Ruang Tunggu

22 4 0
                                    

Kereta Probowangi mengantarkan Sukir dan Karin menuju Jember. Sebenarnya, Probowangi dapat mengantarkan mereka langsung menuju Banyuwangi, namun Sukir memutuskan untuk singgah sebentar di Jember. Ada obyek wisata yang ingin dikunjungi, yaitu pantai Teluk Love.
"Kita Sarapan di kereta atau nanti di Jember?" tanya Karin. Perjalanan mereka sudah melewati Probolinggo. Kali ini tidak ada drama masalah tempat duduk. Semua sudah sesuai dengan nomor kursi masing-masing penumpang.
"Kamu udah lapar?"
"Kira-kira berapa jam lagi sampai Jember?"
"Dua jam lebih." Sukir setelah melihat jam di ponselnya.
"Masih bisa ditahan. Kita Sarapan di Jember aja kalo begitu."
"Oke."
"Sarapan apa?"
"Nanti kita makan di Warung Gudeg dan Pecel Lumintu."
"Itu gudeg atau pecel?"
"Dua-duanya."
"Sepertinya enak."
"Kalau review di beberapa artikel, sih, enak dan selalu ramai."
"Wah, nggak sabar pengen ngerasain." Karin sepertinya tertarik untuk mencicipi salah satu kuliner khas Jember tersebut.
"Asyik ya?"
"Maksudnya?"
"Asyik. Dari yang kemarin kita ribut kecil, rencana berubah, sampai dengan rute dadakan sekarang ini."
"Ada hal lain yang bisa kita nikmati, selain dari yang kita rencanakan sebelumnya."
"Kenapa kamu memilih untuk merubah rute dari yang awalnya ke Malang, lalu jadi ke Surabaya, Jember, dan nanti ke Banyuwangi?"
"Boleh jujur?"
"Silakan,"
"Pertama, aku menghindari satu kereta dengan bunda. Setelah bertemu dengan beliau, aku memilih untuk menunda keberangkatan kita. Pasti nggak nyaman suasana kita bila satu kereta dengan bunda."
"Aku nggak masalah, kok. Yang penting kita tetap sesuai dengan rencana."
"Aku ingin nyaman jalan dengan kamu," singkat dari Sukir, namun cukup mengena bagi Karin. Ia hanya senyum menyikapi ucapan Sukir tadi.

*******

Tiba di Jember, hari belum begitu panas. Mereka memiliki waktu hingga sore nanti pukul tiga, karena nanti mereka sudah harus melanjutkan perjalanan menuju Banyuwangi menaiki KA Pandanwangi, kereta lokal kelas ekonomi yang dalam satu hari hanya melayani dua kali perjalanan PP.
Sukir dan Karin sudah berada di Warung Nasi Gudeg dan Pecel Lumintu. Dari luar sudah terlihat ramai kendaraan terpakir. Mulai dari sepeda motor hingga kendaraan roda empat.
"Masih ada tempat apa nggak, ya?" tanya Karin.
"Kita ke dalam aja, yuk. Semoga masih ada tempat untuk kita."
Mereka berjalan ke dalam.
"Padahal lokasinya bukan di pinggir jalan raya, ya? Tapi bisa seramai ini." Usai memesan, Karin mengedarkan pandangannya. Banyak orang yang Sarapan di sana.
"Mungkin karena sudah dikenal banyak orang, jadi, sesulit apapun lokasinya, orang pasti akan mencari dan mendatangi. Seperti kita ini."
Ponsel Karin yang tergeletak di meja, berbunyi, dengan muncul tuisan di layar nama Pak Hanggono. Sukir melihat sekilas.
"Kabag aku," ujar Karin, kemudian ia ijin keluar sebentar untuk menerima telepon, karena suasana di dalam yang cukup ramai dan agak bising. Sukir mempersilakan dengan gestur tangannya.
Saat Karin keluar, pesanan makan dan minum mereka datang. Nasi Gudeg dan Pecel dua porsi serta dua gelas es teh manis. Sukir tak langsung menyantapnya. Ia memilih menunggu Karin selesai menerima telepon, sambil ia memainkan ponsel, membuka instagram.
Lima belas menit, akhirnya Karin kembali ke meja.
"Kok, kamu belum makan?"
"Nunggu kamu."
"So sweet banget, sih," goda Karin. Sukir hanya tersenyum tipis.
"Kabag kamu tahu, kan, kalau kamu lagi cuti?"
"Iya, tahu."
"Ada hal penting?"
"Mari makan." Karin sudah tak sabar ingin mencicipi makanan yang katanya terkenal dan enak ini.
"Hei."
"Besok aku harus ada di Jogja." Karin tahu, ia tidak bisa sembunyikan sari Sukir. Hal yang janggal saat seorang karyawan yang sedang cuti ditelepon oleh atasannya di jam kerja.
"Ada apa?" Sukir menghentikan kegiatan Sarapannya. Fokusnya kini pada Karin. Piringnya ia geser sedikit ke sisi kanan.
Karin juga menghentikan makan.
"Aku ditugaskan jadi PJS Kepala Operasional Cabang Jogja mulai besok."
"Mendadak?"
"Resko cuti mendadak, ya, harus terima tugas mendadak juga."
"Tapi kenapa mendadak? Besok?"
"Aku direkomendasikan beliau saat meeting regional Operasional. Beliau memaksakan namaku untuk mengisi PJS di Jogja. Karena beliau tahu tentang rencana karirku."
"Itu penilaian. Yang jadi pertanyaanku, kenapa ini mendadak?"
"Aku nggak tahu." Karin mulai risi dengan pertanyaan Sukir yang berulang. Nada dari setiap kali bertanya berubah dan meningkat sedikit demi sedikit.
"Itu kan, harusnya ada proses. Nggak bisa satu hari, besok langsung mulai."
"Aku nggak tahu kalo Pak Hanggono menyodorkan namaku sejak dua minggu yang lalu untuk dipromosikan menjadi Kepala Bagian Operasional. Dan aku juga nggak tahu kalau ternyata ada namaku untuk penempatan di Jogja."
"Masa kamu nggak tahu?" Sukir agak meninggi.
"Kir!" Karin semakin tidak mengerti dengan Sukir, Nadanya kali ini semakin meninggi. Ia melepaskan sendok dan garpu, sehingga bunyi pantulan dengan piring membuat suasana tegang.
"Kok, kamu terkesan menyudutkan aku? Kenapa?" lanjut Karin.
Sukir terdiam cukup lama. Karin tak bisa menunggu Sukir menjawab.
"Kalo nggak jelas begini, memang seharusnya aku langsung ke Jogja pagi ini juga." Karin kesal dan memilih untuk meninggalkan Sukir. Ia tak menghabiskan makanan yang baru beberapa suap dinikmati, menuju kasir untuk membayar dan segera memesan ojek online. Sementara Sukir hanya diam di kursi, tak berusaha mengejar Karin.
Sampai Karin sudah mendapatkan ojek online dan pergi dari rumah makan itu, Sukir masih diam. Tak ada usaha untuk mengejar, bahkan untuk menahan Karin. Ia pun tak tahu Karin akan ke mana.

Stasiun Jember
Karin duduk di salah satu kursi di ruang tunggu stasiun. Ia masih belum bisa check in dan masuk ke dalam karena kereta yang akan mengantarkannya ke Jogja baru tiba nanti sekitar pukul dua. Tiket dudah ia pegang. Saat ini masih pukul sebelas. Karin akan menaiki kereta Wijayakusuma, kereta dengan relasi keberangkatan dari Stasiun Ketapang hingga pemberhentian terakhir di stasiun Cilacap. Karin hanya sampai Yogyakarta, karena itu adalah tujuannya. Tugas mendadak di saat ia sedang cuti.
Raut wajahnya masih tidak bisa menyembunyikan kekesalannya pada Sukir. Walau yang bersangkutan tidak ada di dekatnya, rasa kesal itu masih belum bisa lepas. Ia seperti butuh pelampiasan untuk menumpahkan kekesalannya. Karin tak habis pikir dengan Sukir. Sikapnya sungguh membuat emosi. Kali ini memang sangat mengesalkan. Ia berharap Sukir tak menyusulnya ke stasiun. Biar saja ia sendirian di sana dengan ketidakjelasannya.
Harapannya tak terkabul. Sukir terlihat di ambang lobi. Karin sempat menangkap sekilas dari sudut matanya. Ia lalu membuang muka, menghadap berlawanan agar Sukir tak menemukannya.
Mata Sukir masih menjelajah sekitar lobi. Ia pun mengintip dari pintu masuk ke dalam stasiun. Ia tidak bisa masuk ke dalam karena tidak memiliki tiket untuk keberangkatan di waktu terdekat. Ia tak bisa dengan mudah menemukan Karin karena tergesa-gesa. Padahal Karin berada di ruang tunggu. Ia juga sempat melintas di belakang kursi Karin.
Sukir kemudian melihat ke layar jadwal keberangkatan. Ia mencoba meneliti satu per satu kereta yang ke arah Surabaya atau. Ada beberapa namun masih lama. Wijaya Kusuma adalah kereta yang paling awal.
Sukir berusaha mengatur nafas dan coba menenangkan diri. Akhirnya, ia dapat menemukan Karin yang memang terlihat membuang pandangan agar tidak terlihat. Sukir menghampiri, ia masih mengatur nafas dan coba mengendalikan emosi.
"Kita ngobrol dulu, yuk," ajak Sukir, ketika ia sudah berdiri di sebelah Karin. Kursi sebelahnya ada yang menempati, sehingga Sukir tidak dapat duduk dekat dengan Karin untuk memudahkannya berbicara.
Karin masih diam. Ia tak menoleh pada Sukir sama sekali. Enggan untuk menanggapi Sukir.
"Maaf untuk emosi tadi, dan maaf untuk sikapku yang kelewatan," suara Sukir mengecil, ia menunduk dan mendekat ke telinga Karin.
Karin tidak menoleh. Ia menghela nafas pelan, kemudian beranjak dari tempat duduk. Ia mencari kursi panjang yang kosong agar mereka bisa berbincang lebih leluasa dan menyelesaikan masalah mereka.
"Kenapa kamu nggak kepikiran untuk ikut denganku ke Jogja? Kamu malah berkeras diri menanyakan kenapa mendadak?" Karin setelah mendapati kursi kosong dan diikuti oleh Sukir.
"Ak ... Aku ...." Sukir tak melanjutkan. Ada yang ia tahan untuk tak diceritakan pada Karin.
"Kenapa?"
"Nggak apa-apa."
"Itu bukan jawaban!"
Sukir terdiam sejenak.
"Aku mau lanjutkan perjalanan ke Banyuwangi. Tanggung." Sukir memberi jawabannya.
Karin mendengus. Ia tidak puas dengan jawaban Sukir.
"Kamu nggak ada niat temenin aku ke Jogja dulu, gitu? Baru kemudian lanjut ke Banyuwangi?"
"A-aku..." Sukir ragu. Ia ingin sekali bercetita agar Karin mengerti kalau ia masih tak nyaman untuk ke Yogyakarta. Kejadian tak mengenakan dahulu yang masih membekas.
"Oke. Nggak apa-apa kalo kamu memang nggak mau. Aku nggak maksa kamu." Karin coba mengerti dan tak ingin memaksakan Sukir. Walalu ia sudah memberikan kode 'menemani' ke Yogyakarta, namun Sukir tetap pada pendiriannya.
"Maaf."
"Nggak perlu minta maaf. Kan, aku hanya ikut dengan perjalanan kamu. Bukan aku yang mengajak. Jadi, kamu punya pilihan sendiri. Aku nggak bisa memaksakan kemauanku juga."
"Maaf."
"Udah ya, nggak perlu minta maaf lagi." Karin berusaha kuat menahan kekesalannya agar tidak terlihat, karena ia tak ingin suasana kembali tak mengenakkan.

Ruang tunggu menggambarkan sikap Karin pada Sukir. Ia menyediakan tempat untuk Sukir mau bercerita apa saja, yang belum diceritakan sekalipun. Keraguannya pada Yogyakarta sangat jelas tertangkap oleh Karin. Ia memahami, ada alasan yang lebih spesifik di benak Sukir yang masih coba dibendung, tapi entah apa alasan itu, Karin tak tahu. Ia tak ingin memaksakan atau memojokkan Sukir agar becerita, karena itu hak Sukir. Sayangnya, Sukir membiarkan hal itu dipendam sendiri, sehingga mempengaruhi komunikasi mereka.
Waku kurang dari dua jam, mereka habiskan dengan obrolan-obrolan singkat saja. Suasana masih kurang enak dan masing-masing masih menjaga kata yang keluar, agar tak salah. Khawatir jika emosi yang terlibat di dalamnya, hingga menjadi kacau kembali.
Announcer memberitahukan KA Wijaya Kusuma sebentar lagi akan memasuki stasiun Jember, menuju pemberhentian terakhir di Cilacap.
"Have fun ya, untuk trip kamu berikutnya di Banyuwangi. Maaf aku nggak bisa menemani kamu sampai trip ini selesai." Karin mempersiapkan tasnya dan bungkusan oleh-oleh yang ia sempatkan beli di depan stasiun, untuk ia berikan pada teman-teman di cabang Yogyakarta, yang akan menjadi kantor barunya sementara.
"Maaf aku nggak bisa menemani kamu ke Jogja."
"Udah ah, nggak usah minta maaf terus. Aku ngerti kok."
"Belum, kamu belum ngerti," ujar Sukir, memastikan bahwa yang dipikirkan oleh Karin salah, sekalipun ia tak tahu apa yang ada di benak Karin.
Karin enggan membahas lebih lanjut. Ia memilih menuju pintu masuk untuk check in tiket. Sukir tidak dapat masuk ke dalam karena hanya yang memikilki tiket yang bisa masuk. Tiketnya menuju Banyuwangi belum bisa digunakan untuk masuk ke dalam stasiun, karena keretanya baru tersedia sore nanti.
"Sukses untuk karir kamu di Jogja, ya?" Sukir mengulurkan tangannya, memberikan selamat.
Karin hanya melihat sekilas Sukir. Ia tidak menyambut jabat tangan Sukir, melainkan memberikan pelukan hangat pada Sukir. Suasana mulai melunak.
"Kamu hati-hati, ya. Semoga traveling kamu menyenangkan. Maaf kalau selama perjalanan, buat kamu nggak nyaman dengan keberadaanku. Makasih ya, udah mau ajak aku jalan-jalan walau hanya beberapa hari."
Kereta Wijaya Kusuma sudah bergerak pelan masuk di stasiun. Beberapa penumpang sudah bersiap di peron, menunggu kereta berhenti.
Sukir merasa bersalah. Dirinya yang selama perjalan, seringkali membuat suasana menjadi kurang menyenangkan dan beberapa kali berselisih. Ia menikmati detik demi detik pelukan Karin. Hangat dan nyaman.
Karin melepaskan pelukannya. Ia ingin perpisahan mereka di Jember dalam keadaan baik-baik saja, tak ada perselisihan atau hal yang mengganjal di hati. Karin sangat menjaga itu, karena ia mulai memahami Sukir, yang masih belum sepenuhnya bisa mengendalikan perasaannya.
"Kalau ada waktu, mampir ke Jogja, ya."
"Aku nggak bisa janji ya."
Mereka berpisah di ruang tunggu. Sukir hanya bisa menatap Karin yang semakin jauh berada di dalam stasiun dan sudah menghilang di balik pintu kereta.
Mereka berpisah di Jember, yang seharusnya bersama dalam perjalanan dan pulang kembali ke Jakarta. Kini, mereka akan menjalankan urusan masing-masing. Karin dengan urusan pekerjaannya, Sukir melanjutkan traveling menuju kota berikutnya, yaitu Banyuwangi.

*******
*******

Sukir Bankir Getir! (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang