"Enak banget lo pulang?! Masih banyak yang mesti elo selesaikan. Filling dokumen punya gue masih numpuk," Riri melihat Sukir yang sudah bebenah di kubikel.
"Biarin aja kenapa sih dia pulang, sekali-kali nggak lembur. Biar cepat dapat jodoh lagi dan nggak dihina elo lagi sebagai duda fakir cinta," Wida membela Sukir. Sukir bersyukur sore ini tak ada penindasan yang maksimal.
"Tumben banget belain Sukir nggak lembur? Biasanya elo merepet kalo Sukir pulang lebih awal dari elo," Riri curiga, ia menggeser kursinya yang beroda, tanpa beranjak dari kursi mendekati kubikel Wida.
"Ooo...Pantesan belain Sukir, Pisang pasir numpuk gitu," Riri memukul pelan pundak Wida yang membelakanginya.
"Elo nyogok Wida aja? Gue nggak?" Riri kini menyerang Sukir, yang sudah berdiri dan bersiap pulang.
"Gorengan pula. Susah banget emang elo berdua kalo diingetin," lanjut Riri, kali ini ia pasrah.
"Tinggal minta sama Mbak Wida. Itu saya beli banyak kok," Sukir menunjuk pada kotak berisi pisang pasir di sudut kubikel Wida.
"Enak aja," tangan Wida gesit merebut kotak pisang pasir dan mengamankan di pelukannya.
'Pelit banget sih!" cibir Riri. Sore ini tak jadi polisi makanan untuk Wida, tapi menjadi pesaingnya dalam menyantap Pisang pasir.
"Mbak Wida, kasih Mbak Riri satu atau dua, gitu. Biar saya bisa pulang dengan selamat," Sukir memelas, coba membujuk agar arogansi Wida pada gorengan melunak.
"Berkurang dong jatah gue," Wida tidak terima begitu saja.
"Senin saya beliin lagi deh. Tapi pisang kipas ya?" bujuk Sukir. Dua Mamak ini memang selalu repot. Namanya juga MakRempz, yaitu Mamak-Mamak Rempongz.
"Waaah...Apa tuh? Aku mau dong," Agnes baru saja pulang pengikatan kredit langsung nimbrung di kubikel Wida.
"Yaaah...Makin berkurang jatah gue deh. Bayarin kalo mau," Wida semakin tak mau melepas kotak pisang pasir dalam pelukannya.
"Senin saya beliin lagi deh yang banyak. Beneran Mbak. Tolong biarkan saya pulang dengan tenang dan selamat, Mbak. Daripada saya diamuk sama Mbak Riri dan Agnes," pinta Sukir, lebih memelas lagi.
"Nih..." Wida akhirnya pasrah jatahnya harus dikurangi untuk Agnes dan Riri.
"Jangan banyak-banyak," lanjut Wida, ketus.
"Gue bukan elo kali Wid, bisa makan banyak," Riri mengambil satu dari kotak.
"Iya Mbak. Aku mau icip aja kok. Kalo enak baru aku nambah," Agnes juga mengambil satu pisang.
"Udah..udah....kembali ke tempat kalian semua. Kerja. Kerja," usir Wida menutup kotak pisang dan mengamankannya ke dalam laci meja.
"Saya duluan ya," Sukir pamit.
"Mas Sukir tumben pulang cepat? Mau pacaran yaaa..." tanya Agnes.
"Kalo dia udah pacaran, sesajen di meja gue bukan lagi pisang pasir, tapi 10 tandan pisang dari kebon!" ejek Wida, diikuti tawa dari Riri dan Agnes. Sukir hanya tersenyum kecut.
Dua senior dan satu junior itu memang tiada saingannya di kantor. Terkadang mereka menjadi rekan kerja yang baik, teman yang bisa diajak kerja sama apabila ada masalah yang harus ditutupi dan disembunyikan dari Pak Burhan atau Madam Manda. Terkadang juga bisa menjadi penjahat yang selalu mengancam dan meminta tebusan berupa jajanan pinggir jalan yang menjadi menu favorit mereka. Bukan makanan mahal di Pacific Place atau Grand Indonesia. Cukup gorengan di belakang gedung atau es dawet. Kalaupun menunya untuk makan siang, cukup dengan nasi plus ayam geprek dengan sambal level lima yang membaluri sekujur tubuh ayam. Mereka paham kalau isi dompet Sukir tak setebal dompet mereka.
Pulang menggunakan ojek online, Sukir tak menuju atasiun, melainkan ke Tama Ismail Marzuki (TIM). Sore itu TIM sudah ramai dan memang biasanya ramai, terutama menjelang akhir pekan. Segala kegiatan mulai dari berlatih tari, akting, musik, teatrikal, pantomim, atau hanya sekadar menikmati sore menjelang malam dengan makanan pinggir jalan seperti Sate Padang, nasi goreng, pecel lele, maupun jajanan lainnya. Selepas maghrib para penjaja makanan sudah menyiapkan lapaknya dan mennggelar tikar serta terpal di pelataran depan TIM.
Sukir menyusuri parkiran menuju gedung Graha Bhakti Budaya, tepat berada di belakang.
Seharusnya malam ini ia lembur, tapi setelah berhasil melakukan percobaan suap dengan pisang pasir kepada Wida, akhirnya ia terlindungi dari serangan Riri yang tak sudi bila juniornya ini tidak ikut lembur.Malam ini adalah untuk yang ke lima kali Sukir menyaksikan pertunjukan di TIM. Pertama kali ia nonton tahun lalu. Cukup lama ia merasakan dahaga pertunjukan teater, semenjak menikah hingga akhirnya berpisah. Bukan tentang merasakan kebebasan setelah berpisah, tetapi tentang menikmati apa yang ia suka dan senangi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sukir Bankir Getir! (Tamat)
General FictionKisah karyawan Bank bernama Surendra Kiran, atau biasa dipanggil Sukir, yang selalu saja menghadapi kenyataan yang getir, mulai dari karir, percintaan, hingga rumah tangga. Sudah dua tahun ia menduda dan mulai coba membuka hatinya kepada orang baru...