Semarang
"Kita makan malam apa?" pertanyaan pertama Karin setelah mereka berhasil menapakkan kaki di stasiun Semarang Tawang.
"Kamu masih lapar? Sate kambing masih kurang?"
"Tadi satu porsi kita makan berdua, dan pembagiannya pun nggak merata, tujuh berbanding tiga. Nggak merasa makan banyak, ya?" sindir Karin. Ya, memang pembagian sate kambing yang mereka beli di Tegal tadi tidak merata, tapi cukup adil. Tidak merata karena Sukir kedapatan tujuh tusuk sementara Karin tiga tusuk. Adil, karena saat menyantapnya, Karin sudah berkata cukup saat menyantap tusukan ke tiga. Sehingga, Sukir menyantap yang tersisa.
"Masa, sih? Sepertinya, hanya menyantap lima tusuk."
"Khilaf, ya?"
"Ampun, Non. Tadi kamu yang bilang sudah cukup. Jadinya aku habiskan aja."
"Iya nggak apa-apa, kok. Tapi sekarang kamu harus tanggungjawab. Aku lapar. Ajak aku makan malam."
"Cie ... minta diajak dinner," ganti Sukir yang mengejek Karin.
"Kamu, ya." Karin menggelengkan kepala.
"Iya ... iya ... ayuk. Masih kuat jalan kaki, nggak?" ajak Sukir. Mereka menyusuri trotoar depan stasiun. Beberapa tukang ojek, becak, dan taksi menawarkan jasa. Sukir hanya menggeleng ramah sambil melambaikan tangan.
"Kita ke mana?"
"Arah Kota Lama. Itu, di depan." Sukir menunjuk ke depan, yang memang sudah terlihat dan cukup ramai.
"Jauh?" Karin menghentikan langkahnya. Sepertinya ia cukup lelah untuk hari ini.
Sukir yang jalan di depan Karin, menghentikan langkah. Ia menyadari, Karin berhenti saat mengucapkan kalimat itu.
"Ayuk, kita naik becak," setelah berpikir sejenak, Sukir mengerti, ia tak bisa samakan tenaganya dengan Karin. Mungkin sudah cukup lelah hari ini.
Mereka akhirnya naik becak menuju tepian Kota Lama. Di sana ada nasi goreng babat yang cukup terkenal. Sukir belum pernah mencicipi. Ia hanya diinformasikan teman dari kantor cabang Semarang kalau nasi goreng di sana terkenal dan enak.
"Kamu tadi takut aku marah, ya?" Karin membuka perbincangan dalam perjalanan di dalam becak. Ia merasa, sepertinya Sukir jadi canggung atas sikapnya tadi. Tapi, ia juga tak bisa memaksakan diri untuk terus berjalan.
Karin paham, Sukir memiliki pengalaman tak enak dengan Namira. Karin ingat, Sukir pernah bercerita, Namira tak ingin jalan kaki kalau ada moda transportasi yang dapat memudahkan perjalanan mereka. Sekalipun jarak dekat.
"Ah, aku baru ingat itu. Seharusnya aku tadi langsung mengatakan saja bahwa aku capek dan ingin naik becak atau ojek." Karin membatin.
Sukir hanya menoleh sebentar, kemudian ia menggeleng.
"Aku paham, ia berusaha untuk menutupi rasa kesalnya. Kesal karena sebenarnya ia hanya ingin jalan kaki sebentar untuk menuju tempat makan, tak perlu naik becak seperti sekarang ini." Karin hanya bisa membatin melihat sikap Sukir.
"Aku nggak marah, kok. Tapi lumayan berasa capek hari ini. Kalo jalan kaki masih jauh, aku nggak sanggup. Tapi kamu nggak jawab, malah pesan becak." Karin coba jelaskan agar Sukir tak berpikir macam-macam. Sama-sama rasakan lelah, emosi akan mudah terpancing.
"Aku tahu kamu capek. Makanya aku pesan becak."
"Makasih, ya."
"Untuk?" Sukir tak menatapnya, lebih menghadap ke depan saja.
"Hei!" Karin menarik pelan lengan Sukir, meminta Sukir menatapnya.
"Untuk hari ini dan pengertiannya tadi," lanjut Karin, setelah Sukir menatapnya. Karin kembali dengan senyum manis, di balik rasa lelahnya. Ia tak selalu bersikap seperti ini kepada orang. Tapi, entah kenapa, ia tak bisa berlama-lama sibuk dengan emosi dan lelahnya.
"Gusti. Tersiksa banget sama senyuman dan cara dia meluluhkan gue. Padahal gue juga nggak tahu apakah sikapnya dia untuk meluluhkan gue, atau memang dia biasa seperti itu kepada setiap orang?" gejolak di dalam batin Sukir.
"Iya, sama-sama," balas Sukir, spontan mengusap pelan kepala Karin.
"Eh," wajah Karin memerah dan secepat mungkin memalingkan muka. Karin tak sempat menghindar, dan tak ada penolakan setelah itu.
Mereka mengedarkan pandangan ke arah berlawanan, berusaha tak saling bertemu tatap.
Sesampai di warung nasi goreng, suasana agak ramai.
"Kamu suka babat?" tanya Sukir, mereka masuk ke warung makan.
"Nggak terlalu suka, sih. Tapi masih bisa makan, kok. Nggak alergi," jawab Karin. Ia bukan penggila jeroan, tapi masih bisa makan seperti babat, ati, atau ampela.
Mereka memilih duduk di pinggir, usai memesan dua porsi nasi goreng babat.
"Maaf, ya, kamu jadi capek hari ini." Sukir beranikan diri untuk memulai dengan kata maaf.
"Maaf juga, tadi pegang kepala kamu. Nggak sopan, ya?" lanjut Sukir, sebelum Karin menjawab.
"Nggak apa-apa. Mungkin aku kaget aja. Selama ini aku belum pernah perjalanan yang cukup lama dengan kendaran umum."
Sukir tersenyum. Jawaban Karin cukup melegakannya. Ia sempat khawatir hari ini tak sesuai harapan dan bayangannya.
"Untuk yang pegang kepalaku tadi, nggak apa-apa," jawab Karin.
"Nggak apa-apa kok. Aku senang kamu usap kepalaku. Nanti lagi ya," kalimat yang hanya diucap Karin dalam hati. Tak mungkin ia berkata seperti itu pada Sukir.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sukir Bankir Getir! (Tamat)
General FictionKisah karyawan Bank bernama Surendra Kiran, atau biasa dipanggil Sukir, yang selalu saja menghadapi kenyataan yang getir, mulai dari karir, percintaan, hingga rumah tangga. Sudah dua tahun ia menduda dan mulai coba membuka hatinya kepada orang baru...