Pagi, Sukir dan Okta sudah berada di dalam kereta Malioboro Ekspres menuju Yogyakarta, tujuan dan perjalanan dinas mereka berikutnya dalam hal merampungkan proyek Roro Jonggrang. Sukir tak mengeluhkan perjalanan ini. Ia malah menikmatinya. Hanya saja, beban di pundak terasa berat karena debitur kali ini adalah relasi dari Direktur Utama, sehingga harus zero mistake dan serba cepat. Bisa saja siang ini ia ditelepon Madam dan Davina untuk menyelesaikan besok segala urusan jaminan di bank sebelumnya.
Okta sudah tenggelam bersama musik yang berdentum melalui earphone yang melekat di kedua telinganya. Pandangannya mengedar ke luar jendela, menikmati perjalanan pagi meninggalkan Malang.
Wida : [Kir, titipan gue udah dibeliin, kan? Dari kemaren chat gue nggak direspon sama sekali.]
Riri : [Lo telat, jadi udah close order.]
Wida : [Lo kira Sukir lagi open PO?]
Sukir : [Aman, Mbak. Tenang aja. Tapi ada upetinya, ya?]
Wida : [Jaman kolonial banget, sih, pake upeti segala!]
Riri : [Usia menyesuaikan bahasa, Wid.]
Sukir : [Terooos ….]
Riri : [Kir, Jogja, Kir.]
Sukir : [Iya. Terus, kenapa?]
Riri : [Sok kalem, lo!]
Wida : [Karin. Udah langsung aja kenapa, sih, Ri!]
Riri : [Ah, lo! Kan, kode.]
Sukir : [Udah, ya, Mbak-Mbak. Nggak usah bahas dia.]
Riri : [Eh, apa karena lo lagi sama Okta?]
Sukir : [Mulai deh jiwa bareskrimnya.]
Riri : [Habisnya, lo kayak adem ayem aja perdin bareng Okta. Jangan-jangan cinlok, ya?]
Sukir : [Tidur aaaah ... zzzz ....]
Riri : [Kir! Heh! Jangan kabur dulu lo!]
Wida : [Siapa yang kabur, Ri? Dia mau tidur.]
Riri : [Tau, ah!]
Agnes : [Eh ... eh ... eh ... aku ketinggalan. Ikutan dong.]
Wida : [Lo kaya polisi India, Nes. Telat melulu!]
***Jogja, 23.35 WIB
"Jogja lagi, di waktu yang nggak berjauhan. Benar yang disinggung Mbak Riri. Kok, bisa-bisanya gue nggak menyadari kalau kota yang gue kunjungi ini pernah menaruh luka? Dua luka."
"Apa karena dengan Okta? Aneh aja, sih. Sewaktu dengan Karin, gue setengah mati berusaha menghindari kota ini. Berbagai macam alasan gue sampaikan, hingga akhirnya gue jujur juga sama dia. Walau akhirnya nggak ada artinya juga kejujuran gue. Dia nggak jadi milik gue."
"Perjalanan dinas yang cukup aneh. Bisa-bisanya ngajak jalan pacar orang ke beberapa tempat wisata. Nggak mikirin gimana kalau pacarnya tau. Atau memang pacarnya percaya pada Okta. Entahlah."
"Apa gue terlalu berlebihan? Atau sok asyik dan berlagak supel? Ah, nggak tau deh."
Sukir berdialog dengan dirinya sendiri. Keanehan-keanehan ini pantas ia pertanyakan pada diri sendiri.***
Waktunya Tiba
"Suk, kamu hari ini cek jaminan dengan Okta. Bisa jadi, akad dilaksanakan sore ini juga. Jadi, Kamu stay dulu di Jogja sampai Rabu sesuai jadwal. Okta biar pulang duluan aja ke Jakarta malam ini. Nanti biar saya yang telepon Okta." Suara Davina di ujung telepon, menjelaskan panjang lebar. Sukir masih di kamar hotel, sedang bersiap-siap mau berangkat ke kantor cabang.
“Oke, Mbak.”
"Oh iya, saya belum kasih tahu. Kamu nanti cek intipnya di Bank Bahana. Minta tolong BM temani ke sana.
“Siap.” jawaban template dari Sukir.
"Sudah, ya. Nanti berkabar kalau ada prrkembangan atau info apa aja. Kerja, Suk. Bukan menemui mantan gebetan." Davina mengakhiri telepon sambil menyelipkan sindiran.
Telepon berakhir, dan sejenak seperti ada yang aneh dengan nama bank tersebut. Apalagi kata-kata terakhir Davina tadi. Bank Bahana?Okta : [Mas, kita nanti jam 9 ke Bahana cek jaminan sambil nanti follow up ke notaris untuk hasil pengecekan sertipikat, ya.]
Sukir : [Oke.]Sukir membongkar memori dan tersadar. Waktu yang tak tepat. Ada kemungkinan ia bisa bertemu dengan Karin.
"Tapi, kenapa juga dipusingkan? Kan, memang nggak ada apa-apa juga. Udah nggak ada urusan lagi dengannya." Sukir berkaca. Batinnya bermonolog.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sukir Bankir Getir! (Tamat)
Ficción GeneralKisah karyawan Bank bernama Surendra Kiran, atau biasa dipanggil Sukir, yang selalu saja menghadapi kenyataan yang getir, mulai dari karir, percintaan, hingga rumah tangga. Sudah dua tahun ia menduda dan mulai coba membuka hatinya kepada orang baru...