Berkisah Lampau

23 3 0
                                    

"Gara-gara kamu, kita ketinggalan kereta!" Baru kali ini Sukir mendapat serangan begitu keras dari Karin. Ia tak tahu mengapa Karin tiba-tiba emosi seperti ini.
"Loh, kok salah aku?!"
"Kalo kamu nggak kelamaan ngobrol sama mantan ibu mertuamu itu, kita sudah di kereta menuju Malang!"
"Kalo kamu nggak menghilang tiba-tiba, kita nggak perlu membuang-buang waktu! Aku kira kamu beli tiket untuk kita. Telepon nggak diangkat, WA nggak dibalas. Aku muter dan bolak-balik cari kamu, ternyata kamu malah di luar." Sukir merasa ia tak bisa begitu saja disalahkan. Karin juga tadi menghilang begitu saja tanpa pamit.
"Berapa lama aku harus nunggu kamu selesai ngorol?!" nada bicara Karin meninggi, kemudian ia membuang muka dan berjalan menjauh. Karin Memilih duduk di kursi yang agak jauh dari Sukir.
Sukir baru menyadari kalau di dekatnya ada Bisma. Sedari tadi ia menunggu. Lebih tepatnya menunggu motor mililnya yang dipakai Sukir hari ini.
"Liburan, bukannya senang-senang malah pada berantem, Mas." Bisma menghampiri dan duduk di sebelah Sukir.
"Maaf ya, Bis, kelamaan tunggu kami?" Sukir meminta maaf pada Bisma sembari menyerahkan kunci motor dan STNK.
"Nggak apa-apa, Mas. Santai aja."
"Lagi kenapa, Mas?" Bisma menggesturkan wajahnya menunjuk Karin, yang duduk di ujung kursi ruang tunggu.
"Ketinggalan kereta. Nggak tau, deh. Nggak jelas."
"Bukan dia yang nggak jelas, Mas. Komunikasi Mas Sukir sama si mbak yang nggak jelas."
Deg! Sukir tiba-tiba tersadar, secepat itu ia menyalahkan Karin, tanpa coba berbicara dan saling menjelaskan satu sama lain. Mereka tadi bukan saling menjelaskan, tapi saling membela diri.
""Hangus, dong, tiketnya?"
"Untungnya belum beli, Bis."
"Lho, kenapa malah pada berantem? Kan, belum beli tiket. Tinggal beli tiket keberangkatan berikutnya aja, Mas."
"Ah, iya juga, ya?" Sukir baru menyadari itu.
"Kadang begitu, Mas. Emosi bisa menutupi akal sehat," sahut Bisma sambil terkekeh.
"Mas, saya pamit, ya. Yang akur. Biar holiday-nya have fun." Bisma pamit.
Ia juga tak lupa pamit pada Karin, lalu meninggalkan Stasiun Semarang Tawang.
Sukir masih bergelut dengan perasaan antara meninggalkan ego atau memenangkan perasaan tak bersalah. Sementara wanita di ujung sana masih berkecamuk dengan emosinya. Raut wajah yang kesal tetap terlihat walau ia menyibukkan diri dengan ponsel.
"Aku minta maaf, ya." Sukir merasa, ia harus tinggalkan egonya. Ini memang perjalanannya. Karin ikut karena ia yang ajak. Tapi, ia juga tak bisa seenaknya.
Lima sampai sepuluh menit adalah waktu ketika Sukir harus benar-benar tanpa melibatkan emosi untuk memulai percakapan kembali dengan Karin. Ia menerka, di awal kalimat, Karin pasti akan menumpahkan emosinya dengan segala perkataan dan argumennya.
"Ini perjalanan kamu, kamu yang merencanakan! Kamu yang sudah atur semuanya kita dari mana dan akan ke mana, singgah di mana. Jangan sampai semua yang kamu rencanakan itu jadi berantakan hanya karena hal seperti tadi."
"Aku nggak enak kalau tadi langsung pergi. Beliau ajak aku ngobrol lama dan banyak. Aku nggak enak potong pembicaraan tadi."
"Kamu nggak enak. Sekarang, rasain nggak enak sendiri, kan?! Tiket sudah keburu habis. Rencana yang udah tersusun jadi berantakan."
"Iya." Sukir pasrah.
"Untungnya belum beli tiket, jadi nggak rugi banget. Hanya rugi di waktu, yang seharusnya udah dalam perjalanan, sekarang masih di sini. Masa harus bermalam di sini lagi?"
Mereka kemudian terdiam. Emosi Karin yang cepat naik diimbangi dengan penurunan yang cepat juga.

Dua Jam Sebelumnya
Sukir dan Karin tergesa-gesa menuju lobi stasiun Semarang Tawang. Mereka mengejar waktu untuk kereta yang akan mengantarkan ke tujuan berikutnya, yaitu Malang, dengan menggunakan kereta Matarmaja.
Hujan yang cukup deras ketika perjalanan mereka sekembali dari Candi Gedong Songo membuat mereka beberapa kali menepi untuk berteduh. Curah hujan cukup deras membuat mereka sempat menunggu hingga satu jam lamanya.
Ketika hujan mulai mereda dan menyisakan gerimis, mereka menerobos agar cukup waktu untuk sampai di stasiun Semarang Tawang.
Air hujan yang berhasil menembus celah jas hujan hanya mengenai bagian bawah betis.
Sesampai di stasiun, hujan sudah reda. Bahkan sebelum mereka sampai, hujan sudah mereda.
"Tolong kamu lipat dan masukkan ke plastik, ya, jas hujannya. Aku ke loket untuk beli tiket." Sukir tergesa-gesa melepas jas hujan.
Mereka sengaja tak pesan tiket melalui online karena menyesuaikan waktu mereka di Semarang. Bila tak cukup waktu, tak perlu khawatir tiket hangus karena terlambat sampai stasiun.
Belum sampai lobi stasiun, Sukir dikejutkan oleh suara yang memanggil namanya. Pamggilan yang sangat familiar, karena beda penyebutannya.
"Mas Rendra!" Suara itu dari belakang, tak jauh dari Sukir berdiri.
"B-bunda?" Sukir berbalik dan mendapati mantan ibu mertuanya, ibu dari Namira. Wanita paruh baya bernama Hardiyani Nurwasita.
Bunda memang beda memanggil Sukir. Rendra, diambil dari penggalan nama depan Sukir, yaitu Surendra. Untuk panggilan 'Mas', kedua orang tua Namira memang cukup menghormati Sukir sehingga setiap kali memanggil Sukir, selalu diikuti kata sapa itu.
Sukir menghampiri Bunda dan mencium tangannya. Ia masih menganggap bunda sebagai orang tuanya, sekalipun sudah berpisah dengan Namira.
"Apa kabar, Mas?" tanya bunda, seraya mengusap pundak Sukir.
"Baik, Bun. Bunda sendiri gimana kabarnya?"
"Bunda kabarnya baik. Namira juga baik," bunda memberikan kabar Namira juga, yang belum ditanyakan Sukir.
"Bunda dari mana atau mau ke mana?"
"Bunda habis antar dokumen untuk ayah. Sekarang ayah dinas di Semarang, Mas."
"Oh ... syukurlah kalau pindah ke Semarang. Jado lebih dekat kalau ke Solo."
"Iya ... alhamdulillah."
"Mas Rendra mau ke mana? Bisa ada di sini?"
"Aku lagi main aja."
"Liburan? Sendirian saja?"
Di waktu bersamaan, Karin mendekat setelah selesai merapikan jas hujan di motor. Ia tak berhenti, melainkan lewat begitu saja saat melihat Sukir bersama bunda.
"Lagi main aja, Bun," jawab Sukir, sembari ia menoleh pada Karin yang berlalu dan hanya menyempatkan sedetik menatapnya. Ia juga tak menjawab pertanyaan terakhir Bunda.
"Kebetulan ketemu di sini. Ada yang mau Bunda bicarakan sama Mas Rendra."
"Ada apa, Bun?"
Sebelum melanjutkan, bunda mengajak Sukir untuk mencari tempat duduk agar lebih santai dan nyaman untuk berbincang.
"Mas, Bunda minta maaf atas perceraian kalian, ya." Bunda memulai dengan permintaan maaf.
"Sudah berlalu, Bun. Bunda juga nggak salah apa-apa, kok. Kami yang memutuskan untuk berpisah."
"Tapi Mas, ada Bunda di dalam masalah kalian. Besar atau kecil itu menurut kalian, Bunda nggak tau. Tapi menurut Bunda, itu cukup besar yang membuat keluarga kecil kalian menjadi goyah."
"Bun ... Bunda nggak salah apa-apa, kok. Beneran." Sukir coba meyakinkam bunda untuk tidak merasa bersalah.
"Bunda terlalu takut untuk dibenci Namira, sampai minta tolong sama Mas Rendra."
"Tentang?"
"Permintaan Bunda ke Mas Rendra, untuk membantu tante Anti."
Sukir sebenarnya sudah melupakan hal itu, namun karena Bunda mengungkitnya, ia jadi teringat kembali. Tante Anti, nama lengkapnya adalah Yunianti Ismaya. Beliau adalah adik dari Bunda.

Di awal pernikahan Sukir dan Namira, Bunda datang dari Solo ke Jakarta menemui Sukir tanpa memberitahu Namira. Bunda meminta bantuan Sukir untuk meminjam uang yang jumlahnya tak sedikit, yaitu seratus juta. Uang sebesar itu untuk menolong tante Anti yang terlilit hutang di beberapa koperasi dan juga seorang rentenir bernama Yeni Maulani, yang cukup terkenal di desanya. Hutangnya cukup besar, yaitu enam puluh juta rupiah. Padahal, ia hanya pinjam tiga puluh juta. Tetapi karena tante Anti tak bisa membayarkan pada saat jatuh tempo dan tak mampu mencicil selama setengah tahun, hutang itu menjadi berunga hingga sebesar pinjaman tersebut.
Tante Anti memohon hingga menangis dan bersimpuh di depan bunda agar menolongnya, bagaimanapun caranya. Ia tak tahu harus minta tolong kepada siapa lagi. Bunda awalnya kebingungan mencari cara untuk membantu adiknya. Tak mungkin juga meminta bantuan pada suaminya, karena keluarga mereka juga sedang dalam masalah keuangan. Bapak mertua dari bunda harus dirawat di rumah sakit karena struk. Itu membutuhkan biaya yang tak sedikit.
Hingga akhirnya, Bunda memberanikan diri meminta bantuan pada Sukir. Sebenarnya Sukir tak memiliki uang sebanyak itu. Uang yang dimiliki sudah ia bagi untuk kebutuhan keluarga kecilnya dan hanya menyisihkan sedikit saja untuk saving. Tabungan yang ia punya pun tak sebanyak hutang tante Anti.
Sukir tidak menjanjikan, tapi ia akan mengusahakannya.
"Bunda minta tolong, Mas Rendra merahasiakan ini dari Namira, ya? Bunda mohon banget," pesan bunda kala itu.
Sukir tak mengerti dipesankan seperti itu, karena selayaknya, Namira juga harus tahu permasalahan yang dihadapi oleh tante Anti san usaha dari bunda.
"Bunda khawatir, Karin akan membenci Bunda." Kekhawatiran bunda cukup beralasan, karena beliau sangat dekat dengan anak bungsunya.
"Apapun alasannya nanti, Mas Rendra sebisa mungkin tidak menceritakan permasalahan ini pada Karin. Bunda mohon."
Permohonan dari bunda sulit untuk Sukir tolak. Kebaikan dan perhatian bunda semasa ia masih berpacaran dengan Namira, membuatnya ingin membalas kebaikan-kebaikan itu.
"Aku usahakan ya, Bun. Bunda sekarang tenang aja. Kalau tante Anti tanya, bilang saja sedang diusahakan. Tapi Bunsa jangan bilang pada tante Anti kalau aku yang mengusahakan." Sukir berusaha agar Bunda tetap tenang dan jangan ada yang dikhawatirkan lagi.
Sukit tidak melihat itu sebagai masalah tante Anti, melainkan melihat kepada bunda. Sukir punya luka cukup dalam karena sikap tante Anti. Salah satu keluarga yang keberatan ketika Sukir melamar Namira adalah tante Anti. Beliau memandang Sukir yang hanya pegawai bank biasa, sekalipun beberapa orang di desanya menganggap bankir sebagai profesi yang membanggakan dan menaikkan gengsi setelah pegawai negeri dan dokter. Bagi tante Anti, pegawai negeri adalah kasta tertinggi dan terpandang dalam pekerjaan seseorang, terutama kepala keluarga.

Hingga akhirnya Sukir berhasil mendapatkan dana yang dibutuhkan untuk membantu tante Anti. Sebenarnya dalam hati Sukir, ia hanya ingin membantu bunda, bukan tante Anti. Ia tak tega ketika mendengar cerita, bunda yang setiap hari selalu ditanyakan tante Anti, apakah sudah ada uangnya.
Sukir menjelaskan pada Namira kalau ia mengambil pinjamam di bank untuk membantu bapak dan ibu yang sedang merintis usaha sembako di kampung. Dari sana, salah satu perselisihan muncul. Namira menganggap kedua orang tua Sukir masih mampu dan bisa mencukupi kebutuhannya sendiri dari uang pensiun sebagai pegawai negeri. Sementara usaha sembako yang baru berjalan, seharusnya tak perlu dibantu dengan modal yang besar. Modal secukupnya saja dan perlahan pasti akan besar. Hal yang lebih menjadi kekecewaan Namira semakin besar adalah, Sukir tidak mengusahakan meminjam di bank ketika mereka akan menikah dan keluarga besarnya meminta sejumlah uang untuk penyelenggaraan resepsi. Saat itu Sukir hanya menyanggupi setengahnya. Polemik itu sempat menjadi perdebatan di keluarga Namira, hingga akhirnya disepakati sesuai dengan kesanggupan Sukir dan keluarga.

"Sampai hari ini, apakah Namira sudah tahu tentang hal itu, Bun?" tanya Sukir, ingin memastikan.
"Mas Ren nggak cerita sama Namira sampai kalian berpisah?"
Sukir hanya menggeleng sambil tersenyum.
"Sesuai pesan Bunda, aku nggak ceritakan hal itu. Karena aku juga nggak mau kalau sampai Namira membenci Bunda."
Ada perasaan bersalah yang mendalam dari bunda, mendengar pengakuan Sukir.
"Maafkan Bunda ya, Mas," bunda menggenggam tangan Sukir, sangat erat. Seperti perasaan bersalah yang mengalir. Wajahnya terlihat sendu.
"Bunda nggak perlu minta maaf. Kami berpisah waktu itu karena ada hal lain yang lebih besar." Sukir berusaha menenangkan bunda agar tak semakin daalam rasa bersalahnya.
"Namira juga sudah nggak mengharapkan aku lagi," lanjur Sukir. Ia mengingat jelas kilasan beberapa tahun ke belakang, terutama kejadian di Yogyakarta.
"Namira hanya mengikuti emosi dan hawa nafsunya. Mungkin ia terlalu lama hidup hanya dengan Bunda, tidak didampingi juga dengan ayah. Sehingga, perasaannya lebih dominan dibandingkan logika. Dalam mengambil keputusan selalu tergesa-gesa dan tidak dipikirkan secara matang. Kamu ingat, kan, waktu ia memilih pindah lokasi kerja ke Yogya? Itu pasti ia putuskan sendiri," jelas Bunda.
"Bunda terlalu takut dibenci dan dijauhi Namira. Tapi kini, malah Karin meninggalkan Mas Ren," lanjut Bunda.
"Nggak kok, Bun. Bukan Namira yang meninggalkan aku. Kami yang memilih sepakat berpisah," ujar Sukir, tak ingin bunda semakin merasa bersalah.

*******
*******

Sukir Bankir Getir! (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang