"Mas, dari sekian banyak orang di kantor ini, aku harap Mas Sukir aja yang nggak meledekku." Okta menutupi rok panjangnya berwarna merah, menggunakan zipper hoodie hijau muda yang sengaja dibawanya kali ini.
"Kok, saya?"
Okta hanya tertunduk, ia masih berat melawan rasa malu.
Dalam rangka menyambut hari kemerdekaan Republik Indonesia, Service & Quality menerbitkan memo untuk karyawan mengenakan pakaian bertemakan kemerdekaan dengan pilihan warna merah atau putih. Okta bukannya salah kostum. Ia benar memilih warna merah, namun pilihannya malah terlihat seperti seragam SD. Itu juga didukung oleh perawakan Okta yang tidak tinggi. Sudah pasti ia menjadi topik perbincangan dan bahan ledekan beberapa karyawan. Malah, Satpam gedung yang terkenal sok asyik juga menggoda Okta.
"Eeeeh ... Adek, nggak boleh masuk, harus didampingi orang tua. Papa mamanya ke mana?" Pak satpam, yang sudah berusia menjelang lanjut, bertingkah seperti anak kecil.
Okta menyikapinya dengan memasang tampang judes.
"Nggak kenal tapi sok asyik!" Sungut Okta dalam hati, dan gesturnya lebih mirip tokoh antagonis dalam sinetron azab.
"Kalau nggak setiap hari ketemu di lobi, udah aku panah itu satpam pakai busur beracun." Okta jengkelnya tak terbantahkan, tapi Sukir malah tertawa melihat ekspresi Okta yang emosinya masih setengah hati.
"Kok Mas Sukir ketawa? Mau ngeledekin juga? Aku, kan, tadi bilang, berharap hanya Mas Sukir yang nggak meledek penampilanku."
"Nggak Ta, nggak. Saya nggak mentertawakan itu." Sukir coba menjelaskan maksud tawanya.
"Saya mentertawakan ekspresi kamu. Ekspresi kamu kurang sadis saat bilang 'akan memanah satpam itu dengan busur beracun'. Naluri pembunuh berdarah dinginnya nggak keluar. Kurang ekspresif, Ta. Ayo dicoba lagi," lanjut Sukir.
Seketika Okta luluh lantah emosinya, malah jadi malu. Pipinya memerah.
"Iiih ... Mas Sukir, kok, malah gitu?" Sebal manja dari Okta.
"Tapi lucu juga, ya." Sukir memperhatikan kembali penampilan Okta.
"Tuh, kaaan ...." Okta merajuk kesal. Ia membuang badan.
"Becanda, Ta, becanda. Maaf." Sukir meredakan tawanya, membujuk Okta agar tak marah.
"Oke, kita bahas yang lain aja, ya?" Usul Sukir.
Okta luluh, ia akhirnya berbalik badan lagi, menghadap Sukir.
Mereka akhirnya membahas hal yang sama sekali tak berhubungan dengan pekerjaan, yaitu membedah secara ilmiah, mengapa ada perbedaan mengartikan istilah buaya sebagai simbol kesetiaan dan juga sebagai pembual. Buaya yang dianggap setia karena kawin hanya satu kali seumur hidupnya, sementara kebanyakan lelaki yang pembual, mencoba membuka hati ke beberapa wanita, dianggap atau disamakan dengan buaya.
"Makanya, di betawi identik roti buaya pada setiap acara pernikahan. Roti berbentuk buaya itu mengartikan kesetiaan. Berharap, mempelai menikah hanya satu kali seumur hidup."
"Aku baru tahu, loh, Mas. Aku kira hanya hantaran kue biasa, nggak memiliki arti."
"Setiap bawaan mempunyai arti tersendiri." Tutup Sukir.
"By the way, makasih, ya, Mas," ucap Okta di akhir pembahasan yang tak memiliki kesimpulan tersebut.
"Makasih untuk?"
"Mengembalikan mood aku."
"Sama-sama, Ta."
"Sekarang udah baik-baik aja, kan? Siap lanjut kerja?"
"Siap, Mas. Dan aku sudah baik-baik aja."
"Good." Sukir beranjak dari kursi, ingin ke brankas, namun baru dua langkah, ia membalikkan badannya.
"Oh iya, Ta, saya boleh komen mengenai penampilan Okta? Kan, udah normal lagi mood Okta?"
"Boleh Mas, asal jangan yang membuat aku malu aja."
"Okta lucu pake rok seperti itu. Tapi, warnanya aja yang terlalu gimana, gitu. Ya, mungkin karena ingin meramaikan tujuhbelasan di kantor. Tapi kalo pake yang warna kalem, bagus deh, Ta. Jadi keliatan anggun," jelas Sukir sambil tersenyum. Mood Okta pun seketika memuncak. Ia ingin meledak-ledak menyambut pujian Sukir, namun gengsinya mampu membendung itu. Hanya pipinya yang merona tak mampu disembunyikan.***
"Ta, ternyata kamu di Kredit hanya tiga bulan. Awalnya saya minta ke HR enam bulan, tapi ternyata kamu harus kembali ke Training Center lagi selama sebulan. Padahal, saya mau minta kamu membantu kami, terutama di Legal Kredit, membantu Sukir. Saya senang dengan kerja kamu. Maksimal. Dan, Sukir juga merekomendasikan kamu." Bu Manda menjelaskan pada Okta di ruangannya.
Satu minggu setelah sepulang dari Yogyakarta, Sukir memberi laporan perjalanannya kepada Madam. Sebelumnya ia laporan pada Davina, namun Davina meminta Sukir untuk laporan langsung ke Madam.
"Oh, begitu, ya, Bu?"
"Iya. Saya mengucapkan terima kasih banyak sama kamu, sudah bantu kami di sini dan mau belajar juga. Terutama perjalanan dinas kemarin." Madam paham, sekilas ia ingat betapa Sukir merasakan masa sulit bila berkunjung ke kota itu. Namun, ternyata Madam memang sengaja menugaskan Sukir ke sana agar ia menjadi terbiasa dan tidak berlebihan pada Yogyakarta. Usahanya sepertinya berhasil, walau Sukir sedikit kacau. Okta pun menginformasikan pada Madam saat Sukir gagal fokus saat itu.
"Saya yang harusnya berterima kasih, Bu. Saya banyak belajar tentang jredit di sini. Teman-teman di sini juga baik dan sangat support untuk membantu saya yang masih belajar."
"Sama-sama. Habis ini, kamu bisa ke HR untuk laporan."
"Baik, Bu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sukir Bankir Getir! (Tamat)
Ficción GeneralKisah karyawan Bank bernama Surendra Kiran, atau biasa dipanggil Sukir, yang selalu saja menghadapi kenyataan yang getir, mulai dari karir, percintaan, hingga rumah tangga. Sudah dua tahun ia menduda dan mulai coba membuka hatinya kepada orang baru...