It Ends Tonight

157 7 1
                                    

"Si Kakak ngapain ke sini?" Riri menghampiri kubikel Sukir.
"Nggak tau." Sukir masih sibuk di depan komputer, mengatur jadwal minggu depan dan menyiapkan bahan presentasi yang akan dipaparkan Bu Manda lusa nanti di hadapan BoD. Sukir mempersiapkan itu karena minggu depan ia akan cuti untuk menyaksikan DCF atau Dieng Culture Festival.
"Lo nggak khawatir dia gabung ke sini?"
"Bodo amat. Selama bukan si Dinda."
"By the way, lo minggu depan jadi cuti?" tanya Riri.
"Jadi, Mbak."
"Dua tiket sisa, udah ada yang bayarin?"
Sukir membeli lebih tiket festival itu, rencana awal, ia ingin berikan dua lembar tiket itu pada Okta, sebagai hadiah lamaran atau pertunangan. Sukir bermaksud memberikan Okta saat mengambil parklaring di Bank Sarap beberapa hari lalu, namun, ia urungkan saat berhadapan dengan Okta. Awalnya, ia berpikir akan mudah memberikan dua tiket itu. Menemui Okta, bertukar kabar, lalu memberikan hadiah tiket festival. Akan tetapi, suasana hari itu tak sesuai dengan yang dibayangkan. Pertemuan yang diharapkan berjalan baik, malah kacau setelah disambut emosi Okta.
"Kalo ada orang kantor yang mau, tawarin aja, Mbak." Sukir meletakkan dua lembar tiket itu di hadapan Riri.
"Siapa yang mau?"
"Kali aja ada yang mau liburan tapi bingung mau ke mana."
"Eh, Madam keluar sama kakak," bisik Riri, melihat Madam dan Davina baru keluar, berjalan mendekat.
"Hai, Ri, Suk," sapa Davina.
"Hai." Riri dan Sukir bersamaan. Mereka paksakan terlihat ramah, karena ada Madam di sebelah Davina.
Mereka bertanya kabar dan sedikit obrolan yang memang tak nyaman bagi Sukir dan Riri.
"Kau jad cuti minggu depan?" tanya Madam pada Sukir.
"Jadi, Bu. Saya baru input pengajuan cuti. Tinggal Ibu approve."
"Oke, nanti, ya. Untuk materi presentasi, udah?"
"Ini sedang saya kerjakan, Bu. Sore ini selesai dan bisa direview."
"Oke, makasih, Kir."
"Itu apa?"
"Oh, ini tiket festival Dieng, Bu."
"Punya kamu?"
"Sukir beli lebih, Bu. Udah ditawarin ke yang lain tapi nggak ada yang berminat." Riri yang menjelaskan.
"Oh, kamu cuti untuk acara ini, ya? Sini, saya beli aja."
"Loh, Ibu memangnya mau datang juga?" Sukir cukup terkejut.
"Keponakan saya suka jalan-jalan. Kali aja dia mau."
"Nggak apa-apa, Bu?"
"Lah, malah lo nanya kayak gitu. Ya nggak apa-apa banget lah. Jadinya kan lo nggak rugi." Riri menyikut pelan Sukir.
"Ini saya beli, ya. Nanti saya transfer bayarnya." Bu Manda langsung membawa dua lembar tiket itu seraya Davia pamit pada Sukir dan Riri. Bu Manda menemani Davina menuju lift.
Sepeninggal Madam, Sukir hanya saling tatap dengan Riri.

***

"Gimanaaa? Dieng semakin dingin, kah?" suara Towel, salah satu MC (master of ceremony) dari acara DCF, menggema.
"Lebih dingin mana dengan sikap mantan kalian?" ledek Trimo, rekan MC dari Tower.
"Lebih berbahaya sikap dingin mantan calon mertua, dong," balas Towel sambil tertawa, yang diikuti tawa penonton.
Suhu Dieng malam itu mencapai swpuluh derajat celcius.
Ini malam ke dua Sukir berada di Dieng mengikuti DCF, malam menjelang pelepasan seribu lampion, Sukir lalui seorang diri. Harapan di hati kecilnya terlalu tinggi, ingin seseorang menemani. Tentunya bukan pria, tapi wanita, yang dapat menghidupkan suasana dengan obrolan hangat, sebagai pengalih rasa dingin yang menyerang. Sukir sudah memakai dua lapis baju dan jaket tebal, namun masih saja dingin menyerang dari berbagai sisi, seperti mencari celah untuk menyentuh kulit.
Orang yang ia harapkan, tak pernah ada, karena di hari yang sama, wanita itu sedang melewati salah satu hari berbahagianya. Hari sebagai gerbang menuju ikatan yang sah. Teringat percakapannya dengan Riri sebelum ia cuti. Riri menangkap kegelisahan dan harapan Sukir yg ditampar oleh kekecewaannya sendiri.

"Kok bisa samaan, sih, event DCF sama lamarannya Okta?" tanya Riri, sehari sebelum Sukir cuti.
"Mana saya tau. Kan, dia yang tunangan, bukan saya."
"Santai, dong. Jawabnya biasa aja bisa, kan?"
Sukir seketika kikuk, ia takut terbaca oleh Riri.
"Jangan-jangan, lo ngarepin dia ikut ke DCF, ya?" Riri menerka-nerka.
"Apaan, sih? Nggak."
"Kalo nggak, jawabnya biasa aja. Nggak usah emosi."
"Gue curiga, tiket yang dibeli Madam kayaknya bukan kelebihan beli, tapi ada yang mau lo ajak. Iya, kan? Ngaku." Riri kembali menerka-nerka dan kini menyudutkan Sukir.
Sukir berusaha keras menyembunyikan sesuatu yang telah diketahui Riri.

Sukir Bankir Getir! (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang