"Maaf Kir, itu kesalahan lo, bukan gue."
"Lalu apa fungsi lo sebagai supervisor ketika ada misdata seperti ini? Lo nggak cek dulu sebelum dikirim?"
"Buat apa gue cek lagi? Kalau setiap pekerjaan gue cek, berarti selalu ada yang salah dari pekerjaan lo."
"Nggak begitu juga konsepnya. Setidaknya dual control ... Mbak." Hampir saja Sukir menyebut nama Dinda tanpa kata sapaan yang dianggapnya sebagai penghormatan.
"Lo, kan, udah senior. Masa harus gue cek lagi kerjaan lo? Kalo Okta, jelas gue awasi, karena dia baru di kredit."
"Kalau lo memang nggak mau back up gue, lantas, gue yang maju menghadap regulator untuk menjelaskan?"
"Ya, semestinya begitu."
"Selama gue kerja di sini, nggak pernah bawahan yang menghadap regulator. Selalu supervisor."
"Kalo selalu supervisor, berarti bawahan lepas tanggung jawab atas kesalahannya sendiri."
"Ini kenapa ribut di sini? Kedengaran sampai luar." Bu Manda seketika muncul, ia risi dengan perselisihan timnya.
"Ada temuan dari regulator tentang data yang tidak valid," jawab Dinda.
"Kamu sudah cek?" Pandangan Bu Manda pada Sukir, memastikan tak ada kesalahan.
"Sudah, Bu."
"Kamu juga sudah cek?" Bu Manda ganti menatap Dinda. Yang ditatap tak langsung menjawab, tapi meilirk sekilas pada Sukir. Sementara Sukir memilih membuang muka, enggan merespon gestur lawannya pagi itu.
"Belum Bu. Saya rasa tak perlu cek lagi karena data sudah pasti sesuai," jawab Dinda, kembali menghadap Bu Manda.
"Kir, kamu e-mail ke saya data itu." Bu Manda tak ingin berlama-lama.
"Baik, Bu," jawab Sukir, tegas.
"Sepuluh menit lagi, kamu ke ruangan saya." Bu Manda kini pada Dinda.
Selepas Bu Manda masuk ruangan, Sukir hendak kembali ke kubikel, namun ditahan Dinda.
"Kalo tadi kita nggak berdebat, nggak seharusnya Bu Manda tau hal ini." Dinda menyudutkan Sukir.
"Loh, bukannya bagus kalo Bu Manda tau? Jadi beliau bisa menyiapkan argumen yang tepat untuk menjawab komentar regulator."
"Tapi nggak harus Bu Manda yang jawab."
"Lo itu Supervisor gue, harusnya lo yang back up gue. Bukan jorokin. Dan, belum tentu juga data yang gue kasih itu salah."
"Kalau datanya benar, pasti nggak ada pertanyaan dari regulator." Dinda memilih tidak menanggapi pernyataan awal Sukir.
"Udah selesai, kan? Gue mau kirim e-mail." Sukir memilih mengakhiri perdebatan dan berlalu ke kubikel, tanpa menunggu jawaban Dinda.
Sedari tadi Riri dan Agnes diam-diam memperhatikan perdebatan kedua rekan kerjanya. Sementara itu, Okta yang berada di sebelah kubikel Sukir, juga mendengar perdebatan itu, tapi matanya memilih untuk menatap monitor. Telinga tetap standby ke pusat perdebatan.
"Mas, mau kue cucur?" Okta menyodorkan jajanan pasar yang ia beli di dekat rumah.
"Nggak, Ta, makasih," tolak Sukir, tak sedetikpun memalingkan wajah pada Okta.
Okta mengerti suasana hati Sukir yang kacau. Pagi harusnya menjadi awal yang baik dalam melewati hari, namun harus dirusak dengan perdebatan tadi.
"Bu Riri, Agnes, mau cucur, nggak?" Okta menawarkan dua rekan kerjanya sambil menunjukkan bungkusan plastik transparan berisi beberapa kue cucur.
"Mauuu..." Riri dan Agnes berhambur menuju kubikel Okta.
"Kenapa lagi, Kir?" Riri memghampiri Sukir setelah mengambil cucur di meja Okta.
"Mbak dengar sendiri tadi, kan."
"Gimana minggu lalu? Sukses?" Riri bertanya perihal Sukir yang melakukan interview di Bank Satya Kencana. Setelah Riri menginformasikan lowongan, saat itu juga Sukir mengirimkan CV dan luar biasanya, ia langsung ditelepon oleh HRD bank tersebut dan dijadwalkan interview dengan User dan HRD bersamaan.
"Minggu ini mau dikabari."
"Mudah-mudahan jodoh, Kir. Biar bisa bebas dari benalu. Lama-lama lo bisa rusak karena Dinda." Riri bersuara pelan, agar tak terdengar Agnes dan Okta.
"Amin."
"Tapi, masalah tadi, lo yakin benar?"
"Yakin, Mbak. Kita lihat nanti gimana respon Madam dari data yang saya kirim ini." Sukir memencet mouse.
Klik! E-mail terkirim ke Bu Manda sesuai permintaan beliau.
Ada panggilan masuk, nomor asing muncul di layar ponsel Sukir.
"Terima di luar aja. Siapa tau jodoh lo." Riri memberikan saran saat Sukir bigung untuk menerima panggilan tersebut.
"Biar gue yang urus kalo dia nanyain lo." Riri paham maksud Sukir ketika melihat ke arah Dinda.
"Makasih, Mbak." Sukir dengan gerak bibir tanpa suara, lalu keluar ruangan kredit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sukir Bankir Getir! (Tamat)
General FictionKisah karyawan Bank bernama Surendra Kiran, atau biasa dipanggil Sukir, yang selalu saja menghadapi kenyataan yang getir, mulai dari karir, percintaan, hingga rumah tangga. Sudah dua tahun ia menduda dan mulai coba membuka hatinya kepada orang baru...