"Bromo?" Okta masih bingung.
"Kita sudah di sini dan tiket pulang kita baru besok, Minggu. Eh, benar kan ya besok? Hari ini udah masuk Sabtu, kan?" Sukir masih bingung dengan pergeseran waktu di tengah malam untuk penyebutan hari.
"Iya, Minggu."
"Masih ada waktu untuk kita jalan-jalan."
Mobil bergerak ke luar kota Malang menuju Bromo, sesuai rencana Sukir.
"Okta tidur lagi aja. Nanti saya bangunin kalo udah sampai,"
"Perjalanannya berapa lama?"
"Sekitar tiga jam."
Okta mengangguk, kemudian membenamkan kepalanya di dalam scraft besar yang ia bawa, sebagai penghangat tubuh, selain jaket tebal.
Mobil dikendarai oleh Pak Bando, pria dengan usia kisaran lima puluh tahun namun masih gagah dalam mengendarai mobil. Tangannya pun gesit mengendalikan kemudi dan dapat mengatur kecepatan. Pembawaannya yang tenang dalam menyetir, sehingga membuat nyaman penumpang. Okta pun semakin dalam di lelapnya. Ia tak terganggu oleh mobil yang beberapa kali berbelok.
"Lagi bulan madu ya, Mas?" Pak Bando membuka permbicaraan. Ia hanya menoleh ke arah spion atas, yang memperlihatkan wajah Sukir.
"Bukan, Pak. Kami dari Jakarta, lagi tugas ke Malang." Sukir coba menyelamatkan situasi sambil melirik Okta. Kelopak matanya masih tertutup rapat. Aman.
"Berdua saja?"
"Iya, Pak."
"Hati-hati, bisa cinta lokasi nanti di Bromo, loh." Pak Bando memberikan peringatan dini, sebelum mereka sampai di lokasi. Peringatan beliau memang menjadi alarm juga untuk Sukir.
"Bapak bisa aja." Sukir berusaha menanggapi perkataan Pak Bando sebagai candaan.
"Loh, saya nggak becanda. Beberapa wisatawan yang saya bawa, ada yang cinlok. Awalnya datang ke sini hanya liburan, eh, pulangnya malah saling mengikat perasaan," cerita Pak Bando, yang disambut Sukir dengan tawa.
Sukir memilih tidur untuk menghindari topik pembicaraan itu, agar tidak semakin menjurus.
Bromo, 04.00 WIB.
"Ta, bangun." Sukir hanya memanggilnya pelan, masih agak sungkan untuk menyentuh atau mengguncang pelan pundaknya agar terbangun. Takut suasana menjadi akward seperti sebelumnya. Bersyukurlah, Okta tak sulit l dibangunkan. Tak perlu bersinggungan atau bersentuhan langsung, cukup dengan panggilan dan suara, Okta bisa bangun. Ia masih malas, Namun berusaha mengusir kantuknya.
"Kita pindah mobil." Sukir mengajak Okta keluar mobil.
"Mas, nanti naik mobil Jeep dengan Mas Wondo. Beliau yang akan memandu Mas dan Mbak di Bromo nanti. Kita ketemu lagi nanti di sini jam sembilan, ya." Pak Bando sambil memperkenalkan Wondo kepada mereka.
"Kalau mau buang air kecil atau sekadar cuci muka, silakan, Mas, Mbak. Sebelum kita berangkat." Wondo mempersilakan.
"Perjalanan ke atas berapa jam, Mas?" tanya Sukir.
"Sekitar empat puluh lima sampai enam puluh menit, Mas."
"Mas, aku ke toilet dulu, ya?" pamit Okta.
"Oh, monggo Mbak. Toiletnya ada di sebelah warung. Ada pintu kecil di sebelah kiri." Wondo mengarahkan.
"Oh iya, hati-hati, Mbak. Airnya di sini dingin sekali. Takut nanti kaget." Wondo mengingatkan.
***
Jeep hijau berisi 3 penumpang menembus kabut, meliuk-liuk di jalan menanjak dan kelokan yang tajam. Wondo seperti sudah hafal dengan jalur menuju puncak. Semua seperti sudah terekam di memori otaknya, tikungan curam, tikungan yang melebar, dan juga mengatur kecepatan mobil. Sukir memilih untuk tidak tidur, tetapi menikmati perjalanannya, walau di luar sana semua serba gelap. Cuaca menjelang subuh nampak bersahabat. Semoga bertahan hingga pagi nanti, agar bisa menikmati sunrise di bromo serta keindahannya. Sementara Okta kembali dalam lelapnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sukir Bankir Getir! (Tamat)
General FictionKisah karyawan Bank bernama Surendra Kiran, atau biasa dipanggil Sukir, yang selalu saja menghadapi kenyataan yang getir, mulai dari karir, percintaan, hingga rumah tangga. Sudah dua tahun ia menduda dan mulai coba membuka hatinya kepada orang baru...