Kakak Tidak (Sudi) Satu Darah

42 5 0
                                    

Sukir hanya memperhatikan dari kubikelnya, tak bereaksi apa-apa. Salah bersikap, nyawanya jadi bulan-bulanan Riri.
"Halo, Pak. Ini, saya sudah di Legal Credit, dengan Bu Riri. Tapi belum bisa pengikatan, Pak." Bari ditelepon oleh Doni, Branch Manager-nya.
"Siapa, tuh? BM lo? Sini, gue yang ngomong!" Pinta Riri, memaksa.
Bari merelakan ponselnya diraih secara paksa. Ponsel yang diakui olehnya dalam status angsuran ke 5. Cicilan belum selesai, bila terjatuh dan rusak, selesailah sudah. Bila tensi Riri meninggi, bisa melayang handphone Bari entah ke mana saja. Random.
"Pak Doni, tolong ya, kalo syarat belum dipenuhi nggak usah maksa pengikatan. Penuhi dulu syarat dari Komite Kredit," ujar Riri. Ia menekan tombol loud speaker. Menggelegar suara pak Doni dari ponsel Bari.
"Ri, kalau syaratnya dipenuhi belakangan, bagaimana?" Pak Doni bernegosiasi. Ia tak sadar, suaranya terdengar satu ruangan.
"Ya sudah, pengikatannya belakangan juga. Simpel, kan?" Riri mematikan dan mengembalikan ponsel Bari.
Tugas Legal Kredit seperti anjing penjaga. Bukan karena ingin menjegal pencapaian target cabang, melainkan sebagai penjaga terakhir dalam penyaluran dana kepada debitur. Ketika proposal sudah mendapat persetujuan, tidak begitu saja bisa pengikatan kredit dan pencairan dana. Di setiap persetujuan, ada syarat yang tercantum dalam memo Komite Kredit. Sehingga, Legal Kredit bertanggung jawab terhadap kelayakan dan kelengkapan pemenuhan syarat dari debitur untuk pencairan kredit.
"Kamu kalo disuruh BM jangan nurut aja. Lihat dulu syaratnya. Udah clear apa belum? Kalau belum, ya penuhi dulu," tensi Riri nampak sudah menurun.
"Iya, Bu." Bari mengangguk-angguk.
"Kalau dibilangin Bu Riri jangan iya aja," sela Wida.
"Diem aja lo, Cong! Gue lagi nasehatin Bari," omel Riri pada Wida.
"Dia RO baru, Ri. Dikasih tahu pelan-pelan juga paham. Nggak usah ngegas."
"Ini gue udah nggak ngegas." Riri membela diri.
"Ah, ngomong sama elo susah menangnya!"
"Biarin!"
"Bari, ini kan laporan keuangan harus dipenuhi. Kalau belum bisa, coba ke analis, mungkin ada masukan dari mereka. Karena ini syarat dari Komite," saran Riri pada Bari.
"Oh, baik Bu. Coba saya tanyakan dulu." Bari menerima proposal debitur yang dikembalikan Riri. Secepat kilat Bari menuju departemen Analis.
"Dari tadi ngomong kayak begitu aja, kan, enak, Ri. Nggak usah keramasin Bari. Kasihan, baru juga ketemu lo," cibir Wida.
"Biar kapok. Besok-besok nggak potong kompas lagi minta pengikatan."
"Si Bari tadi dikeramasin, bawa sampo sendiri apa disediain Mbak Riri?" Sela Sukir, setelah kondisi stabil, ia nimbrung.
"Berisik lo, Kir!" Hardik Riri.
"Mas Bari keramas di mana? Memangnya boleh keramas di kantor?" Timpal Agnes, membuat suasana kembali panas. Ada bagusnya dia nimbrung, jadi Sukir tidak merasa seorang diri menyusahkan Riri.
"Nes, lanjut kerja! Fokus! Biar makin pintar," saran terbaik dari Wida.
"Oke sip!" Agnes mengacungkan jempol.

***

Ghibah, Menu Santap Siang
"Kita makan siang di mana?" tanya Agnes, menyadari sudah waktunya makan siang.
"Kir, traktir gue dong. Uang lembur lo kenceng, kan, bulan lalu?" Teriak Wida.
"Traktir gorengan aja, ya?" Bujuk Sukir.
"Oke!" Respon cepat Wida.
"Elo cepat banget kalo makanan nggak sehat."
"Yang nggak sehat itu yang enak," pembelaan Wida.
"Udah buruan kita turun, sebelum pak Burhan dan bu Manda selesai meeting. Kalo mereka ikutan, batal deh kita ghibah orang kantor," dorong Riri kepada teman-temannya untuk segera meninggalkan ruangan menuju lift.
"Lagipula mana mau dua bos kita makan di pinggiran gedung?" Ujar Wida yang terus mendapatkan paksaan dorongan dari Riri menuju lift.
"Bukan mereka yang ikut kita, tapi kita yang akan diajak mereka makan di foodcourt,"
"Enak ituh, gratisan." Wida yang memang selalu merasa tersalurkan hobi makannya apabila ada kabar traktiran.
"Nggak usah murahan gitu deh cari gratisan," cibir Riri.
"Yah Ri, gue kan pengen makan enak." Wida penuh harap.
"Nggak ada gratisan!" Riri masih sewot.
"Kir, nggak ada traktir gorengan. Buah aja." Riri kemudian mewanti-wanti.
"Yah, Mbak, buah lebih mahal dari gorengan," protes Sukir.
"Iya, Ri, kasihan Sukir keluar banyak uang. Gorengan aja yang murah, nggak apa-apa, kok." Wida merajuk.
"Nih anak susah banget dibilangin. Nggak ada gorengan! Tempo hari, pulang kerja, elo udah gila-gilaan makan gorengan. Siang ini mau makan gorengan lagi. Nanti anak lo berminyak!" Riri terlalu hiperbola.
"Emangnya bisa, Mbak, bayi keluar dengan minyak? Bukannya air ketuban?" Tanya Agnes.
"Nes, mendingan elo hamil sekarang, deh!" Riri jengkelnya sampai ke ubun-ubun. Pertanyaan Agnes sudah keterlaluan.
"Aku belum siap punya anak Mbak. Lagipula aku masih single. Siapa yang hamilin aku?" Ujar Agnes, berusaha melakukan pembelaan yang sama sekali tak membantu.
"Nih anak minta dihamilin kali, ya." Wida ikut gemas.
"Saya memang punya pengalaman menikah, tapi belum teruji, ya. Jangan saya." Sukir sudah mewaspadai sebelum mendapatkan serangan.
"Gila lo, Kir!" Cibir Riri.
"Ih, Mbak Riri kok bilang Mas Sukir gila? Kan, memang sudah pernah menikah." Agnes kini membela Sukir, namun tetap tak membantu. Diskusi tak berfaedah ini cukup membuang waktu hingga mereka menyadari sudah berada di warung tenda belakang gedung.
"Nes, mendingan elo pesen makanan seperti biasanya," perintah Wida, menghindari arah pembicaraan semakin tak menentu.
Selang Agnes kembali, tak lama makanan diantar oleh ibu penjual.
"Kir, sini piring lo." Riri selalu membelah porsi nasinya dan memberikannya pada Sukir.
Mereka berempat sepakat untuk menyantap soto betawi. Wida sudah tenggelam dalam nikmatnya menyantap soto. Bulir keringatnya berpacu di segala penjuru.
"Kalem, Wid. Nih, tisu. Hati-hati nyemplung ke kuah." Riri menyodorkan tisu ke pinggir mangkok Wida.
"Biarin. Vitamin." Wida masa bodo.
"Sakit!" Sahut Riri.
Selanjutnya menjad hening. Mereka sibuk sendiri menyantap makan siang.
"Eh, si kakak akad di mana? Dari pagi belum balik," tanya Wida, hanya tinggal menyendokkan kuah. Makan siang dengan teknik tinggi membuat Wida memecahkan rekornya sendiri. Dalam waktu empat menit, dia mampu menghabiskan satu porsi.
Kakak yang dimaksudkan oleh Wida adalah Davina. Ia bergabung di bank Sarap pada dengan Wida.
"Kayaknya anak Mbak Wida nanti kembar, deh. Makannya lahap gitu. Atau, apa memang lagi kalap?" Pandangan Sukir, yang disambut dengan lemparan tisu dari Wida tepat mengenai wajah Sukir lalu tisu itu masuk ke dalam mangkok soto di hadapannya yang belum habis.
"Yah, Mbak ... tinggal dua sendok lagi, ini." Sukir hanya meratapi kuah soto yang telah bercampur rendaman tisu.
"Sukur!" Cibir Wida tanpa suara. Bibirnya menampakkan ambisi penuh kekesalan.
"Kakak akad di Muara Karang. Sekalian nyeberang ke Pulau Seribu, kali," jawab Agnes menyantap kudapan penutupnya, tahu brontak.
"Semoga nggak ada kapal lagi yang balik ke Jakarta, biar dia bermalam di sana. Amin!" Harapan dari Sukir.
"Amin!!!" Serempak diikuti yang lainnya.
"Eh, tapi kok Mas Sukir kayak penuh dendam gitu harapannya?" Selidik Agnes, curiga ada hal yang ia lewatkan.
"Hari Jumat lalu, pagi-pagi dia udah disemprot kakak. Katanya, dia nggak siapin mobil untuk akad kredit. Habis itu, disindir lagi, katanya kalau info apa-apa jangan hanya WA, tapi telepon juga." Riri mewakili Sukir memberikan penjelasan.
"Saya kurang apa coba, Mbak? Ditelepon nggak diangkat. Di WA nggak dibales. Sampai saya tinggalin note di pinggir monitor dia juga, masih dibilang nggak komunikatif, nggak menyampaikan ke dia. Dia aja yang susah dihubungi kalo di atas jam delapan malam. Sementara, saya tunggu kabar dari bagian umum sampai jam sepuluh malam supaya bisa book mobil," cerocos Sukir, menumpahkan kekesalan yang terpendam sejak akhir pekan lalu.
"Lo kan tahu, kalo udah di atas jam delapan malam itu saatnya dia tebar pesona dari satu kafe ke kafe lainnya. Cari jodoh," ledek Wida.
"Itu malam Jumat, loh, Mbak. Dia mau cari jodoh, apa cari tumbal?" Sukir dengan dongkolnya, diikuti tawa puas tiga rekanya.
"Sadis lo," oceh Wida.
"Biarin."
"Tapi ya, masa dia nggak lihat HP sama sekali?"
"Yang sadisnya lagi, kasih tahu Kir." Riri memberikan clue agar Sukir melanjutkan cerita kemalangan pagi itu. Riri lihai membuka narasi provokasi ke Sukir.
"Jumat pagi, sebelum dia banting pantat teposnya di kursi, ngomong dengan judesnya, dia udah nungguin di kos sampai jam delapan tapi nggak ada yang jemput. Kan, semalam saya udah WA, kalo mobil kantor nggak bisa keluar jam enam pagi untuk jemput ke ujung Jakarta paling barat, sementara kantor kita di Jakarta Pusat."
"Harusnya dia mikir, janjian di mana gitu, posisi tengah, lah. Biar driver nggak kejauhan jemput, dia juga nggak kelamaan nunggu," pendapat Riri.
"Itu kan kalo lo. Tapi ini kakak lo," cibir Wida.
"Enak aja, kakak lo tuh." Riri tak terima.
"Kakak dari dua adek ini, nih." Wida akhirnya mengalihkan arah ke Sukir dan Agnes.
"Nggak mau! Enak aja! Aku lebih milih jadi anak tunggal daripada punya kakak seperti dia." Agnes menolak keras.
Mereka tertawa puas.
Di dunia kerja, khususnya pada setiap tim maupun divisi, selalu saja ada figur prontagonis dan antagonis. Ada yang disenangi, dan ada yang dibenci. Selain itu, ada juga yang dipuja dan dihujat. Satu figur yang paling menjadi sosok antagonis dari Departemen Legal Kredit adalah Davina. Salah satu senior Manager di Departemen Legal Kredit yang selalu menjadi bahan kasak-kusuk persekutuan ghibah.
Sebagai Pribadi, Davina sosok yang ramah dan bersahabat. Namun bila disandingkan figurnya sebagai pekerja profesional, ia sosok yang tak bisa kompromi, saklek, dan kaku terhadap situasi kerja.
Suatu ketika Sukir mendapatkan pengalaman pahit berkaitan dengan Davina.
"Kenapa lo? Muka udah kayak dompet tanggung bulan," tanya Riri, yang duduk tepat di kubikel hadapan Sukir.
Ia tak menjawab, hanya gerak bibir menunjuk kubikel Davina. Sukir tak dapat menyembunyikan kekesalan di wajahnya.
"Kenapa lagi sama kakak kesayangan?" Bisik Riri, mendekat.
"Dia nggak mau tanda tangan." Sukir menunjukkan Lembar Perintah Pencairan (LPP).
"Alasannya?"
"Nanti aja sama Bu Manda."
"Madam lagi meeting dari tadi pagi."
"Justru karena dari pagi, jadi tunggu Madam. Siapa tau, sebentar lagi udah selesai Meeting dengan BoD. Gitu katanya."
"Debitur butuh dana, kita malah menahannya. Sakit tuh orang," maki Riri.
Ketika semua dokumen sudah lengkap dan pengikatan kredit sesuai prosedur serta ditanda tangani debitur, maka tahap terakhir adalah pencairan dana. Pencairan dana juga ada prosesnya, yaitu terbitnya Lembar Perintah Pencairan sebagai dasar dari Departemen Admin Pinjaman untuk droping dana ke rekening Debitur. LPP harus ditanda tangani minimal dua orang pejabat bank yang menerima kuasa dari direksi, tercantum dalam Surat Kuasa Direksi. Dalam hal ini, yang berhak membubuhkan tanda tangan adalah bu Manda, pak Burhan, Riri, Wida, dan Davina. Untuk Sukir dan Agnes, mereka belum mendapat kepercayaan untuk kuasa tanda tangan.
"Ada apa, sih? Bisik-bisik. Ada gosip baru, ya?" Agnes yang baru muncul dari toilet, dengan suara agak keras, langsung dipelototi Riri agar mengecilkan suaranya.
"Jangan berisik, nanti kakak dengar."
"Ini, kakak nggak mau tanda tangan." Sukir menunjukkan LPP.
"Sini, aku yang tanda tangan." Agnes menawarkan diri.
"Kalo lo udah punya kuasa, ngapain Sukir nganter nyawa ke kakak di ujung sana?" Suara pelan Riri diselingi tawa dari Agnes dan tatapan nyinyir Sukir.
"Madam lagi ke mana?" Tanya Agnes.
"Meeting di bawah sama BoD. Persiapan Project si B3 alias Bapak Big Boss," jawab Sukir.
"Lo mending ke bawah aja, susul Madam. Dia pasti mau diganggu sebentar untuk tanda tangan. WA dulu. Pasti Madam mau keluar sebentar."
"Iya, tapi pasti Madam tanya, 'nggak ada orang? Burhan? Davina? Wida sama Riri?'. Saya jawab apa?"
"Lo jawab yang sebenarnya. Di atas cuma ada gue. Wida sama pak Burhan lagi akad. Davina lagi main sim city yang nggak mau diganggu, takut kotanya kebakaran dan didemo warga!" Jelas Riri, sewotnya bukan main, mengalahkan Sukir.
"Tau banget, Mbak, game itu?"
"Laki gue mainan juga!"
"Pantesan sewot. Dianggurin, ya?" Sukir meledek.
"Sukir! Gue timpuk nih!" Riri sudah mengambil ancang-ancang merebut kotak pensil di meja.
"Ampun Mbak." Sukir secepat kilat kabur meninggalkan ruangan untuk menuju lantai bawah sesuai saran Riri, meminta tanda tangan Madam.
"Memangnya, Sim City bagus, ya, Mbak?" tanya Agnes dengan polosnya.
"Nes, lo mau gue jambak, nggak?" Riri sinis.
"Jangan Mbak, saya baru keramas. Sayang kalo kusut lagi." Agnes geleng kepala, masih dengan polos, membelai rambutnya.
"Ya udah, diam! Oke?" Riri dengan tegas dan mengancam.
"Oke," Agnes pasrah.
"Bagus Nes. Coba aja main itu. Kalo nggak bisa mengatur kota, bisa rusak dan hancur. Tapi kalo kecanduan, juga bisa bikin rusak dan hancur rumah tangga." Sukir sempat menongolkan kepala, meledek Riri sekali lagi.
"Sukir!"
"Mbak ... " Agnes belum selesai, sudah dipotong dengan tegas oleh Riri.
"Agnes!"
Kali ini Riri tak main-main. Setelah memotong perkataan Agnes, ia melempar pensil ke pintu. Beruntung Sukir cepat menutup pintu hingga pensilnya hanya membentur pintu.

*******

Sukir Bankir Getir! (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang