeser tubuh ke arah yang sama. Beberapa kali terjadi hingga mereka kompak terdiam. Sukir akhirnya inisiatif menggeser tubuhnya ke kiri, lalu menjulurkan tangan untuk mempersilakan si wanita lewat. Si wanita memandang Sukir sepersekian detik kemudian berlalu. Sepersekian detik yang bagi Sukir adalah bahagia dunia akhirat.
 
“Mana sarapan gue?” sambutan yang didapat Sukir ketika baru membuka pintu ruangan Divisi Kredit. Suara yang cukup menggelegar.
“Kok tahu kalo saya yang masuk?” Sukir menutup pintu dan menuju kubikel.
“Bau sangit lo kecium,” ejek Wida.
Sebagai informasi, hobi Wida adalah pemakan segala menu. Namun untuk kali, ia berusaha keras menahan hawa nafsu makan demi si buah hati. Walaupun beberapa kali ia khilaf secara sengaja mengkonsumsi gorengan atau makanan cepat saji secara berlebihan. Itu tidak dapat dikatakan khilaf. Namun Wida bersikukuh, itu adalah kekhilafannya yang sangat mutlak!
“Sabar, Wid. Pantat Sukir belum nempel di kursi. Kaki masih gemeter sepanjang perjalanan berdiri di KRL,” Riri membela Sukir.
“Urusan perut nggak bisa sabar,” Wida memang paling tidak bisa menahan rasa lapar.
“Bubur pesenan gue mana?” dan Riri pun ikut menagih pesanannya. Awalnya Sukir ingin memuji dan memberikan reward atas pembelaannya, tapi urung dilakukan.
“Elu juga lapar kan? Pake suruh sabar, elo sendiri nagih,” Wida merepet. Terjadilah pemandangan yang biasa di pagi hari. Duo Makrempz, Sukir menyebut mereka seperti itu, saling melontarkan pembelaan.
“Ah bodo,” pembelaan terakhir Riri yang menjadi kalimat pamungkas.
“Ini, Mbak,” Sukir menyerahkan lontong sayur pesanan Wida.
“Ma’aciiiih,” Wida girang.
“Punya gue?!” Riri tak sabar juga.
“Santai keles,” gantian Wida membela Sukir.
“Bodo!!” Riri secepat kilat menyambar plastik berisi bubur ayam dari tangan Sukir.
“Elo beli sarapan apa?” Wida mengintip ke kubikel Sukir.
“Gorengan,” Sukir  memamerkan bekal pagi ini.
“Wah, mau dong, Kir. Tukeran!” Wida memang paling semangat untuk gorengan, terutama bakwan.
“Eh! Nggak ada ya transaksi barter sarapan pagi ini! Apalagi gorengan!” Riri adalah polisi makanan untuk Wida. Ia sering menjadi alarm untuk Wida yang sering khilaf pada makanan. Terutama gorengan, yang sudah harus dikurangi dan bahkan dihindari sementara waktu, atau mungkin kalau bisa selamanya.
“Sukir ikhlas kok, Ri,” Wida paling bisa kalau merajuk. Tingkahnya dibuat seperti anak kecil memelas minta sesuatu. Kali ini dengan ekspresi penuh harap dan mata berbinar.
“Nggak ada gorengan hari ini!” Riri dengan tegas.
“Yaaah, Ririiii…” Wida semakin merajuk dan memelas.
“Kir, mendingan lo bawa itu gorengan ke pantry! Lo makan di sana atau gue buang,” Riri memang tanpa ampun kalau hal seperti ini.
“Yah, jangan dibuang dong. Ini camilan terenak di Indonesia. Bala-bala. Ugh..mantap,” Sukir mempertahankan camilan paginya dengan melahap satu bakwan penuh kenikmatan, yang semakin memperkeruh suasana. Wida semakin ngiler dan kencang merajuk.
“Kir, nih gue bayar lontong sayur,” Wida merapat ke Sukir, sejurus kemudian berbisik.
“Sisain bakwan satu buat gue yak,”
“Gue dengar ya, Wid,” Riri tanpa menoleh ke mereka.
Wida hanya tersenyum kecut, kecintaannya kepada gorengan, terutama bakwan, harus bertepuk sebelah bakwan. Tak hanya sebelah, tetapi full.
Sukir tertawa lepas dan secepat kilat disambut timpukan kerupuk dari Wida tepat ke mulut Sukir. Hole in one! Gantian Wida yang tertawa penuh kemenangan.
Pintu ruangan terbuka dengan kasar, mereka paham siapa yang datang, yaitu Agnes, lengkapnya Agnesia Loviana. Ia menjadi anggota ghibah Leker paling muda dan paling terakhir bergabung dengan Bank Sarap. Saat ini ia memasuki tahun ke dua sebagai bankir. Agnes adalah fresh graduated ketika melamar di Bank Sarap. Lulus kuliah langsung dapat kesempatan joint di Bank Sarap. Menganggur hanya ia rasakan selama dua minggu pasca wisuda. Dalam setiap grup atau kelompok, selalu ada yang sedikit lambat dalam merespon sesuatu. Agnes adalah salah satu contoh di grup mereka.
“Pagi semua,” Agnes dengan ceria memberi sapa pada tiga rekannya.
“Pagi,” mereka bertiga bersahut-sahutan.
“Sarapan, Nes,” tawar Riri.
“Saya baru sampai, Mbak. Bagaimana caranya jalan ke kantor sambil sarapan?”
“Menawarkan, Nes. Menawarkan,” Sukir berusaha menetralisir agar tak ada yang terpancing atas jawaban Agnes.
“Oh…buat saya?” Agnes mengangguk-angguk, lalu semangat mendekati Riri.
“Nes?!” tatapan Riri kini berubah, agak menajam.
“Oh…oke, Mbak. Lanjutkan,” Agnes mundur perlahan mencari aman.

**********

Sukir Bankir Getir! (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang