Kopi biasa
Sukir dan Karin sudah berada di dalam kereta. Berangkat pagi, pukul 07.00 WIB, mereka menaiki kereta api Tegal Ekspres, kereta kelas ekonomi relasi Pasar Senen - Tegal yang akan mengantar mereka sampai ke tujuan akhir dengan waktu tempuh sekitar lima jam tiga puluh menit.
"Mau ikut ke restorasi?" Sukir setelah mendapati Karin terbangun. Selepas melintasi Cikampek, Karin sudah terlelap. Sementara Sukir masih terjaga.
"Ada apa aja?"
"Hanya minuman ringan dan menu sarapan."
"Aku sudah Sarapan."
"Atau mau titip apa?"
"Aku ikut, deh. Mau kopi."
Mereka berjalan menuju restorasi, yang hanya selisih satu kereta. Sukir memang sengaja memilih di kereta empat agar lebih dekat dengan restorasi.
"Pesan apa?" Tanya Sukir. Mereka sudah di depan pramusaji.
"Kamu?"
"Aku kopi hitam,"
"Ada kopi apa aja?"
"Hanya ada kopi biasa. Kopi hitam. Nggak ada kopi dengan beraneka nama seperti di coffe shop."
"Oh ... ya udah, kopi hitam juga."
Mereka duduk di salah satu kursi restorasi. Masih ada yang kosong.
"Sebenarnya, kamu terganggu apa nggak, aku ikut traveling?"
"Sama sekali nggak. Aku juga butuh teman ngobrol."
"Nggak ajak teman kantor?"
"Aku ingin ditemani kamu," jawab Sukir, membuat Karin terdiam.
"Apa gue terlalu frontal? Nggak biasanya seperti ini. Dulu dengan Namira nggak seperti ini, malah dia yang duluan membuka diri." Sukir hanya bisa membatin, mempertanyakan sikapnya sendiri.
"Eh ... mmm ... perjalanan ini, mengulang?" Karin coba alihkan pembicaraan. Cara ini ia pilih untuk menetralkan suasana.
"Ada yang mengulang, ada yang belum pernah didatangi."
"Aku boleh tanya hal pribadi?" Karin terusik ingin mengenal Sukir lebih jauh.
"Duh, serius banget, sih?"
"Kelihatannya seperti pertanyaan serius, ya?"
"Cara kamu bertanya, biasanya nggak seperti itu. Kalau mau tanya, ya tanya aja. Nggak perlu minta ijin dulu."
"Oke deh. Tapi kamu jawab, ya?"
"Iya."
"Apa rencana kamu ke depan?"
"Rencana apa?"
"Rencana kamu. Seperti karir, kehidupan, dan ... cinta atau keluarga."
"Karir ... sepertinya masih seperti ini sampai lima tahun ke depan. Aku masih ingin mengumpulkan pundi-pundi, kemudian mempersiapkan diri memulai usaha."
"Seperti?"
"Aku belum tahu. Tapi aku merasa, nggak selamanya jadi budak korporat. Aku ingin bekerja untuk diriku sendiri. Mungkin, bekerja dari hobi. Kayaknya asyik, menghasilkan uang dari hobi atau hal yang disenangi."
"Memang, apa hobi kamu?"
"Jalan-jalan."
"Jalan-jalan? Bukannya malah mengeluarkan uang?"
"Banyak youtuber yang sukses hanya dengan dokumentasikan jalan-jalan mereka."
"Itu mereka. Kamu? Kamu belum ada prepare sedikitpun. Mulai dari sekarang aja, perjalanan kita ini."
"Nanti aja, ah. Traveling kali ini aku nggak mau terganggu sama yang seperti itu. Mau menikmati."
"Ah, paling juga kamu nggak percaya diri tampil di depan kamera," ledek Karin. Sukir hanya cemberut. Bukan karena ejekan, tapi kebenaran yang diutarakan Karin. Sukir masih punya masalah dengan kepercayaan diri.
"Apapun mimpi kamu, kejar. Jangan pernah putus asa. Berhenti sebentar boleh, untuk istirahat. Bukan untuk menyudahi." Karin melanjutkan dengan memberi pesan.
"Kamu sendiri?"
"Aku? Aku masih ingin mengejar karir. Tahun ini sepertinya akan ada hal baik. Ini kesempatanku."
"Kamu punya ambisi yang tinggi dalam karir, ya?"
"Nggak juga. Aku punya target dalam karir. Jadi, itu harus aku capai."
"Berusaha segala cara demi karir?"
"Nggak juga. Aku masih bisa berkompromi dengan keadaan. Nggak memaksakan diri, pakai segala cara. Bila memang nggak sesuai target, ya ikhlas aja. Setidaknya, aku sudah berusaha semaksimal mungkin."
"Kamu ... untuk kehidupan?" Karin bertanya lagi.
"Maksudnya?"
"Oh, aku ganti pertanyaanku. Kalau untuk diri kamu sendiri? Ke depannya kamu ingin seperti apa?"
"Aku sedang menata diri untuk menjadi lebih baik dari sebelumnya. Seperti yang kamu katakan, aku harus bahagiakan diriku sendiri dulu."
Karin tersenyum. Ucapannya ternyata cukup berpengaruh.
"Kamu baik, kok."
"Itu, kan, di matamu. Belum tentu orang lain menilai sama."
"Pasti sama." Karin sangat yakin dengan ucapannya.
"Dan ... cinta?" karin lanjutkan pertanyaan berikutnya.
Pertanyaan ini sebenarnya ingin dihindari Sukir, tapi tak mungkin juga bila tak dijawab. Terlihat, Karin menunggu jawaban Sukir.
"Pasca cerai, aku belum menemukan yang benar-benar membuatku nyaman."
Karin hanya menyimak.
"Sampai akhirnya, ketemu kamu dan aku mulai berani membuka hati." lanjut Sukir, kepalanya agak condong ke depan, mendekat ke wajah Karin.
"Secepat itu? Kamu baru kenal aku satu bulan."
"Salah?"
"Bukannya salah. Tapi, kenapa bisa?"
"Entah. Aku juga nggak tahu. Setiap harinya, ada saja yang membuat aku ingat dan kepikiran kamu. Belum pernah merasa seperti itu lagi. Aku pernah coba menyukai seseorang, tapi, rasanya biasa aja. Malah terkesan aku memaksakan perasaan sendiri."
"Mungkin, saat itu kamu masih belum sepenuhnya membuka hati. Kamu menolak perasaan itu, hingga kamu memaksakan diri menyukai seseorang."
Sukir merenungkan sejenak perkataan Karin.
"Mungkin juga."
"Lalu, saat ketemu aku?"
"Entah kenapa, saat pertama kali ketemu kamu, aku merasakan sensasi seperti dulu. Berdebar saat berpapasan dengan kamu di tikungan menara Pandawa. Kikuk, salah tingkah, dan malu. Walau selanjutnya beberapa kali ketemu kamu, perasaan itu berulang-ulang."
"Sampai butuh bantuan dari dua emak-emak untuk kenalan dengan aku?" goda Karin, usil mengusik Sukir.
"Maaf, ya. Itu akal-akalan mereka aja." Sukir berkilah.
"Masa sih?" Karin menggoda lagi.
"Aku memang ada niat kenalan dengan kamu. Lagi cari waktu yang pas aja." Sukir berkelit menutupi jiwa pecundangnya.
"Iya ... aku percaya kamu." Karin menyudahinya sambil terkekeh. Ia tak tega melihat Sukir berkelit sedemikian rupa menutupi malu.
Kembali hening. Mereka berusaha mencari pembicaraan lain yang dapat mencairkan suasana, sembari menyeruput kopi yang mulai hangat.
"Eh, di Tegal terkenal sate kambing muda, loh. Mantap." Sukir membuyarkan keheningan.
"Boleh dicoba. Tapi barengan, ya? Kalo sate kambing, aku nggak kuat habiskan satu porsi sendirian."
"Oke."
Usai menghabiskan kopi, mereka kembali ke kursi. Karin menyibukkan diri mendengar musik melalui eraphone. Sementara Sukir memainkan ponsel, membuka media sosial.
Makan siang
"Kamu suka traveling dan kuliner?" Tanya Sukir. Mereka sudah tiba di Tegal pukul satu kurang lima menit. Sesampainya, mereka langsung menuju warung makan di depan stasiun, karena sudah waktunya makan siang.
"Suka. Suka keduanya. Makanya, kemarin aku berharap banget kamu ajak." Karin terkekeh sambil menyantap nasi lengko.
"Pantesan responnya aneh saat aku datar menanggapi cuti kamu."
"Kamu peka sedikit kenapa, sih?!" Karin sebal tapi dengan intonasi manja.
"Ya maaf, Non. Nggak yakin aja ada yang mau ikut traveling seperti ini. Dulu aja... ," tak dilanjutkan Sukir.
"Nggak apa-apa, cerita aja. Nanti juga terbiasa dan jadi biasa."
"Dulu aku dan Namira suka jalan-jalan, traveling seperti ini. Mendatangi tempat baru, wisata kuliner di beberapa tempat ..."
"Tapi ceritanya nggak sampai menghayati juga. Matanya sampai menerawang begitu. Jadi terlihat gagal move on," ledek Karin.
"Tadi kamu bilang, cerita aja. Biar jadi biasa."
"It's ok. Aku bercanda. Nanti aja dilanjutkan cerita masa lalu kamu, ya. Kita makan dulu."
"Oke." Sukir melanjutkan menyantap nasi campur dengan tambahan tempe goreng.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sukir Bankir Getir! (Tamat)
General FictionKisah karyawan Bank bernama Surendra Kiran, atau biasa dipanggil Sukir, yang selalu saja menghadapi kenyataan yang getir, mulai dari karir, percintaan, hingga rumah tangga. Sudah dua tahun ia menduda dan mulai coba membuka hatinya kepada orang baru...