Selama dua minggu sebelumnya, Sukir merutinkan diri berpapasan dengan Karin. Berpapasan tapi tidak bertabrakan, hanya saling lempar pandang ketika tubuh berhadapan, kemudian bergeser ke kiri atau ke kanan untuk memberi jalan agar bisa lewat. Dalam dua minggu tersebut, dari yang pertama kali hanya acuh, hari ke tiga saling memandang, hari ke lima, mulai kagok ketika berpapasan, hingga di hari ke sepuluh, mulai saling melempar senyum. Dan hingga kemarin hari ke 14, perkenalan bukan di tikungan Menara Pandawa, melainkan di lantai tujuh, di kantor dia, si pemilik nama lengkap Karin Rahmania Arimbi.
Pagi, di Jumat yang cerah, Sukir berusaha mendahului waktu yang biasanya di tikungan menara Pandawa, lima menit lebih awal tiba di tikungan, bersembunyi sambil memperhatikan jam. Menghitung mundur hingga pada waktu yang tepat, seperti biasanya Karin melintas di lokasi itu. Waktu sudah tepat, Sukir pun muncul di tikungan dengan suara yang mengejutkan.
"HAIII!!!" Sukir dengan mengejutkan dan memasang wajah yang paling bukan dia banget, berusaha terlihat seceria dan semenarik mungkin. Bukan cara yang normal untuk memberanikan diri bisa memulai semuanya.
Seorang wanita melompat terkejut. Bukan wanita yang biasa ia temui, melainkan wanita paruh baya dengan kacamata bundar dan sanggul yang dengan indahnya tergantung di belakang kepala. Dengan benda seadanya yang beliau pegang, segesit mungkin memukul Sukir yang tak jelas mengagetkannya. Payung adalah senjata yang saat ini dalam genggaman beliau.
"Anak kurang ajar! Orang tua dikagetin. Untung saya bukan ibu-ibu latah yang ngomong jorok!" amuknya sambil terus mengayunkan payung ke pinggang Sukir. Serangannya tak menyakitkan, tapi cukup mempermalukan Sukir dari pandangan orang-orang di sekitar.
"Ampun Bu," Sukir berusaha menahan serangan si Ibu dan terbesit keheranan mengapa terlintas di pikiran beliau mengatakan kalau bukan ibu-ibu latah yang ngomong jorok?
Wanita yang menjadi target Sukir ternyata baru muncul tepat di belakang si ibu penyerang itu. Segeda dengan tergesa-gesa dia menarik pelan dan menenangkan si ibu, menjauhkan dari Sukir.
"Ibu, sudah ibu..."
"Anak kurang ajar! Orang tua dikagetin! Kenal juga tidak!" si ibu masih sewot pada Sukir. Kebanyakan orang seperti itu, aksinya sudah berakhir, namun reaksinya masih berlangsung sampai titik bensin penghabisan.
"Maaf bu, saya kira tadi pacar saya yang muncul," Sukir masih menggunakan tangan untuk menahan serangan walau si Ibu sudah tak melayangkan kibasan payungnya. Ini sebagai bentuk antisipasinya apabila beliau melakukan counter attack atau secara tiba-tiba.
"Pacar kamu ibu-ibu juga seperti saya?!" si Ibu terbelalak. Sukir hanya bisa memandang nanar perkataan si ibu.
"Nggak bu. Pacar saya muda dan cantik. Itu," Sukir secara asal menunjuk wanita yang sedang menenangkan beliau.
"Seperti gadis ini?" sinis si Ibu dengan sedikit ragu. Sebegitu tak meyakinkannya si Ibu pada Sukir,.
Si cewek, yang ditunjuk Sukir, malah heran dan melotot. Tatapannya mengintimidasi seolah berkata 'apa maksud lo?'
Sukir berusaha keras memasang wajah penuh melas dan semenyedihkan mungkin. Seolah-olah ia menjawab tatapan si wanita itu 'tolonglah saya dari amukan ibu tua ini.'
"Oh, jadi kamu bilang saya tua dan jelek, gitu?!" si Ibu semakin menjadi dengan amukannya.
"Saya nggak bilang begitu, Bu,"
"Maafkan dia ya Bu. Dia stres kalau belum sarapan," si wanita mencoba menenangkan si Ibu. Sukir terejut dan mendelik mendengar kata-kata dia.
'Nggak usah protes. Mau aman, nggak?' si wanita berbicara tanpa suara, memberikan kode pada Sukir untuk tidak membantah.
"Sudah, kamu urus lelaki itu. Gila kok milih-milih waktu. Pagi-pagi dan belum sarapan, lagi!" si Ibu berbenah diri memastikan baik-baik saja lalu pergi.
"Sorry..." kata pertama yang Sukir ucapkan kepadanya selepas si Ibu pergi.
"Udah bisa ngaku-ngaku pacar ya?" sindir Karin.
"Ya maaf,"
"Jangan-jangan setiap orang lewat diakuin pacar?"
"Demi menyelamatkan diri,"
"Diri situ, bukan saya,"
"Oke. saya minta maaf. Saya traktir sarapan deh sebagai permintaan maaf," Sukir tidak bisa melakukan perlawanan. Biarlah serangan ini ia telan mentah-mentah.
"Hanya dihargai sarapan?"
"Maunya apa dong? Sekalian makan siang dan makan malam juga? Kalo itu sanggup. Tapi kalo beliin yang lain, saya lebih baik lambaikan tangan ke kamera," jargon dari acara uji nyali.
"Haha..Becanda. Tapi kalo sarapan nggak bercanda. Kebetulan lagi lapar," Karin mengusap-usap perutnya.
"Wah, nggak jaim ya? Langsung terima tawaran,"
"Jaim nggak dapat apa-apa. Malah lapar,"
Mereka tertawa. Baru saja kemarin mereka berkenalan, kini sudah bisa berbagi tawa. Ada perbedaan ketika Karin memakai seragam dengan Karin yang masih mengenakan pakaian biasa. Seperti ada batasan yang dibuat ketika mengenakan seragam.
Setelah perdebatan sengit dalam menentukan menu sarapan, akhirnya bubur ayam menjadi menu sarapan kami yang sebenarnya bukan pilihan mereka. Dipilih secara adil. Ya, karena Sukir mengusulkan lontong sayur, sementara Karin mengusulkan Bubur kacang ijo. Saat tiba di TKP, kedua pedagang tersebut tidak berjualan. Mi ayam dan nasi kuning diserbu banyak orang, bubur ayam hanya ada 2 orang mengantri. Akhirnya pilihan jatuh pada bubur ayam.
Sukir tak menyangka bisa duduk berdua menikmati sarapan secepat ini. Dengan Karin, semua di luar ekspektasi. Kemarin berkata pada Wida kalau ia belum siap, kini malah sudah seperti teman yang setiap hari bertemu. Obrolan santai sesuai arahan dari Riri dan Wida agar jauh dari topik perbankan rasanya sulit karena untuk memulai tukar kata dan bicara, harus saling bercerita tentang riawat hidup pekerjaan di kantor masing-masing. Sukir menceritakan perjalanan beberapa tahun di Bank Sarap hingga terjebak dalam satu departemen dengan dua Makrempz, satu ABG labil, dan satu senior yang memiliki hobi mencari kesalahan dari keempat teman dalam satu timnya.
Sukir pun mendapatkan cerita singkat mengenai karir dari Karin di Bank Bahana. Mengawali karir sejak tiga tahun yang lalu sebagai Teller di Barat kota Jakarta, hingga beberapa kali harus terlempar ke beberapa cabang dan kantor kas di zona Jakarta Barat tersebut, akhirnya ia mendapatkan kesempatan untuk menetap di Kantor Cabang wilayah Sudirman, Jakarta Selatan. Di sana ia hanya tiga bulan menjabat sebagai teller, kemudian ia mendapatkan promosi dari Kepala Bagian Operasional untuk dijadikan Head Teller. Setengah tahun menjabat Head Teller kembali ia mendapatkan rolling untuk ke beberapa cabang dan kantor kas. Setelah itu kembali lagi ke Menara Pandawa untuk menjadi Supervisor. Bulan ini ia mendapatkan promosi untuk menjadi Kepala bagian Operasional, namun masih tertunda karena belum ada slot yang kosong untuk posisi Kepala Bagian Operasional di cabang. Berharap ada mutasi dan rolling dari beberapa Kepala Bagian Operasional agar Karin mendapatkan kesempatannya tersebut.
Yang Sukir dapati dari obrolan dan cerita singkat pagi ini, Karin berbeda saat di dalam kantor dengan saat di luar kantor seperti ini. Tapi ia belum berani untuk menanyakan hal-hal yang mengarah ke pribadi. Nanti akan ada waktunya.
"Makasih ya traktiran sarapannya. Lain kali kalo lagi dimarahi ibu-ibu, kasih tau ya? Biar saya pisahin dan mas nya bisa traktir saya lagi,"
"Sama-sama. Kalo begitu minta nomor HP nya, biar bisa telepon kalau saya lagi dimarahi Ibu-ibu," Sukir buru-buru mengeluarkan ponsel, bersiap mencatat nomor telepon Karin.
"Bisa aja basa-basi minta nomor HP nya,"
"Boleh, nggak?"
Tanpa mengiyakan, dia merebut ponsel Sukir, dan memencet berbagai angka-angka pada layar. Setelah selesai, ia kembalikan.
"Nih,"
Ini benar-benar mengejutkan Sukir. Betapa mudahnya ia mendapatkan nomor Karin, yang awalnya ia pikir akan sulit.
"Berarti, nggak perlu tunggu saya ribut dengan Ibu-ibu lagi dong? Saya sudah punya nomor Mbak nya, jadi bisa hubungi Mbak nya kapan saja untuk ajak makan lagi,"
"Owh...kalo itu saya nggak mau."
"Ah..." Sukir tersadar, mungkin ini terlalu cepat.
"Sesuatu yang tidak disengaja lebih menarik dan berkesan. Saya lebih suka itu," ujarnya, pelan tapi mantap.
"Udah yuk. Saya di frontliner, dandan harus satu jam sebelumnya," Karin mengajak untuk segera menuju Menara Pandawa.
"Aneh ah kalau pakai saya, Mas nya, Mbak nya. Rasanya gimana gitu. Pake elo gue aja gimana? Atau aku kamu?" usul gue sambil beranjak menuju menara Pandawa.
"Aneh ya? Mmm...iya juga sih. Kalo aku kamu, terlalu intim ah. Elo gue aja ya? Biar kayak udah kenal lama," usul Karin yang langsung di-iya-kan Sukir. Menyusuri trotoar dan menapaki lobi Menara Pandawa, mereka berjalan beriringan, namun tidak ada kata yang terucap lagi. Mereka terlalu kenyang untuk menu sarpan hari ini.************
KAMU SEDANG MEMBACA
Sukir Bankir Getir! (Tamat)
General FictionKisah karyawan Bank bernama Surendra Kiran, atau biasa dipanggil Sukir, yang selalu saja menghadapi kenyataan yang getir, mulai dari karir, percintaan, hingga rumah tangga. Sudah dua tahun ia menduda dan mulai coba membuka hatinya kepada orang baru...