Kursi

30 4 0
                                    

"Kalau sudah begini, kamu punya rencana apa?" Tanya Karin.
"Belum tahu."
Mereka kembali terdiam.
"Ambil ponsel kamu, cek malam ini ada kereta yang arah timur, nggak?" perintah Karin.
"Sebentar. Aku coba cari yang sekitanya bisa sampai pagi hari."
Karin hanya menoleh pada Sukir.
"Surabaya, gimana?" Tawar Sukir.
"Kereta jam berapa?"
"Setengah sebelas."
"..." Karin sedang berpikir, kemudian Sukir dengan cepat mendahului sebelum Karin mengemukakan pendapatnya.
"Kita singgah sebentar di Surabaya, lalu subuh berangkat ke Jember, lanjut Banyuwangi. Gimana?" Sukir mencoba menawarkan opsi menarik, berusaha agar Karin tertarik.
"Ini memang masuk dalam rencana awal kamu ke Banyuwangi atau baru kepikiran tadi?" tanya Karin.
"Sebenarnya kemarin-kemarin saat merencanakan traveling, masuk dalam list, sih. Tapi ..."
"Tapi, apa?"
"Kamu ikut, jadi aku urungkan aja. Takut kamu kelelahan."
"Ya udah, beli tiket ke Surabaya sekarang. Tiket berikutmya pesen online aja sambil tunggu kereta Surabaya." Karin setuju dengan rencana itu. Sukir malah bingung.
"Nggak usah kelamaan mikirnya. Nih, uang aku." Karin yang mendapati Sukir masih terdiam. Ia menyerahkan beberapa lembar lima puluh ribuan, lalu mendorong Sukir segera menuju loket.
Sebelumnya, Sukir sengaja untuk terlambat membeli tiket. Ia tak ingin berada satu kereta dengan bunda, setelah ia mengetahui bunda akan kembali ke Solo. Ia tak ingin suasana kebersamaannya dengan Karin jadi semakin canggung. Namun kesengajaan itu tak Sukir ceritakan pada Karin. Biar ia simpan sendiri. Sehingga, mereka akhirnya mengubah rute perjalanan.

***

"Maaf Bu, ini 12C dan 12D, kursi kami." Sukir permisi terlebih dahulu dengan diawali kata maaf pada seorang wanita kisaran berusia empat puluh tahun dan seorang pria remaja, dengan taksiran usia lima belasan. Kedua orang itu menduduki nomor kursi Sukir dan Karin.
Sukir dan Karin sudah berada di kereta yang akan mengantarkan mereka ke Surabaya.
"Masih ada yang kosong, Mas. Di sana juga ada yang kosong. Tempati saja," si ibu menunjuk ke arah kursi nomor 10A dan 10B.
"Tapi, saya pesannya di kursi nomor ini, Bu."
"Kita cari tempat yang kosong aja," bisik Karin sambil menarik lengan jaket Sukir. Ia tak ingin berdebat panjang, sekalipun mereka benar. Tapi, ia juga paham sekali bagaimana Sukir yang selalu bermasalah menghadapi ibu-ibu.
"Nggak." Sukir bertahan, walau Karin berusaha menarik lengannya.
"Maaf Bu, kami berdua pilih kursinya di sini. Ibu di kursi nomor berapa?" baru Sukir bertanya lagi, kedua orang itu memasang wajah sebal, bersungut membawa tas dan kantong plastik yang ada di kabin, menuju kursi yang masih kosong.
"Maaf ya, Bu," sekali lagi, Sukir yang meminta maaf, diiringi dengan pandangan beberapa penumpang di sekitar mereka.
Sukir meletakkan ransel miliknya dan Karin di kabin, setelah itu bisa duduk dengan tenang.
"Apa susahnya mengalah dengan ibu-ibu?"
"Nggak bisa mengalah begitu aja dong."
"Itu ibu-ibu, Kir. Lebih tua dari kita."
"Ibu-ibu yang lain bisa kok duduk sesuai nomor kursi mereka. Tertib. Masa mereka nggak bisa? Apalagi yang satu masih remaja. Harusnya bisa tertib."
"Kir?"
"Kamu akan tahu sendiri dan a0a yang terjadi nanti kalau kita bukan duduk di kursi sendiri." Sukir malas untuk menjelaskan lebih panjang lagi, nanti akan berdebat tak menemui penyelesaian atau malah berakhir dengan saling diam.
Kereta Gumarang sudah meninggalkan stasiun Semarang Tawang menuju Surabaya, tepatnya pemberhentian terakhir di Stasiun Surabaya Pasar Turi. Kereta terdiri dari rangkaian kelas Eksekutif dan kelas Bisnis. Sukir dan Karin memilih untuk naik di kelas Bisnis. Durasi perjalanan sama, hanya berbeda fasilias dan kenyamanan saja. Selisih harga juga lumayan, bisa untuk Sarapan dan makan siang.
Sekitar satu jam perjalanan, kereta berhenti di stasiun Ngrombo. Di sini, ada yang naik dan juga ada yang turun. Karin sudah terlelap. Sementara Sukir masih dengan kegiatan santainya mendengarkan musik menggunakan headset.
Salah seorang penumpang berusia muda yang baru saja naik, berdiri di dekat ibu yang tadi sempat berdebat dengan Sukir masalah tempat duduk. Terlihat mereka sedang mempermasalahkan nomor kursi. Pemuda itu ternyata memilih mengalah. Ia mencari kursi kosong untuk diduduki. Ibu itu dan remaja tadi tak pindah dari tempatnya.
Karin terbangun.
"Ada apa? Kedengarannya ramai." Karin mengucek kedua matanya.
"Masalah tempat duduk." Sukir sambil menunjuk ke arah ibu-ibu tadi dengan gerakan kepalanya.
Karin menoleh sebentar ke sumber suara, lalu melanjutkan tidur.
"Eh, kamu udah pesan tiket untuk kita ke Jember dan Banyuwangi?" Karin tersadar.
"Sudah."
"Coba, aku liat," pinta Karin.
"Kan online belinya. Belum cetak tiket. Nanti di stasiun."
"Ya, liat booking di hp kamu. Nggak boleh? Takut ya hp-nya dicek aku?"
"Ampun, deh." Sukir hanya bisa pasrah lalu menyerahkan ponselnya, setelah ia membuka aplikasi booking tiket kereta.
"Kamu kebanyakan ampun, ah," protes Karin.
Sukir hanya memandangi Karin.
"Bercanda, kaseeep ...." Karin tertawa sambil mengusap lembut pipi Sukir.
Kembali, jantung Sukir dipaksa berolah raga di tengah malam. Sikap Karin membuat Sukir harus semakin kuat menahan keinginannya untuk bisa melanjutkan hubungan yang lebih tinggi. Karin tak ingin tergesa-gesa. Ia masih ingin hubungan mereka jalani mengalir saja.
"Lho, Sukir itu bukan nama asli? Nama kamu Surendra Kiran?"
"Sukir itu penggalan dari nama lengkap aku. Su diambil dari nama depan, Kir dari nama belakang," jelas Sukir.
"Aku baru tahu."
"Kamu nggak pernah tanyakan itu sama aku."
"Kok, nama belakang kamu mirip dengan nama depan aku? Hanya dibalik aja huruf I dan A. Jangan-jangan kita ...." Karin menggantungkan kata terakhirnya.
"Jangan-jangan, apa? Saudara kembar?"
"Ih! Bukan itu. Jangan-jangan kita berjodoh." Karin masih dalam suasana terkejut.
"Iya, nanti anak kita kembar, namanya Kirin dan Karan," seloroh Sukir, asal menyahuti.
"Kamu ini, ya! Jangan asal ngomong," omel Karin.
"Iya, maaf,"
"Kalo beneran nanti kembar, gimana?"
"Eh, berarti itu tahap selanjutnya setelah kita berjodoh, dong?"
"Eh, gimana, sih?" Karin malah jadi bingung sendiri dan sedikit panik. Ia seperti memberi clue pada Sukir untuk bertahan pada jalur saat ini untuk mencapai yahap yang lebih serius.
"Ah, nggak tau, deh. Aku mau tidur lagi." Karin menyudahinya agar tak semakin terlihat kepanikannya. Namun Sukir terap dapat menangkap situasi yang dialami Karin tersebut.
Karin memejamkan matanya. Tubuhnya membelakangi Sukir, dan sesaat kemudian membuka matanya kembali dan tersenyum. Bahkan ia sempat tertawa tanpa suara, dan menutupi mulutnya dengan tangan.
Sayangnya, Karin tak mengetahui bahwa itu tertangkap oleh Sukir melalui pantulan jendela. Walau tak begitu jelas, namun reaksi Karin dapat dilihat Sukir.
Kereta hanya berhenti dua menit dalam menurunkan dan menaikan penumpang, kemudian melanjutkan kembali perjalanannya. Sukir lanjut tenggelam mendengarkan musik. Sementara Karin, akhirnya ia berhasil terlelap setelah melewati perasaan salah tingkahnya. Kinia sudah tak membelakangi Sukir. Bahkan, kepalanya sudah berangsur mendekat dan tersandar di pundak Sukir.
"Duh. Terus aja bikin jantung olah raga tengah malam begini." Sukir membatin. Ia tak bereaksi saat kepala Karin menyandarkan kepala di pundaknya. Tak ingin juga mengganggu tidur Karin dan lebih memilih tak bergerak sedikitpun. Momen seperti ini tak ingin dilewati begitu saja.
Perjalanan menghabiskan waktu sekitar satu jam, tiba di pemberhentian selanjutnya, yaitu stasiun Cepu. Kembali, penumpang memiliki waktu kurang lebih tiga menit untuk naik ataupun turun dari kereta. Di pemberhentian kali ini, kembali ada sedikit perdebatan masalah tempat duduk. Penumpang yang baru naik, seorang bapak, memiliki nomor kursi yang sedang diduduki oleh pemuda yang tadi naik dari Stasiun Ngrombo.
"Maaf Mas, kursi saya 10 C," bapak itu menunjukkan tiketnya.
"Mas nomor kursinya berapa?" lanjut si bapak.
"Saya di 10 A situ, Pak. Ditempati sama Ibu itu," pemuda itu menunjuk kursinya yang duduki ibu itu.
Pria paruh baya itu sepertinya mengerti. Tapi ia juga tak mungkin untuk mencari kursi kosong lagi, karena semua sudah terisi.
"Ibu, maaf. Nomor kursinya berapa, ya?" bapak itu bertanya pelan pada si ibu.
"Memangnya kenapa?"
"Ini, Mas ini nomor kursinya ditempati sama Ibu. Yang sedang diduduki si Mas ini kursi saya." sepertinya lelaki yang usianya berkisaran lima puluh itu kasihan dengan anak muda ini. Beliau dapat melihat pemuda itu tak berani mengambil alih secara paksa kursinya yang ditempati ibu itu.
"Kan, bisa cari kursi lain yang masih kosong," ujar ibu itu.
"Wah, kebetulan sudah penuh semua, Bu, di gerbong ini," bapak itu masih bersikap ramah.
Perdebatan sepertinya dapat diakhiri dengan kemunculan petugas kereta yang sedang melakukan pengecekan .
"Permisi Bapak, Ibu. Ada yang bisa kami bantu?" tanya bapak petugas dengan ramah. Di belakangnya terdapat dua orang petugas keamanan.
"Ini Pak, Mas ini seharusnya duduk di sini. Tapi ditempati sama Ibu ini. Lah, tempat duduk yang sedang ditempati Mas ini, tuh, kursi saya," jelas si Bapak.
"Ibu mohon maaf, boleh lihat tiketnya?" permintaan petugas.
Dengan bersungut, si ibu menunjukkan tiket miliknya dan tiket remaja di sebelahnya, yang ternyata adalah anaknya.
Sukir dan Karin terbangun. Telinga mereka terusik oleh suara yang agak ramai. Karin cukup terkejut karena ternyata posisi kepalanya sedang tersandar di pundak Sukir. Lalu bergegas ia kembali ke posisi semula, sebelum Sukir menyadari itu.
"Ada apa?" tanya Karin, matanya masih ia usahakan untuk bisa terbuka dengan sempurna.
"Nggak tau, coba kita liat." Sukir melepas earphone.
"Ibu Maaf, seharusnya Ibu di kereta nomor dua. Ini kereta enam," Bapak Petugas memberitahukan kepada ibu itu.
Dialog pun berkembang meninggi saat si ibu menolak untuk pindah karena harus berjalan jauh, pindah sesuai nomor kereta dan kursi di tiket. Sementara bapak petugas tidak bergeming, beliau tetap sesuai aturan dan sesuai dengan nomor kursi yang tertera pada masing-masing tiket.
"Itulah kenapa aku ngotot mempertahankan kursi kita. Aku nggak mau nasib kita kaya anak muda itu." Sukir memberitahukan kepada Karin.
"Memangnya banyak yang seperti ibu-ibu itu, ya?"
"Nggak hanya ibu-ibu. Setiap kali aku naik kereta, akan selalu ada penumpang yang duduk di kursi yang bukan miliknya. Mau ibu-ibu, bapak-bapak, anak muda, dewasa, atau anak kecil sekalipun. Ada aja. Kalau ada dua seat bersebelahan kosong, pasti menjadi incaran," jelas Sukir.
Ibu itu dan anaknya akhirnya pindah dari tempat yang mereka duduki, menuju kursi yang semestinya mereka duduki.
"Apa gunanya kita memesan tiket lewat online lalu pilih tempat duduk kalau akhirnya siapa cepat dia duduk sesuka hati?"
Karin hanya mengangguk-angguk. Kini ia mengerti maksud Sukir tadi saat naik kereta dan mempertahankan nomor kursi milik mereka.
"Kita berapa lama lagi sampai Surabaya?" tanya Karin.
"Sekitar dua jam lagi,"
"Lumayan untuk tidur sebentar," Karin mengambil posisi yang enak untuk tidur kembali. Kali ini kepalanya ia sandarkan pada jendela yang ia letakkan juga bantal sewaan.
"Istirahat aja," Sukir kembali mengenakan headset dan mencoba memejamkan mata.

KA Gumarang telah tiba di stasiun terakhir, yaitu Surabaya Pasar Turi. Sukir dan Karin keluar dari stasiun untuk menuju stasiun Surabaya Gubeng, karena untuk keberangkatan ke Jember dari sana.
"Kita naik kereta apa nanti?" tanya Karin saat mereka sudah di dalam taksi online.
"Kamu tadi di kereta, kan, minta liat booking tiket kita. Nggak dibaca, ya?"
"Niatnya baca, tapi salah fokus sama nama kamu tadi." Katin sedikit malu menjawab.
"Jangan-jangan memang mau cek hp aku, ya?" Sukir menggoda dengan bersikap curiga.
"Apaan, sih?" Karin terlihat malu dan pipinya memerah.
"Probowangi, jam setengah lima kurang." Sukir memilih untuk tidam melanjutkan menggoda Karin.
"Dua jam lagi, ya?" Karin berusaha menormalkan kembali kondisi dirinya.
"Iya."
"Kir."
"Ya." Sukir menoleh.
"Maaf ya."
"Untuk?"
"Aku udah berprasangka buruk sama kamu waktu kamu ngotot mempertahankan tempat duduk kita. Aku beranggapan kamu nggak sopan dan nggak mau mengalah sama orang yang lebih tua."
"Nggak apa-apa kok. Kamu nggak salah apa-apa."
"Mungkin kalo aku di posisi anak muda tadi, pasti udah kesel banget. Duduknya harus berpindah-pindah dan bukan di kursi sendiri."
"Dan aku tadi malah bisa tidur nyenyak tanpa harus bangun untuk pindah tempat duduk," lanjut Karin dengan tersenyum.
Sukir hanya tersenyum.

Sukir Bankir Getir! (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang