"Calon bos lo keren, loh." Bianca, salah satu karyawan Bank Satya Kencana dari divisi Service and Quality, menyamakan langkahnya dengan sukir. Merela baru saja meluangkan waktu untuk 'bernafas', merokok di area bebas asap rokok, yang terletak di samping gedung.
Semenjak pindah dari Bank Sarap, Sukir memulai kebiasan lamanya, yaitu merokok. Kalau di Bank Sarap, banyak satpam yang memperingatinya, seperti Riri dan Wida, kini tak ada melakukan itu. Sukir hanya selingan saja merokok, bukan rutin sehari bisa habis berbatang-batang.
"Keren gimana?"
"Gara-gara dia, gue juga jadi PA, sama kayak lo."
"Ada jasa apa calon bos gue?"
"Dia orang yang berhasil membuat management akhirnya mengadakan posisi PA untuk kepala divisi atau Group Head. Sebelum-sebelumnya, nggak ada yang berhasil. Mungkin posisi tawar bos lo punya nilai tinggi. Secara, pengalaman dia di bank udah belasan tahun. Kantor pasti nggak mau kehilangan kesempatan dapat karyawan yang hebat dan kesempatan mendatangkan cuan yang lebih dari kredit."
"Memangnya sebelum PA, elo sebagai apa?"
"Staf biasa. Sama kayak lo di bank sebelumnya."
"Kok, tau gue hanya staf biasa? Wah, kepo juga nih."
"Ge-er banget lo." Nada Bianca meninggi.
"Bercanda ...." Sukir takut Bianca tersinggung dengan candaannya.
"Gue juga becanda, kok." berubah drastis, Bianca malah tertawa setelah itu.
Lift menuju lantai 15, kembali mereka tak berbicara karena ada telinga-telinga lain di dalam.Selama hampir satu bulan joint, Sukir memang belum sepenuhnya melaksanakan apa yang menjadi jobdesk dia di Bank Satya Kencana. Hal itu karena sambil menunggu bos baru Sukir yang hari ini baru berdinas di kantor, sebelumnya memang sudah joint, namun langsung ditugaskan ke kantor wilayah untuk berkoordinasi dan perkenalan. Hari itu, beliau datang ke kantor agak siang.
"Kir, Bos baru kamu udah datang, tuh. Tadi dicariin." Cecilia, Credit Review Division Head, memberitahu Sukir.
"Oh ...." Sukir tak enak hati, karena ia tidak ada di tempat saat bos barunya datang dan mencari.
"Masuk aja ke ruangannya. Beliau sama orang HRD juga."
"Oke. Makasih, Mbak." Sukir tak jadi duduk di kubikelnya, ia menuju ruangan yang terletak di sudut.
"Permisi." Sukir setelah mengetuk pintu tiga kali.
"Ya, masuk." Suara dari dalam ruangan.
"Selamat siang."
"Siang. Sini, Kir, duduk."
"Loh?" Sukir terkejut saat menuju kursi.
"Kita bertemu lagi, Kir." Bos Sukir tersenyum menyambut kedatangan Sukir.
"Kok ... bisa?"
"Nggak ada yang nggak bisa, Kir."
"Pak Surendra, ini Supervisor Bapak. Mulai hari ini, Bapak resmi untuk bertugas sebagai PA, atau Personal Assistant." Rania, bagian HRD, memberitahu Sukir.
Sukir tak tahu harus bagaimana.
"Duduk, Kir."
Sukir menuruti perintah bos barunya itu.
"Rania, hari ini jadi ada new comer yang datang?" Si Bos membuka map, mengecek pekerjaan hari ini.
"Sudah datang, Bu, menunggu di ruang meeting."
"Suruh masuk aja, menghadap saya."
"Baik, Bu." Rania oun pamit untuk memanggil new comer, seperti yang ia infokan tadi.
"Gimana, Kir, hampir satu bulan di sini?" tanya Bu Bos, setelah Rania menutup pintu ruangan.
"Baik-baik aja ... Bu." Sukir masih berasa di situasi tak percaya kalau orang yang di hadapannya adalah bos barunya.
"Kamu nggak perlu khawatir. Di sini, kamu akan semakin berkembang."
Suara ketukan pintu dan sapaan dari luar ruangan. Pemilik suara itu adalah Rania.
"Masuk."
"Ini, Bu, yang saya infokan tadi." Rania masuk bersama seseorang.
"LOH???" Sukir makin dibuat terkejut dengan situasi hari itu, detik itu juga.***
"Gimana ceritanya bisa ke sini juga, Mbak?" tanya Sukir, setelah ia meninggalkan ruangan bos.
"Ya begini, lah, ceritanya." Lawan bicara Sukir malah tertawa menanggapi reaksi Sukir.
"Serius, Mbak."
"Bu Manda ajak gue joint ke sini. Beliau minta bantuan gue untuk dampingi dan jagain lo," jelas Riri denga asal
Ya, Bu Manda dan Riri ikut bergabung dengan Sukir di Bank Satya Kencana.
"Mbak, serius, lah." Permintaan Sukir pada Riri.
Riri menceritakan urutan dari awal yang membuat ia dan Bu Manda bisa ada di Bank Satya Kencana. Mulai dari Bu Manda memanggil Sukir untuk menjelaskan kalau beliau tidak dapat membantu Sukir untuk naik golongan karena keberadaan Dinda dan satu posisi untuk Davina.
"Madam udah berusaha banget untuk naikin lo. Tapi sayang, Pak SM dengan kuasanya, menolak pengajuan nama lo untuk menjabat di Kepala Departemen Legal Documentation. Beliau malah menyodorkan nama Dinda." Riri menjelaskan pada Sukir.
"Sempat terjadi perdebatan, Pak SM akhirnya setuju kalo lo mendapat posisi itu, tapi, konsekuensinya, Davina yang harus turun. Sebelumnya, kan, Davina PJS gantiin Pak Burhan. Nah, si Pak SM ini minta Dinda yang menjadi PJS, lalu selang berapa bulan, menetapkan Dinda sebagai kepala departemen Legal Kredit," lanjut Riri, diselingi dengan meminum kopi susu yang ia bawa dari rumah, menggunakan tumbler.
"Terus?" Sukir penasaran dengan cerita Riri.
"Madam jelas nggak mau. Secara, Davina lebih senior dari lo, apalagi dari Dinda, jauh banget. Dan juga, Madam sepertinya percaya banget sama Davina, jadinya, ia memilih mempertahankan Davina dan mengorbankan lo."
"Dilema banget jadi Madam, ya?"
"Banget."
"Saya, sih, nggak masalah kalo nggak mendapat posisi itu. Yang saya nggak terima, kenapa Dinda? Kan, ada Mbak Riri dan Mbak Wida, yang lebih senior."
"The power of Sarap Satu, Kir." Riri memberikan kode bahwa bila Pak SM berkehendak, sulit untuk dilawan.
"Gila, ya." Sukir hanya bisa menggeleng, tak ada narasi yang panjang untuk menggambarkan situasi itu.
"Sehari setelah Dinda naik jabatan, Madam mengajukan resign. Beliau nggak bisa bekerja dengan tekanan di luar pekerjaan. Sikap profesionalnya seperti diremehkan oleh Sarap Satu. Selain karena beliau juga udah dapat opportunity di sini."
"Madam resign karena memperjuangkan saya, Mbak?"
"Itu hanya bagian kecil, Kir. Alasan utamanya, beliau mendapatkan tekanan dan campur tangan orang lain di timnya, yang bukan tentang pekerjaan. Itu yang beliau nggak suka."
Ada perasaan tak enak hati Sukir pada Bu Manda. Beliau sangat profesional dan mengapresiasi pekerjaan serta etos kerja Sukir.
"Inget, gue suruh lo kirim CV ke sini waktu itu?" tanya Riri.
"Inget, Mbak."
"Bu Manda yang suruh."
Hari itu Sukir dibuat terkejut berkali-kali.
"Mbak? Serius?"
"Dia duluan yang joint di sini. Tapi, kan, Bak Sarap mensyaratkan untuk Kepala Divisi bisa mengajukan resign 3 bulan sebelum last day. Beliau sangat percaya dan senang sama etos kerja lo. Jadi, dia merasa bertanggung jawab juga kalau sampai lo di tempat yang salah. Setelah beberapa tahun sebelumnya, lo sangat membantu beliau dalam mengerjakan project di Bank Sarap. Sampai lo sering ribut sama Namira karena lebih sering di kantor daripada di rumah. Mungkin ini salah satu balas budi dari beliau buat lo."
"Mbak, ada juga saya yang banyak hutang budi sama Madam."
"Nggak tau, ya, Kir. Tapi, Bu Manda merasa, lo adalah orang yang cukup berjasa di saat tekanan kerja dan deadline project waktu itu."
"Oh iya, ada satu hal lagi yang belum lo tau." Riri teringat sesuatu.
"Apa, Mbak?"
"Inget, perdebatan terakhir lo sama Dinda?"
"Inget, Mbak. Masalah komentar dari regulator."
"Setelah lo kirim e-mail dan Dinda masuk ruangan Madam, habis tuh anak diomelin Madam. Yang gue dengar-dengar, Madam sempat marahi Dinda karena dia nggak becus handle bawahan dan bukannya bersikap sebagai leader, malah seperti bos yang semena-mena. Beliau marahi Dinda juga karena data yang lo kirim itu bukan salah, melainkan pihak regulator yang salah baca data. Madam dikonfirmasi langsung sama salah seorang regulator yang audit tempat kita."
Kembali Sukir hanya bisa menggelengkan kepala. Beberapa kejadian menjelang ia resign memang cukup bergejolak dan membuat emosinya labil.
"Eh, teman-teman di sana gimana, Mbak? Kayak Agnes, Mbak Wida, Davina ...."
"Oktaaa ...." Riri melanjutkan kata-kata Sukir yang menggantung.
Sukir tersenyum getir.
"Agnes tetap di sana. Madam belum mau ajak dia, karena Madam ingin Agnes belajar banyak dulu di sana dan belum lama juga gabung Bank Sarap. Wida, akhir tahun ini mau resign dan jadi ibu rumah tangga. Dia mau fokus urus anak. Davina, sepertinya masih sama seperti yang lalu. Nggak ada perubahan. Okta, nggak tau deh kalo nanti setelah menikah, dia tetap kerja atau jadi ibu rumah tangga. Tergantung keputusan dari calon suaminya nanti."
Sukir membeku ketika mendengar Riri menceritakan Okta.
"Dia jadi nikah, Mbak?"
"Sepertinya. Akhir bulan ini dia lamaran. Sebelumnya sempat diundur."
"Oh ...." Sukir sekilas mengingat saat Okta mencurahkan cerita situasinya saat bimbang untuk menikah.***
Sukir mendatangi Bank Sarap. Ia bermaksud untuk mengambil parklaring yang baru bisa diambil terhitung satu bulan setelah ia resign.
Ada rindu yang menyeruak ketika memasuki gedung, walau bukan ke lantai 7, melainkan lantai 2, tempat HRD Bank Sarap berkantor.Sukir sengaja datang sore hari, ijin pulang cepat ke Bu Manda. Berharap bisa bertemu dengan teman-teman di Bank Sarap, termasuk Okta, walau ia hanya melihat saja tanpa mengajak ngobrol.
"Mas, ini surat keterangan kerjanya." Dista, HR yang mengurus dan interview Sukir pada saat exit interview.
"Makasih, ya, Dis." Sukir menerima surat yang dimasukkan ke dalam amplop.
"Gimana, Mas, di tempat baru? Nyaman?"
"Sejauh ini, nyaman, Dis."
"Kalo ada info lowongan, bolehlah berkabar." Canda Dista.
Sukir hanya tertawa lalu menyahutinya, "Nanti saya kabari kalo ada info."
"Udah main ke Kredit, Mas?"
"Belum. Nanti aja, mungkin ketemu di bawah pas jam pulang."
Sukir lalu pamit undur diri. Waktu juga sudah menunjukkan pukul lima.Sukir menyusuri lobi gedung. Ramai karyawan keluar dari lift untuk segera pulang, mengakhiri aktivitas di kantor hari itu. Ia melihat sosok yang sangat dikenal, berdiri di luar, seperti sedang menunggu seseorang. Awalnya Sukir ingin menghampiri, tapi ia urungkan karena tak perlu dan tak ada urusan dengannya. Ah, tapi ada yang ingin diberikan oleh Sukir pada wanita itu.
Sukir keluar, memilih langkah menghindar, saat sebuah mobil berhenti tepat di depan orang itu."Mas!"
Sukir, yang merasa dirinya dipanggil, memilih untuk tetap rerus berjalan, tak hiraukan suara itu.
"Mas Sukir!" Suara itu lagi, dan kini terdengar semakin mendekat, diiringi suara langkah hentakan high heels.
Sujir menghentikan langkahnya, namun ia tak membalikkan badannya."Kenapa Mas nggak menghampiri aku? Kenapa sepertinya Mas menghindar? Sebenarnya, Mas Sukir liat aku, kan?" Suaranya sangat tegas.
"Mas!" panggilnya lagi. Akhirnya Sukir membalikkan badan.
"Saya nggak mau ganggu ka ... maksud saya, kalian." Sukir sebentar melirik ke arah mobil yang tadi berhenti di depan wanita itu.
Wanita itu menoleh ke arah mobil juga, lalu kembali pandangannya pada Sukir.
"Mas Sukir pergi dari Bank Sarap dengan baik-baik. Apa nggak bisa seperti itu sama aku?"
Berat, Sukir menghela nafas.
"Apa lagi alasan Mas Sukir? Nggak mau ganggu? Say hi aja apa itu mengganggu? Bertukar kabar aja apa nggak bisa?"
"Hal apa yang membuat Mas beranggapan kalau menyapaku itu mengganggu?!" Suara wanita itu meninggi.
Sukir cukup terkejut dengan reaksi lawan bicaranya. Ini pertama kalinya ia melihat se-emosional itu.
"Ta..."
"Kenapa? Mau minta maaf?"
"Kamu selalu seperti itu, Mas. Sedikit-sedikit, minta maaf, tanpa kamu jelaskan alasanmu."
Tak ada tanggapan dari Sukir.
"Pengecut!" makinya dengan lantang.
Usai mengatakan itu, Okta berlalu begitu saja, meninggalkan Sukir mendekat ke mobil yang menjemputnya.
Sukir hanya bisa diam.
"Kenapa sih, gue?" Sukir menanyakan pada diri sendiri.
Memang benar apa yang dimaki oleh Okta. Ia pengecut. Terlalu pengecut untuk menghampiri dan menanyakan kabar. Mungkin lebih tepatnya menghindar.*******
*******
KAMU SEDANG MEMBACA
Sukir Bankir Getir! (Tamat)
General FictionKisah karyawan Bank bernama Surendra Kiran, atau biasa dipanggil Sukir, yang selalu saja menghadapi kenyataan yang getir, mulai dari karir, percintaan, hingga rumah tangga. Sudah dua tahun ia menduda dan mulai coba membuka hatinya kepada orang baru...