"Kir, ini kesempatanku. Aku juga ingin dekat dengan Bunda." Namira sambil membereskan beberapa barang yang masih berada di luar koper.
Sepulang kerja, Namira bukan beristirahat, namun sibuk menyiapkan pakaian dan memasukkan beberapa barang untuk ke dalam koper dan tas besar. Ia mendapat kesempatan mengisi posisi Supervisor di cabang Yogyakarta.
"Apa nggak bisa minggu depan aja?"
"Mereka minta aku lusa sudah bertugas di sana. Besok aku ke kantor sekalian bawa berkas-berkas dan surat tugas lalu berangkat."
"Berapa lama tugaskmu?"
"Tiga bulan." Namira tak menatap Sukir. Ia masih menata pakaian di koper, memastikan bisa masuk semua. Untuk beberapa yang tak dapat masuk, ia masukkan ke dalam tas jinjing berukuran besar.
Sukir tak bisa berkata apa-apa lagi. Usahanya menahan atau menunda keberangkatan Namira dijawab dengan alibi permintaan kantor. Namira sama sekali tak berusaha meminta waktu kepada atasannya agar diundur.Masalah terakhir belum dibicarakan baik-baik, tapi Namira sudah harus meninggalkan rumah demi tugas. Apa karena masalah kemarin, membuat ia memilih pergi dengan alasan tugas? Sukir sedikit menaruh curiga, karena ini mendadak. Atau, memang Namira sudah mempersiapkan sejak lama, menunggu momen, akhirnya ia punya alasan tepat keluar dari rumah? Senaif itukah? Pikiran jelek Sukir mulai bermain.
Kalau memang keberadaan Bapak dan Ibu di rumah membuat Namira tak nyaman, seharusnya dibicarakan baik-baik. Bukan dengan pilihan, siapa yang harus keluar dari rumah.
Sukir memilih menahan semua tanya. Ia tak ingin suasana menjadi tak nyaman."Maaf, ya." Namira selesai packing. Pandangannya mengedar, sekali lagi memastikan tak ada yang tertinggal.
"Kita beli cemilan untuk besok kamu di perjalanan." Sukir mengajak Namira keluar membeli makanan ringan.
"Kir, aku naik pesawat, bukan kereta. Perjalanan hanya satu jam." Kalimat Namira seperti penolakan. Kalimat itu juga mengingatkan pada Sukir bahwa perjalanan Namira bukan seperti dirinya, yang lebih sering memilih naik kereta api."Maaf, ya, aku putuskan ini, tanpa bertanya atau minta pendapatmu dulu."
"Nggak apa-apa. Gimanapun juga, aku harus mendukungmu maju dalam karir atau apapun yang terbaik untukmu."***
Sudah tiga bulan Namira berdinas di Yogyakarta, selama itu pula Sukir dan Namira belum bertemu lagi. Sukir disibukkan dengan program baru yang diluncurkan Bank Sarap dan diminta Madam membantunya mempersiapkan divisi baru, yaitu Mortgage. Tugas Sukir antara lain, mendampingi Madam di beberapa meeting dengan BOD dan juga merapikan draft SOP. Madam memang mendapat mandat khusus dari Direksi, mempersiapkan semua hingga perekrutan beberapa posisi penting di divisi itu. Walau begitu, tetap, keputusan ada di tangan para direksi dalam memilih orang yang tepat.
"Bu, maaf, apa saya sudah bisa cuti?" Sukir bertanya pada Madam saat kesibukannya mulai mereda.
"Kenapa, Kir?"
"Mau nengok istri."
"Oh, iya, istri kamu di Jogja, ya?"
"Iya, Bu."
"Maaf ya, Kir, saya malah menahan kamu sampai belum bertemu istri." Bu Manda menyadari, ia sangat membutuhkan bantuan dan kerja sama Sukir, hingga memintanya menunda cuti sementara waktu.
"Iya, nggak apa-apa, Bu. Kalau memang belum bisa, ya suda. Mungkin lain kesempatan saya cuti."
"Tenang, Kir. Kali ini kamu bisa ambil cuti. Tapi maaf, belum bisa block leave, ya."
"Nggak apa-apa, Bu. Setidaknya saya bisa cuti dan ketemu istri."
"Udah kangen banget, ya?"
Sukir hanya tertawa dan agak malu menjawabnya.Sukir akhirnya bisa cuti walau hanya diberi dua hari oleh Madam, ia ambil kesempatan itu mengunjungi Namira di Yogyakarta.
Sukir berangkat pada Jum'at malam, selepas kerja. Ia mengambil cuti di hari senin dan selasa dengan maksud menghindari Senin, yang ia anggap hari yang tak ingin dihadapi saat bekerja. I dont like Monday masih terpatri di benak Sukir.
Sukir berangkat menggunakan kereta malam tujuan Solo. Ia tak mampir ke Yogyakarta, melainkan langsung ke Solo, rumah mertuanya. Namira selalu pulang ke Solo di akhir pekan, karena jarak Yogyakarta dengan solo tak jauh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sukir Bankir Getir! (Tamat)
Fiction généraleKisah karyawan Bank bernama Surendra Kiran, atau biasa dipanggil Sukir, yang selalu saja menghadapi kenyataan yang getir, mulai dari karir, percintaan, hingga rumah tangga. Sudah dua tahun ia menduda dan mulai coba membuka hatinya kepada orang baru...