Kalah

24 4 0
                                    

"Satu hari nggak ada Okta, gimana rasanya, Kir?" Riri sedang menyindir Sukir, yang sedari tadi seperti malas untuk menyelesaikan pekerjaannya. Biasanya ia gesit dan tak bisa diganggu kalau sudah fokus.
"Biasa aja, Mbak. Kan, saya udah biasa kerjain apa-apa sendiri."
"Bohong."
"Lah, apa untungnya saya bohong?"

Okta : [Mas, pulang jam berapa?]

Chat masuk di ponsel Sukir. Ia tak menyangka, orang yang sedang dibicarakan Riri, malah muncul walau bukan wujud fisiknya.

Sukir : [Jam 7.]
Okta : [Aku tunggu di M Block, ya. Nanti aku shareloc.]
Sukir : [Ada apa, Ta?]
Okta : [Nanti aja, Mas, aku ceritanya.]

Sukir bingung, kenapa tiba-tiba Okta mengajaknya ketemuan di luar kantor? Padahal, Okta bisa saja mampir ke ruangannya. Hanya beda lantai dengan Training Center.

"Hai." Sukir menyapa, ketika ia sudha mendapati Okta dusuk di kurai menghadap ke luar. Okta duduk di rooftop di lantai dua, yang menghadap ke jalan.
"Hai, Mas. Udah pesan?" Okta berdiri mebyambut Sukir.
"Udah."
Mereka bersamaan duduk dan bersebelahan, mengambil posisi menghadap ke jalan, membuat mereka tak saling menatap.
"Gimana kabar, Mas?"
"Basa-basi banget, Ta. Baru satu hari bebas dari Legal Kredit."
"Maaf, Mas." Okta tertawa, polanya terbaca.
"Ada apa, Ta? Tiba-tiba ngajak ketemuan di luar?"
"Mas, aku boleh minta pendapat, nggak, ke Mas?"
"Tentang?"
"Pernikahan."
"Kamu nggak salah, Ta? Minta pendapat tentang pernikahan sama orang yang pernah gagal." Sukir agak heran.
"Justru itu, Mas. Aku ingin belajar dari kegagalan Mas, supaya aku juga bisa menghadapi dan mengatasi permasalahan dalam pernikahan."
Pesanan Sukir diantar. Beef Burger dan soft drink sebagai menu makan malam.
"Hhmm ... ya, benar juga. Tapi, bukankah baiknya belajar dengan yang berhasil dan bahagia dalam pernikahan? Contohnya Mbak Riri atau Mbak Wida."
"Tapi aku lebih nyaman sharing dengan Mas."
"Oh, oke. Tapi sambil makan, nggak apa-apa, ya?"
"Nggak apa-apa, Mas. Aku juga lapar. Makannya tadi tunggu Mas, biar barengan." Di hadapan Okta memang sudah tersaji spaghetti bolognese keju dan juga segelas orange juice.
Sambil menyantap makan malam, Okta mulai bercerita mengenai rencana pacarnya yang akan melamar. Kemarin, usai hari terakhir di Legal Kredit, Yusa, pacar Okta, mengajaknya berdiskusi untuk melanjutkan hubungan mereka ke arah yang lebih serius. Hubungan mereka yang sudah berjalan tiga tahun, harus ada kejelasan.
"Okta sendiri, gimana? Udah siap?"
"Aku nggak tau, Mas."
"Loh, kenapa?"
"Perasaanku ke Yusa aja nggak tau, Mas."
"Heh, gimana? Udah tiga tahun pacaran tapi nggak tau perasaan sendiri? Lalu, kenapa pacaran?" Sukir bingung mendengar jawaban Okta. Mulutnya masih mengunyah potongan beef burger.
"Aku ... aku hanya ingin ada orang yang bisa dijadikan teman ngobrol, cerita, dan nggak buat aku kesepian, Mas."
"Kalo kayak gitu, ya dibanyakin temen, Ta."
"Aku nggak punya banyak temen, Mas. Yang dekat juga bisa dihitung. Tapi aku nggak gampang terbuka juga kepada orang lain. Termasuk dengan dia."
"Tapi, ini Okta bisa cerita dan terbuka sama saya."
Okta bingung menanggapinya. Ia terjebak oleh pernyataannya sendiri.
'Seharusnya, kan, selama tiga tahun itu, Okta bisa tahu perasaan sendiri."
"Nggak tau, Mas. Aku aja masih nggak ngerti, bagaimana mendefinisikan cinta itu seperti apa."
"Aneh."
"Ya, aneh memang, Mas. Tapi, aku merasa seperti itu."
"Lalu, Okta jawab apa saat Yusa berencana melamar?"
"Aku jawab, ya udah, nggak apa-apa."
"Ta, kamu sendiri belum yakin, kenapa jawab begitu?"
"Kedua orang tuaku juga ingin secepatnya aku menikah."
"Ta, menikah itu karena keinginan sendiri, bukan orang lain atau paksaan. Kalau kamu belum siap, jangan dipaksakan."
"Aku nggak bisa melawan situasi ini, Mas."
"Ta, kamu berhak atas kebahagiaan dan pilihanmu sendiri."
Okta terdiam. Ia belum bisa memerdekakan dirinya sendiri. Walau ada beberapa hal ia dapat menentukan sendiri.
"Okta sayang sama Yusa?"
"Nggak tau, Mas."
"Dia tau perasaan Okta seperti apa?"
"Tau."
"Lalu?"
"Dia bilang, berjalan aja, suatu hari nanti aku bisa merasakan yang namanya cinta."
"Itu akan berakhir seperti saya, Ta. Berpisah."
Okta tak menyangka dengan ucapan Sukir. Ia memainkan spaghetti dengan garpu di tangan kanannya.

Sukir Bankir Getir! (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang