Liku Luka Lalu

30 3 0
                                    

"Saya terima nikahnya, Namira Septariani Binti Rahmat Sujudi dengan maskawin emas sepuluh gram dan seperangkat alat sholat, dibayar tunai!" lantang suara Sukir dalam mengucap ijab qabul. Hari itu menjadi hari yang skaral, hari disahkannya Sukir menjadi suami Namira, wanita yang ia pacari selama delapan bulan sebelumnya. Kini, sudah resmi menyandang gelas suami di mata hukum dan agama. Hubungan yang tak sampai satu tahun, tetap mampu meyakinkan mereka untuk melanjutkan ke kehidupan baru.
Mereka menikah di usia yang terbilang masih muda. Sukir di usia 26 tahun, sementara Namira di usia 24 tahun.

Sukir hanya bisa mengenang satu-satunya hari besar dalam hidupnya dan salah satu kebahagiaan di titik tertinggi. Enam bulan berjalan setelah pernikahan, hanya merasakan sisa-sisa kebahagiaan pernikahannya itu. Setiap harinya seperti terkikis. Konflik dan perselisihan pendapat beberapa kali memantik emosi mereka. Lebih tepatnya Namira. Konflik didomnasi oleh masalah komunikasi. Diskusi yang jarang sekali dlakukan, atau minimnya rasa saling mengingatkan bila ada salah atau kekeliruan.

Namira, yang kegiatannya hanya sebagai ibu rumah tangga, mulai merasakan bosan. Sebelumnya ia bekerja, namun memutuskan untuk resign karena alasan akan menikah.
Kini, ia ingin bekerja lagi. Apalagi, kondisi keuangan mereka yang sedang tidak baik karena Sukir mengambil pinjaman yang cukup besar dengan tempo singkat, sehingga membuat angsuran setiap bulannya cukup besar juga. Itu cukup mengganggu keuangan rumah tangga mereka. Sikap Namira perlahan juga mulai berubah setelah Sukir bethutang, karena tidak mendiskusikannya terlebih dahulu dengannya. Sukir juga baru menceritakan semuanya setelah ada surat pemberitahuan bank perihal rekening koran yang dikirimkan setiap bulan ke rumah. Sikap Namira terhadap kedua orang tua Sukir pun berubah karena Sukir mengatakan kalau ia pinjam uang untuk membantu modal usaha kedua orang tuanya dan membangun rumah di kampung. Padahal yang sebenarnya, untuk membantu Tante Anti, seperti yang diminta oleh Bunda dan Sukir merahasiakan itu.
Namira memilih berkarir kembali setelah berhasil mendapat kesempatan bergabung di sebuah bank swasta asing. Pengalaman kerjanya sebelumnya membuat Namira mendapatkan posisi lebih baik, yaitu sebagai Head Teller.
Kehidupan Sukir dan Namira pun berangsur datar. Mereka disibukkan oleh pekerjaan masing-masing. Pulang kerja, mereka hanya beristirahat saja, karena macetnya Jakarta membuat mereka lama di perjalanan. Sampai rumah hanya membersihkan diri, makan malam, lalu beristirahat. Kemudian mengulang lagi aktivitas yang sama di hari berikutnya. Weekend hanya diisi dengan beristirahat dan merapikan rumah. Masalah mulai bermunculan ketika mereka gagal dalam memahami komunikasi satu sama lainnya. Namira yang sudah kadung kecewa dengan Sukir masalah tidak terbukanya dalam keuangan, membuat hal tersebut selalu diungkit-ungkit setiap kali berselisih paham.

Satu tahun berlalu, hingga di satu hari, aktivitas mereka yang tinggi di pekerjaan membuat emosi mudah tersulut. Satu malam, Namira cukup lelah seharian bekerja dan juga ada masalah di kantor mengenai temuan Audit pada satu transaksi yang menjadikan pertanyaan divisi Audit, membuat emosinya mudah goyah.

"Aku nggak pernah mempermasalahkan orang tuamu tinggal di sini sementra waktu. Aku juga nggak keberatan mereka tinggal dengan kita selamanya. Tapi, aku juga ingin punya privasi di rumah sendiri. Ini rumah kita. Aku juga ingin dihargai."
"Maafin Bapak dan Ibuku. Mereka hanya ingin membantu." Sukir mencoba menenangkan Namira.
Emosi Namira mulai naik walau suaranya belum tinggi. Penekanan di beberapa kata meyakinkan Sukir kalau Namira sedang berusaha keras menahan emosi.
"Aku nggak minta dibantu. Aku hanya ingin kehidupan kita punya privasi sendiri, sekalipun dengan orang tua kita."
"Ayah dan Bunda aja bilang dulu kalau mau melakukan sesuatu di rumah kita," lanjut Namira.
Namira cukup terganggu dengan kegiatan yang dilakukan oleh ibu Sukir. Ketika mereka bekerja, ibu mendapati tumpukan pakaian kotor di keranjang. Nalurinya sebagai orang tua tergerak untuk membantu anaknya yang sibuk bekerja. Beliau membantu untuk mencucikan pakaian-pakaian kotor tersebut. Sementara bapak, merapikan tanaman-tanaman yang ada di teras. Menyusun lebih rapi dan memangkas beberapa tangkai dan daun yang sudah mati.
"Aku nggak mempermasalahkan kamu membantu keluargamu untuk membangun rumah dan modal usaha. Tapi kamu juga harusnya paham, nggak semuanya kamu ambil tanggung jawab sebagai anak untuk mengurus orang tuamu. Kakak-kakakmu juga punya tanggung jawab yang sama."
Sukir mengerti maksud Namira. Ia sebenarnya keberatan dengan keberadaan Bapak dan Ibu. Perkataannya sangat kontradiktif. Di awal, ia tidak keberatan dengan keberadaan Bapak dan Ibu, namun merasa keberatan bila Sukir mempersilakan kedua orang tuanya tinggal bersamanya saat rumah di kampung sedang dibangun.
"Maafkan kelancangan kedua orang tuaku." Sukir memohon maaf sekali lagi.
"Kesannya, aku nggak bisa mengurus rumah beserta isinya dengan membiarkan cucian menumpuk di belakang. Aku juga bekerja. Aku juga punya waktu untuk mencuci seminggu dua kali. Aku nggak mau sampai ada omongan kalau aku nggak becus menjadi seorang istri. Aku kerja juga untuk membantu perekonomian keluarga kita. Aku juga ingin seperti kamu, membantu kedua orang tuaku." Suara Namira mulai meninggi dan sedikit menyindir.
Sukir khawatir terdengar oleh kedua orang tuanya, sekalipun di dalam kamar.
Namira menghempaskan tubuhnya ke ranjang, menarik selimut dan membalikkan badan membelakangi Sukir. Mendapati sikap Namira yang seperti itu, Sukir tetap bertahan dan tak melakukan pembelaan apa-apa. Sebenarnya ada emosi yang muncul, namu ia tahan sebisa mungkin. Ia memilih menuju ruang tamu, membiarkan Namira menenangkan diri di dalam kamar.
Ini bukan keributan yang pertama kali. Ini sudah beberapa kali bertengkar dengan posisi yang sama, yaitu Namira dengan emosinya, dan Sukir memilih bersikap defensif agar tidak terbawa emosi.

Sukir Bankir Getir! (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang