Berlanjut

21 2 0
                                    

"Suk, kamu sama Okta cancel penerbangan pulang ke Jakarta, ya. Kalian langsung ke Jogja." Suara Davina di ujung telepon, saat Sukir sedang membereskan pakaian dan memasukan barang lainnya ke dalam carrier. Mereka baru saja pulang dari Bromo dan sudah berada di hotel.
"Loh, mendadak, Mbak?"
"Iya. Kemarin malam Pak Charles info, ada proposal atas nama relasinya sedang diajukan ke analis. Marsya yang langsung handle. Ini Take over, Suk. Jadi, Senin kamu cek jaminan ke bank-nya. Kamu stay di Jogja sampai Rabu. Nanti semuanya biar saya infokan ke Okta, Biar dia yang atur dan komunikasi dengan HRD untuk perjalanan dinas tambahan ini." Menyesuaikan posisi yang dijabat saat ini, Davina kini memakai kata ganti sapa menjadi 'saya' dan 'kamu'.
Sekadar informasi tambahan, Pak Charles adalah Direktur Utama dari Bank Sarap.
"Tapi, Mbak ..... " Sukir belum selesai, Davina sudah menyerobot.
"Ini Roro Jonggrang, Suk. Bisa aja senin langsung cair."
"Oke, Bos."
Kalau sudah ada kata sakti 'Roro Jonggrang', Sukir bisa apa? Hanya remahan rengginang di mata bos besar. Cukup ikuti saja perintah dan jangan membantah satu kata pun. Roro jonggrang adalah istilah yang biasa mereka, para penghuni Divisi Credit, ketika ada proposal kredit yang diusung oleh kolega para petinggi maupun relasi dari BOD. Bila para pemangku jabatan di Bank Sarap sudah berkehendak minggu depan, luas, atau bahkan besok, harus bisa dilakukan pencairan kredit, maka, mereka para jin Bank Sarap seperti Sukir, akan bekerja semaksimal mungkin hingga tetes liur terakhir.

Kalau Roro Jonggrang meminta dibuatkan candi dalam satu malam, kalau di sini, para kolega dan juga pemangku jabatan meminta Sukir dan yang lainnya agar semua selesai hari ini juga dan besok bisa pencairan kredit. Nominalnya pun bukan recehan. Bisa di atas sepuluh milyar. Untuk Bank yang masih dalam masa pertumbuhan seperti Bank Sarap, nominal kredit sebesar itu sudah cukup besar dalam satu debitur. Rata-rata hanya kisaran satu sampai dengan di lima milyar. Kalau sudah menyentuh dua digit, maka semua akan turun tangan. Mulai dari Davina, Madam, Marsya, hingga Pak Charles sendiri langsung datang untuk pengikatan kredit.

"Mas Sukir." Suara dari depan kamar, diikuti dengan ketukan pintu beberapa kali. Sukir hapal suara itu, milik Okta.
Sukir membuka pintu dan mendapati Okta nampak tergesa-gesa.
"Iya, kenapa, Ta?"
"Mas Sukir udah ditelepon sama Mbak Davina?"
"Udah, Ta. Baru aja. Jadi, gimana?"
"Aku udah kontak Mbak Filia, orang HRD yang urus perjalanan dinas kita. Minta dibantu untuk cancel penerbangan ke Jakarta dan ganti rute ke Jogja. Tapi untuk besok penerbangan sudah full. Kalau mau ke Surabaya dulu."
"Malah tambah biaya dan waktu, Ta."
"Habis, gimana, Mas?"
"Udah cek kereta untuk malam ini ke Jogja?"
"Belum sih, Mas. Sebentar saya coba cek." Okta membuka aplikasi, memastikan jadwal kereta dari Malang ke Yogyakarta. Sementara itu, Sukir juga ikut mengecek juga dari ponsel sendiri.
"Ada, tapi nanti malam jam delapan, Mas. KA Malioboro Ekspres. Tapi, sampai Jogja jam tiga pagi." Okta menunjukkan layar ponselnya pada Sukir.
"Jangan deh, kita ambil perjalanan kereta besok pagi aja. Ini saya juga sedang cek jadwal. Besok pagi masih tersedia kereta Malioboro Ekspres yang jam delapan. Sampai Jogja jam setengah empat. Biar minimalisir pengeluaran penginapan juga. Di sini, kan, kita sudah bayar sampai besok. Kalau kita berangkat malam ini, tambah biaya untuk penginapan lagi di Jogja pas kita sampai." Jelas Sukir. Ia mau saja untuk melakukan perjalanan malam ini. Tapi, mengingat pesan dari Management untuk sebisa mungkin menekan cost, karena ini juga menyangkut pos anggaran untuk Departemen Legal Kredit. Jadinya, Sukir memilih berangkat keesokan hari menggunakan kereta.
"Okta coba telepon Mbak Filia, minta dipesankan kereta besok pagi. Malioboro Ekspres."
"Oke Mas." Okta lalu beranjak meninggalkan depan kamar Sukir menuju kamarnya, sambil menghubungi Filia.
"Mbak, saya berangkat ke Jogja besok pagi dengan kereta api. Pesawat sudah full." Sukir menelepon Davina setelah masuk ke kamar.
"Oke, Suk. Kamu nanti pastikan semuanya. Jangan ada yang salah. Siap-siap aja kalau tiba-tiba ada kabar mendadak lagi."
"Sudah terbiasa jadi jin-nya Roro Jonggrang. Tenang aja," sahut Sukir sambil tertawa.
"Oh iya, Suk, jangan lupa pesenan Bu Manda. Kalau kamu repot, dipaketin aja via ekspedisi. Lebih efisien dan nggak repot. Kamu, kan, harus ke Jogja dulu."
"Iya, Mbak. Nanti sore atau malam saya cari titipan Bu Manda." Cukup bawel Davina pada Sukir, tapi masih dalam taraf wajar. Mungkin karena posisinya yang sudah naik, sifat jeleknya mulai berkurang. Begitu pikir Sukir.

Sukir Bankir Getir! (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang