Satu minggu pasca gathering, kehidupan Sukir berangsur membaik. Hatinya mulai bisa berdamai dengan keadaan. Bukan semesta yang tak mendukung, melainkan kenyataan yang memang tak bisa dihindarkan. Masa lalu memang sulit terhapuskan, bagi orang-orang yang belum bisa ikhlas untuk meninggalkannya.
"Siapa yang sama Babeh?" tanya Riri, seperti biasa, jiwa julid yang tinggi melebihi lantai gedung perkantoran.
'"Nggak tau." Sukir bersikap cuek dengan orang yang Riri maksud. Ia sempat melirik seklias. Wanita yang cukup menarik. Penampilan khas wanita karir dengan setelan baju dan blazer yang sangat pas. Rok span putih yang sopan.
"Biasanya, lo dapat bocoran dari Madam."
"Ini urusannya sama Babeh, Mbak. Bukan sama Madam."
"Ya, siapa tau melalui persetujuan dan konfirmasi dengan Madam."
"Tau, ah. Saya nggak ada waktu untuk julid bareng." Sukir memilih menuju ruang penyimpanan jaminan. Ada dokumen jaminan yang akan diserahkan ke notaris.
"Ah, lo sekarang udah nggak asyik, nih. Semenjak dari Jogja minggu lalu."
"Terooos ... kait-kaitkan aja sama yang itu." Sukir sambil berlalu ke dalam ruang khasanah.
Sukir kembali dari ruang khasanah dengan membawa satu amplop tebal. Pertumbuhan kredit yang mulai membaik membuat beberapa debitur ingin menambah plafond kreditnya. Sehingga, ada penambahan nilai Hak Tanggungan*. Tak hanya itu, ada juga permintaan dokumen tentang debitur oleh cabang. Cabang membutuhkan beberapa data untuk mereka membuat proposal pengajuan kredit. Dengan kondisi seperit ini, Sukir menjadi lebih sering ke ruang file dan scan dokumen. Mulai terasa menyita waktu, yang seharusnya ia bisa mengerjakan lainnya yang lebih urgent.
"Lo sekarang sibuk banget keluar masuk ruang file dan khasanah. Sampai beberapa kali gue sama Wida kalo lagi di luar, telepon minta tolong e-mail dokumen, slow respon banget." ujar Riri setelah Sukir berhasil menghempaskan tubuh ke kursi.
"Ya, mau gimana, Mbak? Saya solo karir di sini. Nggak ada partner yang bantu untuk memenuhi permintaan cabang." Sukir mengecek dokumen sertipikat yang akan ia serahkan kepada Notaris.
"Nggak minta Babeh cariin partner?" Riri menghampiri Sukir.
"Saya siapa, Mbak? Berani-beraninya minta tambah orang. Pasti ditolak, lah. Pekerjaan ringan seperti ini seharusnya bisa dikerjakan sendiri." Sukir menebak kira-kira bagaimana respon Pak Burhan bila ia usul partner baru.
"Jalan pintas, lah. Langsung ke Madam."
"Ogah. Nggak main yang kayak begitu, Mbak. Malah kurang ajar. Atasan saya, kan, Pak Burhan. Masa, main langsung ke Madam." Sukir berjalan menuju mesin scanner, sementara Riri mengarahkan kursinya kembali ke tempat semula.
"Riri, Sukir, perkenalkan ini Dinda, yang akan menggantkan Wida sementara minggu depan saat cuti melahirkan." Pak Burhan datang memperkenalkan wanita yang tadi sempat menjadi bahan omongan Sukir dan Riri.
"Hai, perkenalkan, saya Dinda Asmara Rania. Panggil saja Dinda." Dinda menyodorkan tangannya pada Riri terlebih dahulu, menyebutkan nama lengkapnya.
"Riri." Senyum Riri yang nampak oleh Sukir, itu hanya dibuat-buat.
"Saya Sukir." Sukir menyodorkan tangan untuk mengajaknya berjabat tangan. Dinda menyebutkan nama lengkapnya juga, sama seperti saat memperkenalkan diri pada Riri.
"Wida masih pengikatan, Ri?" tanya Pak Burhan pada Riri.
"Sudah selesai tadi jam sepuluh. Mungkin sebentar lagi sampai kantor."
"Oh, ya sudah. Nanti tolong bantu kenalkan dengan Wida, ya. Dan kasih tahu Wida untuk memberi arahan dan pekerjaan-pekerjaan apa saja yang akan ia tinggalkan selama cuti melahirkan nanti." Pinta Pak Burhan.
"Baik Pak."
"Soalnya, saya mau ada meeting dengan BOD, Bu Manda juga."
"Oke Pak."
"Dinda, saya tinggal dulu, ya. Kalau ada yang ingin ditanyakan atau ada apa-apa, jangan sungkan dengan Riri atau Sukir."
"Baik, Pak. Terima kasih." Dinda menanggapi dengan sopan dan membungkukkan badannya sedikit pada saat Pak burhan pamit.
"Dinda, kamu bisa duduk di sebelah mejanya Wida. Di sana masih kosong. Yang ujung, ya." Riri menunjuk ke arah sudut ruangan.
"Oh, Baik, Mbak. Terima kasih." Dinda berjalan menuju meja yang ditunjuk Riri.
"Kir, tolong ambil Buku Pedoman Perkreditan di ruang file. Kasihkan ke Dinda untuk baca-baca."
"Siap, Mbak."
"Dinda, nanti baca-baca dulu aja, ya, sambil nunggu Wida pulang pengikatan."
"Baik Mbak, Terima kasih,"
"Jawabannya template banget. Nggak berubah," bisik Sukir pada Riri sebelum menuju ruang file.
"Nggak usah julid. Tadi gue ajakin ghibah nggak mau!" cibir Riri yang berbicara dengan bibir tak bergerak. Ibu satu ini memang lihai, sambil menendang betis Sukir pelan.
"Ini Mbak, Buku Pedomannya. Kalau ada yang ingin ditanyakan, langsung ke Mbak Riri saja ya, jangan saya."
"Baik, Mas."
Sukir meninggalkan Dinda dengan buku tebal. Ia melanjutkan dengan rutinitasnya, yaitu bekerja, bukan ghibah.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Sukir Bankir Getir! (Tamat)
General FictionKisah karyawan Bank bernama Surendra Kiran, atau biasa dipanggil Sukir, yang selalu saja menghadapi kenyataan yang getir, mulai dari karir, percintaan, hingga rumah tangga. Sudah dua tahun ia menduda dan mulai coba membuka hatinya kepada orang baru...