Dia

29 3 0
                                    

"Udah kabari Karin?" tanya Riri.
Sukir geleng kepala.
"Kir."
"Iya, Mbak. Iyaaa ...." Sukir mengerti maskud Riri.
"Lo hubungi dia bukan karena gue suruh, tapi niat memperbaiki komunikasi kalian."
"Iya, Mbak. Saya paham. Memang harusnya saya memulai ini. Bukan menunggu Karin."
"Nah, itu pinter. Baru namanya laki-laki." Riri sedikit menyindir.
"Berarti, sebelum-sebelumnya, saya bukan laki-laki?"
"Sebelumnya, elo mahluk jadi-jadian." Seloroh Wida, ikut campur perbincangan Sukir dan Riri.

Sukir : [Hai...aku lagi di Jogja, nih. Ada gathering dari kantor.]
Karin : [Oke. Have fun, ya.]

Sukir agak terkejut dengan balasan Karin. Reaksinya biasa saja.
Lima belas menit berlalu, akhirnya ada chat susulan dari Karin.

Karin : [Acaranya ke mana aja?]
Sukir : [Pagi sarapan soto, lalu ke Prambanan]
Karin : [Owh. Ya udah. Take care, ya. Bye.]

Sukir berharap ada kalimat dari Karin yang mengajaknya bertemu. Tapi sepertinya tak ada bayangan terlintas sedikitpun dari Karin.

Stasiun Tugu, Yogyakarta, kedatangan rombongan karyawan bank Sarap. Satu per satu turun dari kereta Taksaka. Hari masih gelap, walau matahari sebentar lagi nampak.
Di luar stasiun, sudah terparkir tiga bus berukuran sedang, yang akan membawa rombongan berwisata selama dua hari.
Sukir akhirnya kembali menginjakkan kaki di Yogyakarta, setelah beberapa waktu lalu sempat singgah namun hanya sebentar dan tak sampai menyusuri kota gudeg tersebut. Ia memilih batal menemui Karin dan melanjutkan perjalanan ke Jakarta. Trauma itu masih membayangi. Detik ini pun, saat ia mulai menyusuri lorong keluar stasiun, jantungnya terus berpacu cepat. Rekan kerja lainnya justru merasakan senang bisa sampai di Yogyakarta. Sukir merasakan ketegangan dalam dirinya. Kilatan masa lalu muncul, namun ia berusaha untuk mengusirnya. Ia harus punya cara untuk mengatasi trauma. Walau tak berhasil sepenuhnya, setidaknya ia bisa melawan dan tak terlalu cemas dengan Yogyakarta. Sebenarnya, bukan Yogyakarta yang membuatnya tak nyaman, melainkan cerita masa lalunya di kota itu.

Malioboro, Pukul 18.30 WIB

Karin : [Tunggu di angkringan tenda biru, depan toko Roti Husnah.]

Pesan dari Karin siang tadi, cukup menenangkan hati Sukir. Penantiannya pada kabar dan kesempatan untuk bertemu akhirnya terwujud.
Sampai di penginapan pukul lima sore, Sukir segera membersihkan diri dan berganti pakaian yang lebih rapi. Selepas sholat maghrib, Sukir menuju ke tempat yang sudah ditentukan Karin. Jarak hotel dengan lokasi tak terlalu jauh, cukup dengan berjalan kaki saja. Sedari pukul sembilan Sukir sudah menunggu di angkringan yang dimaksud.

Segelas kopi hitam sudah dinikmati sepertiganya. Nasi kucing isi ikan tongkol sudah habis satu bungkus. Sukir masih sabar menanti kedatangan Karin.
"Hai." sapa Karin, menepuk pelan pundak Sukir. Pembawaannya cukup tenang di antara komunikasi mereka sebelumnya yang tak berjalan dengan baik.
"Hai." Sukir agak bingung bagaimana harus bersikap. Terpisah satu bulan dan komunikasi buruk membuat situasi m jadi canggung saat bertemu.
Di saat canggungya Sukir, Karin berinisiatif untuk memberi pelukan hangat, seperti sapaan terakhir yang ia berikan ketka berpisah di Jember.
"Gimana kabar kamu?" tanya Karin. Ia dan Sukir kemudian duduk bersebelahan.
"Pak, wedang jahe, ya." Karin memesan sebelum pertanyannya dijawab Sukir. Tangannya gesit memilah jajanan yang terhidang di depannya. Berbagai macam gorengan dan sate, serta di sisi kiri terdapat tumpukan bungkus nasi kucing dengan isi yang berbeda, yaitu ikan tongkol, mi, dan sambal orek tempe.
"Baik." Sukir menunggu Karin selesai mengambil jajanan, baru ia menjawab.
"Capek, hari ini?"
"Lumayan." Sukir mulai bisa tersenyum tenang. Kini ia tak lagi menutupi perasaan bahagianya.
"Aku ganggu waktu istirahatmu?"
"Nggak. Malah jadi seger. Ketemu kamu lagi."
"Basi banget, sih." Ejek Karin.
Bukan basi, tapi memang Sukir berbinar bertemu Karin. Wanita yang mampu menamparnya dengan kenyataan yang memang harus diterima dan segala hal yang tak pernah disadari sebelumnya. Sosok yang telah merebut kekecewaannya pasca hubungan rumah tangga yang buruk, lalu ia buang jauh.
"Maaf ya, baru bisa ketemu malam ini. Aku nggak mau ganggu acara kamu," lanjut Karin.
"Nggak apa-apa."
"Monggo, Mbak." Bapak pemilik angkringan menyerahkan segelas wedang jahe pesanan Karin.
"Terima kasih, Pak." Karin menerimanya dan meletakan di hadapannya.
Ada rindu yang tertahan dari masing-masing. Mereka menahan sekuat dan sebisa mungkin, karena mereka punya alasan sendiri untuk memendam itu.
"Jadi, udah nggak trauma lagi dengan Jogja?" Sebenarnya, agak ragu Karin menanyakan itu, namun ia ingin semua berjalan biasa saja.
"Mmm ... traumanya sudah mulai terkikis, walau masih ada. Tapi, luka itu masih terasa perih setiap ingat kejadian itu. Dan kota ini, tak lagi menjadi kota spesial lagi buatku. Malahan jadi kota yang selalu aku hindari."
"Tapi sekarang kamu berani dan bisa melawan traumamu. Mengesampingkan lukamu."
"Karena kamu." Kalimat singkat Sukir cukup mengejutkan Karin.
"Maaf ya, Kir, aku jadi tahu cerita masa lalumu tentang kota ini dan luka lamamu."
"Nggak apa-apa. Aku harusnya cerita sama kamu waktu itu, supaya nggak salah paham."
"Kamu bukannya misterius, tapi nggak jelas." Ada sedikit kekesalan yang tersisa pada Karin, pasca kejadian di Jember waktu itu.
Sukir hanya menghela nafas seraya kedua alisnya dinaikkan.
"Maaf juga ya, Kir, komunikasi kita kacau selepas itu."
"Nggak apa-apa. Aku yang salah. Harusnya aku yang memulai lebih dahulu komunikasi kita, walau jarak jauh. Aku malah memilih menunggu. Nggak seharusnya seperti itu."
"Kir ...." Ada yang ingin Karin utarakan, namun ia masih menimbang-nimbang, apakah malam ini waktu yang tepat untuk menceritakan.
"Ya, kenapa?"
"Nggak apa-apa." Karin memaksakan senyumnya, seolah tak ada apa-apa. Karin urung mengutarakan dan memilih menahan sementara waktu.
"Semenjak kita jauh, ada yang dekat dengan kamu?" tanya Karin.
"Pertanyaannya ...." sukir tak mengira Karin akan menanyakan itu.
"Dijawab aja. Nggak sulit, kan?" Karin dengan santai tanpa ada lenekanan sedikitpun.
"Nggak ada. Kamu tahu sendiri, aku susah dekat dengan orang. Apalagi urusan hati."
"Kalau memang lagi dekat dengan seseorang juga, nggak apa-apa."
"Aku udah jatuh hati sama kamu, dan kamu paham aku. Aku orang yang sulit jatuh hati."
"Ya, aku tahu itu."
"Lalu, kenapa kamu berkata seperti itu?"
"Nggak apa-apa, kok, Kir."
"Seburuk-buruknya komunikasi kita kemarin, pikiranku tetap ke kamu."
"Kir ...."
Sukir menunggu kelanjutan kalimat dari Karin.
"Jangan terlalu dalam, ya, perasaan kamu. Aku khawatir seperti hubunganmu sebelumnya dengan Namira." Pesan Karin, meminta dengan halus.
"Sambil jalan aja, yuk." Sukir mengajak Karin meninggalkan angkringan. Setelah membayar, ia dan Karin menyusuri Malioboro yang tetap saja ramai.
"Tiap malam minggu ke sini?"
"Nggak pernah. Baru malam ini. Dengan kamu," Karin berjalan beriringan dengan Sukir, melemparkan pandangan ke Sukir dengan senyum manis. Sukir tak menyahutinya. Hanya balasan senyum yang bisa ia tawarkan pada Karin.
"Mbak Riri, itu pacarnya Mas Sukir, ya?" Ada Okta, duduk salah satu kursi panjang. Ia dan Wida mengapit Riri.
"Kenapa?" tanya Riri.
"Nggak apa-apa. Nanya aja."
"Sini, aku kenalin." Riri tanpa aba-aba menarik Okta, beranjak dari duduknya menghampiri Sukir dan Karin.
"Karin!" panggil Riri.
"Eh ... hai Mbak Ririii." Karin melangkah cepat mendekati Riri, kemudian ia Bertegur sapa, cium pipi kiri dan kanan, lalu berpelukan.
"Apa kabar, Mbak?" tanya Karin.
"Baik. Kamu apa kabar, Cantik?" Riri kagum dengan penampilan Karin.
"Aku juga baik, Mbak. Loh, Mbak Wida nggak ikut?"
"Itu, lagi duduk." Tunjuk Riri ke kursi tempat ia tadi duduk. Wida, yang ditunjuk, melambaikan tangan. Karin balas melambai.
Okta menggunakan lututnya menyenggol pelan Riri, memberi kode.
"Oh iya, Karin, kenalin ini Okta." Riri mengingat sesuatu, lalu memperkenalkan pada Karin.
"Karin."
"Okta."
Sukir hanya sesekali memandang Okta dan Karin bergantian, diakhiri dengan pandangan penuh tanya kepada Riri. Riri malah cuek dan membuang muka.
Mereka bertiga berjalan mendekati Wida.
"Wah, sudah mulai besar perutnya, Mbak?" Karin mengelus lembut perut Wida.
"Iya, perkiraan bulan depan," ujar Wida.
"Semoga dilancarkan, ya, Mbak." Karin turut bahagia, dan doanya diamini oleh Wida dan lainnya.
"Kalian mau ke mana?" tanya Riri.
"Nggak kemana-mana, Mbak. Hanya jalan-jalan sekitaran Malioboro aja. Mau ke mana lagi?" jawab Karin, menoleh pada Sukir.
"Iya, nanti malah kita diculik," seloroh Sukir.
"Karin yang diculik sama lo!" cibir Wida diikuti tawa dari Karin dan Riri
"Ya udah, kalian lanjut, deh. Gue mau balik ke hotel," ujar Wida.
"Ri, ayo balik. Nanti acaranya keburu mulai. Lumayan kalo dapat doorprize." Wida mengajak Riri kembali ke hotel.
"Ayo."
"Okta, kamu mau di sini, apa ikut ke hotel?" tanya Riri, mendapati Okta masih berdiri terdiam.
"Ikut." Okta lalu mengiyakan ajakan Riri.
Mereka berpisah. Sukir dan Karin tak beranjak. Mereka memilih suduk di salah satu kursi panjang yang masih kosong.
"Okta cantik, ya?" Karin masih memandangi tiga rekan kerja Sukir yang berjalan menjauh. Sebenarnya, ia fokus pada wanita yang berada di sebelah kiri dari ketiga orang itu, yaitu Okta.
"Pertanyaannya menjebak." Sukir agak hati-hati menjawab.
"Kamu, masih aja curiga sama pertanyaan-pertanyaan yang seharusnya dijawab simpel."
"Yah ...."
"Iya, aku tahu. Pengalaman burukmu." Tak perlu dijelaskan, Karin sudah mengerti.
"Kelihatannya Okta naksir kamu," celetuk Karin, tak terduga.
"Kar ...."
"Kenapa?" Karin beranjak dari kursi, berjalan pelan agak menjauh.
"Dia udah punya pacar." Sukir mengikutinya hingga berjalan beriringan.
"Memangnya kenapa kalo udah punya pacar? Nggak boleh suka sama orang lain? Lagian, jawaban kamu juga aneh. Aku cuma menerka. Kenapa malah jawabnya, dia udah punya pacar?"
"Ya, jelas. Udah punya pacar, nggak mungkin naksir orang lain juga. Apalagi sama aku."
"Kir, kalau kamu lagi dekat dengan seseorang atau ada yang mendekati, aku nggak apa-apa kok. Tapi ...." Karin menggantungkan perkataannya.
"Tapi apa?" Sukir penasaran sekaligus terkejut dengan ucapan Karin.
"Kamu cerita. Setidaknya, aku orang pertama yang tahu."
"Kamu sekarang bercandanya nggak asyik, ah."
"Aku nggak bercanda. Kamu udah pernah berumah tangga dan nggak berjalan mulus. Kamu terproteksi dengan masa lalu yang membuat sulit untuk berteman ataupun dekat dengan perempuan."
"Nggak, lah."
"Kir, jujur, aku pasti ada perasaan beda kalau kamu dekat dengan seseorang. Makanya, aku tadi bilang, kalau kamu merasa ada perasaan dengan seseorang, cerita sama aku."
"Setelah cerita, lalu kamu mau apa?"
"Aku mundur."
Sukir menghentikan langkahnya. Tak ada dalam benaknya pembicaraan seperti ini. Karin masih melangkah namun akhirnya berhenti. Ada jarak di antara mereka berdiri. Karin membalikkan badan.
"Kok, sekarang aku jadi sulit memahamimu, ya? Sejak terakhir ketemu."
"Kamu nggak perlu memaksakan diri mengerti aku."
"Hey, kita pernah dekat dan sekarang coba memperbaiki semuanya. Kamu masih saja menutup diri? Sementara aku sudah terbuka semuanya. Sampai dengan traumaku di kota ini."
"Aku nggak menutupi apa-apa. Aku hanya ingin beri kamu kebebasan. Semua kembali padamu," jelas Karin.
Sukir terdiam.
"Kita masih punya waktu untuk memilih yang terbaik, terutama kamu. Kamu nggak mau gagal untuk yang ke dua kalinya, kan?"
Sukir tak menjawab. Ia merasa tak perlu menjawab itu. Karin pun paham, pertanyaannya tak harus dijawab.
"Waktu itu aku bilang, kita jalani dulu. Nggak perlu ada status. Kita coba saling memahami dan mengerti. Apa kamu benar-benar menemukan sosok yang kamu inginkan di diriku? Atau sebaliknya, apakah kamu benar-benar orang yang tepat untukku?" Karin sambil mengaktifkan ponselnya dan memesan ojek online tanpa sepengetahuan Sukir.
"Berarti kamu ragu?"
"Bukan." Karin menghentikan langkahnya.
"Kamu sudah tahu perasaan aku, begitu juga sebaliknya. Tapi kamu masih punya waktu untuk memilih orang yang tepat," lanjut Karin.
Sukir tak bisa berkata apa-apa. Tak menyangka pertemuannya kali ini tak sesuai harapan.
"Ibu Karin?" sepeda motor matic dengan jaket dan helm berwarna hijau berhenti di dekat Karin.
"Benar Pak,"
Sukir terkejut. Ternyata Karin memilih pulang dengan memesan ojek online tanpa memberitahunya.
"Ojolku sudah datang. Kamu besok hati-hati pulangnya, ya? Maaf, aku nggak bisa antar ke bandara." Karin mengambil helm yang diulurkan oleh driver.
"Kamu hati-hati juga. Nanti kabari kalau sudah sampai kos." Ada perasaan kecewa Sukir. Pertemuan malam ini tak diisi dengan limpahan rindu, namun seperti peringatan agar jangan berespektasi tinggi.
"Pasti."
"Kamu Jangan cuek sama Okta," lanjut Karin.
Belum sempat Sukir menanyakan maksud Karin, motor sudah melaju meninggalkannya.
Apa maksud semua ini? Kenapa dia bisa berkata seperti itu? Apa mungkin ada yang mendekatinya? Atau mungkin dia menemukan seseorang yang benar-benar diinginkan? Masih banyak lagi pertanyaan di benak Sukir, yang membutuhkan jawaban dan kejelasan dari Karin.

Maaf aku berkata itu. Aku juga nggak mau kamu menyesal dan gagal kedua kalinya. Aku juga nggak mau gagal kedua kalinya di saat perasaanku berada setinggi-tingginya padamu. Aku takut jatuh ke dua kali. Jatuh karena keyakinanku yang berlebih. Cinta saja nggak cukup untuk menguatkan. Di lain tempat, di atas sepeda motor, Karin berusaha menahan tangisnya. Coba membendung perasaan yang sebenarnya ingin berontak dan membantah kalimat yang ia lontarkan tadi. Namun akal sehatnya berusaha mengimbangi, walau porsi perasaannya lebih besar daripada akal sehat.

***

Sukir Bankir Getir! (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang