Last Day

31 5 0
                                    

Agenda hari terakhir di Kota Gudeg adalah membeli oleh-oleh. Rombongan diantarkan ke pusat bapkia terkenal di Kota Pejalar tersebut. Beberapa karyawan Bank Sarap mencari dan memilih oleh-oleh yang akan dibeli untuk dibawa pulang. Ada juga yang hanya menunggu di bis.

Sukir : [Aku di Bakpia 25, habis ini langsung ke bandara]
Karin : [Aku mau ketemu kamu. Nanti aku info, ya, tempatnya.]

Sukir bingung mau balas apa. Ia pikir, semalam adalah pertemuannya yang terakhir dengan status menggantung dan tanpa kejelasan. Kini, Karin mengajaknya bertemu.
"Sukir! Apaan Sih?!" hardik Riri saat ia berjalan mundur pelan-pelan sambil melihat oleh-oleh yang dipajang.
"Lah, Mbak Riri yang nabrak saya, malah saya yang disalahin."
"Lo ngapain berdiri di tengah jalan. Orang pada lewat." Riri tetap tak mau disalahkan.
Ampun, deh."
"Lagian, lo ngapain sih? Bukannya beli oleh-oleh, malah bengong aja."
"Beli oleh-oleh buat siapa?"
"Ya beliin buat Karin. Sebelum pulang, kasihke dia."
"Ini, dia ngajak ketemuan." Sukir memperlihatkan chat Karin.
"Bagus, dong."
"Mau ngapain? Mau bikin semakin nggak jelas?"
"Kalian kenapa?"
"Nggak tahu, Mbak. Dia yang nggak jelas."
"Kok begitu?"
"Semenjak jarang komunikasi, malah semakin aneh hubungan kami. Kayak jadi biasa aja."
"Semalam nggak dibahas?"
"Belum. Saya malah ditinggal pulang sama dia."
"Sekarang dia ngajak ketemuan. Mungkin mau dibahas. Bisa aja, semalam niatnya mau cerita, tapi ketemu gue dan Wida, jadinya batal. Ada Okta juga, lagi."
"Tapi, itu kan cuma sebentar, Mbak. Nggak ganggu kami juga, kok."
"Mungkin mood dia lagi nggak baik. Ngertiin dia, lah."
"Semalam itu, dia aneh, Mbak."
"Apapun itu, sekarang temuin dia."
"Masalahnya, waktu yang dia minta itu nanti siang. Sementara siang ini kita udah harus on the way ke bandara."
"Kesempatan nggak datang dua kali, Kir."
"Lo balik naik kereta aja bareng Wida nanti sore. Wida, kan, pisah pulangnya." Riri memberikan saran di saat Sukir masih bingung.
"Nanti biar gue yang bilang ke Madam." Lanjut Riri.
"Nanti barang-barangnya Madam siapa yang bawain? Siapa yang bantuin?" Sukir sempat-sempatnya memikirkan itu. Sukir memang seperti personal assistant Bu Manda ketika di luar kantor. Baik itu berhubungan dengan pekerjaan maupun keperluan pribadi.
"Lo ngapain mikirin itu, sih? Pikirin diri lo, hubungan lo sama Karin. Madam, mah, tenang aja. Banyak anak-anak. Ada Okta juga."
"Eh, Mbak. Kok Okta di gathering ini lebih sering sama anak-anak divisi kita, ya? Semalam saya liat dia ngobrol sama anak-anak analis. Sebelumnya juga jalan sama Mbak Riri dan Mbak Wida, waktu ketemu saya sama Karin."
"Madam belum cerita?"
"Cerita apa?"
"Kasian, asisten pribadinya malah belum dikasih tahu."
"Apaan, sih, Mbak?"
"Okta itu anak MDP yang nanti belajar di tempat kita. Makanya dia gabung dan ngobrol sama kita biar gampang beradaptasi. Minggu depan udah joint, jadi nggak perlu adaptasi atau canggung lagi."
"Madam kenapa nggak cerita, ya?"
"Jangan-jangan, lo mulai tersingkirkan sama kakak, nih. Dua hari ini kan kakak nempel terus di samping Madam. Tapi kalo tugas porter, Madam tetap nggak lupa sama lo, kok." Riri sambil terkekeh.
"Ah, sial."
"Udah sana pergi. Jangan sampai Karin nunggu lama."
Sukir terdiam. Ia coba memikirkan, hal apa yang ingin dibicarakan Karin.
"Positive thinking aja." Pesan Riri, sebelum Sukir pergi.

***

Coffe Shop, Stasiun Tugu, Yogyakarta

Sukir akhirnya putuskan menemui Karin. Masalah kepulangan, ia menyerahkan pada Riri untuk menjelaskan ke Bu Manda. Karin meminta Sukir menemuinya di coffee shop dekat stasiun Tugu.

Karin : [Aku di sisi kiri, ya. Di outdoor]

Pesan Karin masuk ketika Sukir sudah tiba di depan coffee shop.

"Hai." Sukir berusaha menyapa dengan hangat. Hatinya menyambut bahagia, namun perbincangan semalam mengecilkan rasa itu. Di tangannya, es kopi susu yang sempat ia beli lebih dulu sebelum menemui Karin.
"Hai. Maaf ya, mendadak ajak ketemuan. Aku mau ngobrol sebentar sama kamu. Ada yang ingin kubicarakan mengenai obrolan semalam."
"Penting?"
"Penting banget. Terutama untukmu."
"Bukan untuk kita?"
"Kir... Aku minta maaf."
"Maaf, untuk?"
"Maaf, buat kamu kecewa."
"Kamu mau prank, ya? Semalam kamu memang ngerjain aku, kan? Oh, apa kamu juga mau ke Jakarta? Kamu udah selesai tugas di sini. Mau ajak pulang ke Jakarta sama-mama. Atau kamu mau ...."
"Aku balikan sama mantanku."
Semangat dan positive thinking yang Sukir pupuk tadi, harus hancur saat Karin dengan cepat memotong ocehannya. Kalimat yang memotong ucapannya itu bak petir menggelegar di kedua sisi telinganya.
Mereka sama-sama terdiam.
"Aku belum ceritakan semua ke kamu. Aku juga belum cerita gimana masa laluku." Karin memberanikan diri melanjutkan kata-katanya.
"Butuh keberanian lebih untuk menemuimu dan mengatakan sejujurnya."
"Apa yang kamu takutkan?"
"Melukaimu."
"Pada akhirnya terluka juga." Sukir bersikap datar. Perlahan hatinya tergerak untuk bersikap sinis. Mood yang dibangun dalam perjalanan menemui Karin, jatuh cukup dalam. Kejutan, yang ia pikir membahagiakan, malah sebaliknya.
"Singkat saja aku cerita. Aku pernah menjalin hubungan dengannya selama tiga tahun. Dua tahun lalu, ia pergi dengan alasan yang nggak jelas. Setiap kali aku hubungi dan menemuinya, ia selalu menghindar. Saat itu, ia adalah harapanku. Ia adalah orang yang menjadi sandaranku. Hingga akhirnya, aku hancur dan kesepian. Aku menyibukkan diri dengan pekerjaan dan menjadikan karir sebagai ambisiku dan energi yang harus aku salurkan dan buang." jelas Karin.
Sukir hanya menyimak, namun hatinya masih kacau. Pandangannya menatap lebih dalam bola mata Karin, berusaha menangkap lebih jelas apakah ceritanya benar dan jujur.
"Hingga aku bertemu denganmu beberapa bulan lalu, yang entah kenapa, bisa mengembalikan mood aku. Kamu bisa membuat aku merasakan sesuatu yang pernah hilang."
"Stop menceritakan pertemuan kita. Ceritain aja gimana kamu balikan?"
"Kami ketemu lagi ketika perjalanan aku dari Jember menuju Jogja. Dia naik dari Surabaya. Dan, entahlah, kebetulan banget dia duduk tepat di sebelahku. Awalnya kami sangat canggung. Itu pertemuan kami yang pertama sejak berpisah. Dia yang memulai percakapan hingga kami akhirnya bisa saling bertukar cerita. Dari pertemuan pertama itu, kami intens bertemu di Jogja. Dia sedang membuka cabang baru kedai kopi di Jogja, dan dia yang turun langsung."
"Beberapa minggu lalu aku diajak ke kedai kopi miliknya. Ia menceritakan bahwa ia merintis bisnis tersebut untuk bisa sukses dan siap untuk melamarku. Awalnya aku nggak percaya dengan perkataannnya saat itu, karena sebelumnya aku merasa ditinggalkan begitu saja, tiba-tiba ia datang dengan mengatakan seperti itu. Aku shock, butuh waktu untuk menyadarkan diri. Ia sabar menunggu."
"Dia cerita, semuanya disiapkan agar pantas melamar aku. Saat putuskan meninggalkanku, ia menyadari, belum jadi seseorang yang baik dan pantas untukku. Ia berusaha keras untuk memantaskan diri di dahapanku."
"Dan kamu menerima ajakannya?"
"Kir..."
"Jawab aja. Aku siap dengan semuanya."
"Aku belum bisa melupakannya, Kir."
"Ah..." Sukur memundurkan tubuhnya. Bersandar dari suasana hati yang semakin kacau.
"Kir... maaf, aku sering menyudutkanmu mengenai masa lalumu. Aku hanya ingin terlihat kuat dan nggak terjadi apa-apa sama aku. Nyatanya, aku selalu sedih setelah kita ngobrol atau berdebat tentang masa lalumu."
"Aku nggak sekuat kata-kataku sendiri. Aku bersembunyi dengan menyerangmu. Menyalahkan sikap atau keputusanmu. Padahal, aku juga melakukan itu. Aku hanya bisa mengingatkan orang lain, tapi taj bisa mengingatkan diri sendiri." Karin tak peduli jika Sukir bosan atau malas mendengar penjelasannya. Baginya, yang terpenting adalah menceritakan semuanya pada Sukir.
"Ini semua salahku, Kir. Aku membiarkanmu membangun mimpi. Sementara aku masih menjaga mimpiku di masa lalu."
"Bukan salahmu. Aku yang salah. Belum tahu masa lalumu, dan belum tahu urusan masa lalumu sudah selesai apa belum."
"Kir ...."

Sukir Bankir Getir! (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang